Belt and Road Initiative China, Dilema Memilih Jokowi lagi atau Tidak.Oleh : Sirajuddin Gayo
Negara Cina pertama kali mengusulkan Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan (Belt and Road Initiative- BRI) pada 2013. Inisiatif ini memberikan pinjaman kepada mitra negara untuk membangun jalan, kereta api, pelabuhan, jaringan pipa energi, dan telekomunikasi.
Slogan nya China  sedang membangun jalur sutra perdagangan dunia untuk kepentingan Ekonomi nya jangka panjang.
Indonesia menjadi bagian dari negara negara yang sepertinya sedang menikmati lezatnya kue Belt and Road Initiative itu. Layaknya pesta makan siang,  kita sedang menikmati jamuan  makan siang gratis, kita  terlena menikmati semua jenis panganan yang diajukan dalam program Ambisius China melalui tangan BRI itu.Â
Lazimnya juga sebuah pesta makan siang gratis,kita diundang dengan beberapa persyaratan seperti dress code, bawa card name, potongan undangan utk door prize. Dan tentu saja kita mengikuti semua ketentuan itu.
Walau terasa seperti diselingkuhi, ketika Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden tentang tenaga kerja asing beberapa waktu yang lewat, pemahaman dan memaklumkan, bahwa itu adalah bagian dari persyaratan pesta makan siang yang sedang dimainkan Belt and Road Initiative tsb.
Saya yakin bahwa Pemerintahan Jokowi isadar sesadarnya bahwa skema pembiayaan Jalan dan Sabuk Tiongkok mengandung risiko. Negara-negara rentan berpeluang masuk ke dalam perangkap utang, menyediakan Cina kesempatan mengendalikan lokasi strategis di berbagai belahan dunia.
Pengalaman Sri Lanka menjadi peringatan bagi negara-negara lain. Karena ketidakmampuannya membayar utang, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhan Hambantota yang gagal ke Cina selama 99 tahun. Hasilnya, Cina mendapat pangkalan yang dekat dengan India, saingannya, dengan akses ke perairan komersial dan militer Indo-Pasifik yang strategis.
Para pemimpin negara lain juga telah menyuarakan keprihatinan atas proyek-proyek di negara mereka. Presiden Pakistan Imran Khan mengkritik proyek Koridor Ekonomi Cina-Pakistan senilai US$60 miliar. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad telah meminta Cina untuk mempertimbangkan kembali proyek kereta api pantai timur di negara semenanjung itu. Â Pemerintah Myanmar juga meminta Beijing menurunkan secara signifikan skala proyek pelabuhan laut dalam di Kyaukpyu.
Ketika pemerintah Jokowi belum bereaksi dengan agresivitas Proyek proyek BRI di tempat kita yang saya sebut aja "terlalu maju" sebagai tamu, padahal kritikan suara oposisi sudah begitu menggema, namun karena tetap aja masih di anggap HOAX, maka menjadi ragu dan dilema, melanjutkan Pemerintah Sekarang ini atau mengganti nya di 17 April nanti.
Sei Mangkei or Sri Mangkrak
Jauh sebelum Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan dan visi poros maritim Jokowi, Indonesia pernah mencoba mengembangkan pelabuhan di Sabang, Aceh dan Batam, Riau untuk dijadikan pusat perdagangan internasional.
Indonesia bercita-cita kota-kota pelabuhan yang terletak di sepanjang Selat Malaka, jalur pelayaran sibuk yang menghubungkan Samudra Pasifik dan India, akan menjadi pusat pertumbuhan baru melalui kegiatan ekspor dan impor. Tapi cita-cita ini tidak terwujud karena Indonesia gagal memahami struktur pasar perdagangan lintas laut di Selat Malaka dan sekitarnya.
Indonesia mengembangkan daerah pelabuhan di Sabang dan Batam sebagai pelabuhan bebas (free port) dan zona perdagangan bebas (free trade zone), area khusus dengan gudang-gudang penyimpanan serta fasilitas pemrosesan dan pemindahan kargo kapal (transhipment) untuk ekspor. Barang-barang di pelabuhan bebas dan zona perdagangan bebas dibebaskan dari bea impor dan pajak lainnya.
Pelabuhan Sabang yang ketika pengembangan nya oleh  BPKS dan saya ikut menjadi konsultan pengawas ketika itu,  setelah belasan tahun diresmikan entah jadi pelabuhan apa, karena nyaris tak terdengar aktivitas Ekonomi Skala Usaha disana.
pun begitu dengan Batam, di Selat Malaka, Singapura telah mendahului Indonesia dalam pasar jasa pemindahan kargo kapal dan logistik. Â Singapura menyediakan layanan bunker untuk mengisi bahan bakar kapal. Singapura membangun tiga kilang minyak dengan kapasitas total 1,3 juta barel per hari untuk memungkinkan pengisian bahan bakar dengan harga kompetitif. Ini melebihi kapasitas kilang minyak Indonesia. Sudah tak ada harapan untuk bersaing.
Memang pendekatan yang salah arah, ketika kita hanya fokus  pada keunggulan strategis geografis malah terobsesi dengan geometri--dengan bentuk wilayah pasar pada lanskap yang dibayangkan ideal, atau dengan penempatan fasilitas yang optimal--dengan sedikit atau tidak sama sekali memperhatikan masalah pemodelan pasar.
Pendekatan menekankan masalah sekunder, detail seperti konstruksi fisik di lokasi yang strategis, daripada memastikan terlebih dahulu apakah ada permintaan pasar. Kita takut Sei  Mangke yang kita  banggakan menjadi  Sei Mangkrak... kebijakan yang sekedar mengulang kegagalan free trade Sabang.
Contoh lain yang Jembatan Tol Suramadu, mengabaikan pemodelan pasar menyebabkan perencanaan lebih fokus pada konstruksi fisik sebelum memastikan bahwa pengembangan fasilitas akan memungkinkan pertumbuhan ekonomi.Â
Jembatan Tol Madura yang didanai oleh Cina adalah contoh kegagalan semacam itu. Jembatan ini dibangun untuk menghubungkan zona industri antara Surabaya dan Madura. Namun pengembangan zona industri di kedua ujung jembatan belum terealisasi.
Kita memang tidak ingin Sei Mangkei menjadi Sei Mangkrak, Pelabuhan Parlindungan Ketek di Natal Madina hanya untuk pelabuhan ketek (sampan kecil). Kita berharap Sumatera Utara dapat ikut menikmati pesta makan siang yang sedang diadakan China melalui Ambisius BRI nya itu. Dan kita ingin kita punya Presiden kuat dalam leadership yang mampu mewujudkan itu.... Wah jadi makin galau setelah 4 tahun lebih ini beliau belum menunjukkan kekuatan leadership nya.
Pilpres 2014.
Saya termasuk salah satu rakyat Indonesia pada 2014 yang tergila gila dengan Jokowi, saya tidak takut acamanan pemecatan dari partai saya yang ketika itu tidak mendukung Jokowi. Saya ikut memimpin salah satu relawan besar di Indonesia untuk wilayah Sumatera Utara. Dan saya ikut bekerja keras memenangkan Jokowi.
Kerja kerja yang pro Bono itu, memang saya akui dibayar lunas dengan janji umroh dari pengurus relawan tongkat pusat. Walaupun umroh nya tak terealisasi, tapi setidaknya pasport telah dikumpulkan. Saya tetap cinta dan sayang serta pendukung setia Jokowi, apalagi dengan  visi menjadikan Indonesia bagian dari "poros maritim dunia.Â
Selain memperkuat Angkatan Laut Indonesia sebagai kekuatan maritim regional, strategi Jokowi untuk mewujudkan ini termasuk membangun pelabuhan untuk mendukung industri perikanan dan logistik pengiriman untuk meningkatkan ekonomi kelautan berbasis kepulauan.
Jokowi orang baik dan akan tetap menjadi orang baik, beliau selalu memimpin dengan ketauladanan. Hanya saja faktor kelemahan leadership dan kekuatan aura kepemimpinan yang tak terlihat. Â Jalannya Kapal Besar Indonesia Raya ini seperti oleng. Â Lemahnya singkronisai antar departemen yang selalu dipertontonkan dihadapan publik, bahkan pernah beredar chat dari salah satu petinggi departemen yang menyebut kan kelemahan atasannya.Â
Saya rasa adalah salah satu faktor yang membuat saya dan mungkin beberapa orang seperti saya yang merasakan dilema, melanjutkan Pemerintahan ini atau mengganti nya.
Saya takut Belt and Road Initiative Pemerintah China hanya akan berujung bukan sebagai jalur sutra perdagangan tapi menjadikan wilayah  Indonesia sebagai sasaran tembak perang dunia ketiga karena infrastruktur yang dibangun untuk ekonomi, gagal menjalankan perannya, dan terpaksa diserahkan ke yang bangun kemudian dijadikan pangkalan perang sahaja.... Sudah ada contoh nyata sebuah Pelabuhan di India.
Belt and Road Initiative (BRI) di Sumatera Utara.
China melalui BRI nya (Inisiatif Sabuk dan Jalan), memberikan dukungan finansial dan teknis. Tapi negara tuan rumah hanya akan mendapat manfaat dari peluang ini jika mereka mampu memahami bagaimana struktur pasar perdagangan lintas laut atau darat benar-benar bekerja.
Yang terpenting negara tuan rumah harus memiliki kemampuan untuk merumuskan dan mengimplementasikan rencana yang baik sehingga proyek dapat direalisasikan sesuai rencana.
Tentang Sei Mangkei dan Kuala Tanjung nya di Sumatera Utara, Jika diputuskan untuk mengembangkan pelabuhan transhipment, maka pertama-tama pemerintah perlu memahami struktur pasar transhipment atau struktur bisnis pusat perdagangan internasional. Kedua, pemerintah harus mempertimbangkan apakah Indonesia mampu dan siap bersaing dengan Singapura dan Malaysia, yang telah mengembangkan pasar transhipment terbesar.
Jika keputusannya adalah mengembangkan pelabuhan pedalaman, seperti Pelabuhan Parlimbungan Ketek di Madina, maka pelabuhan-pelabuhan ini membutuhkan dukungan dari industri manufaktur berorientasi ekspor yang dibangun di daerah pedalaman pelabuhan di Sumatra Bagian Barat itu.Â
Industri manufaktur di Sumatra bagian Barat itu tidak akan cocok untuk manufaktur barang konsumsi domestik. Jenis industri manufaktur konsumsi domestik ini akan memilih lokasi yang dekat dengan pasar konsumen besar seperti sabuk manufaktur yang ada di Jawa.
Terus gimana, Sei Mangkei dgn Kuala Tanjung nya sudah hampir rampung dengan kondisi berhadapan dengan raksasa di selat Malaka  Pun begitu pelabuhan Parlimbungan Ketek di Natal Kabupaten Madina  juga harus nya udah operasional di 2019 ini tapi karena jalan dan jembatan nya belum siap tembus ke Pelabuhan, operasional 2019 mungkin tertunda.  Jadi mau apalagi...inilah potret buram Pemerintahan mengejar ketertinggalannya infrastruktur.... Jadi Dilema kan, .... mau Melanjutkan atau Mengganti ????
Penulis : Akademis dan Peneliti di Sumatera Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H