Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berdamai dengan Corona dan Artikel yang Ditolak Kompas

8 Mei 2020   15:48 Diperbarui: 12 Mei 2020   18:50 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi zaitun simbol perdamaian | vectorified.com

Presiden Jokowi menanggapi pelaksanaan PSBB, menurutnya sampi ditemukannya vaksin yang efektif kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu kedepan. JAKARTA, KOMPASTV.May 6, 2020.

Mendengar berita itu, saya teringat artikel saya yang saya kirimkan ke Kompas Jakarta. Sayangnya, artikel saya mendapati penangkisan tayang Kompas. Bagi pembaca yang belum terbiasa ditolak atau tertolak. Mungkin ada gunanya saya lampirkan surat penolakan Kompas itu. Serasa masa remaja dulu ketika surat cinta ditolak sang idola?

Yth. Sdr Abdul Hakim Siregar
di tempat.

Disertai salam dan hormat,

Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 19 Maret 2020 Redaksi Kompas telah menerima ARTIKEL Anda berjudul "Berdamai Dengan Corona". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan yang Anda berikan kepada Kompas.

Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di dalamnya, akhirnya kami menilai ARTIKEL tersebut tidak dapat dimuat di harian Kompas. Pertimbangan kami,

kesulitan mendapatkan tempat

Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual dan relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih menarik.

Untuk kelengkapan administrasi, bila mengirimkan tulisan mohon disertakan pas foto (Abaikan bila sudah pernah kirim). Terima kasih.


Jakarta, 23 Maret 2020

Hormat kami,
Desk Opini Kompas

Tetapi dengan adanya pidato Pak Presiden Jokowi yang dipetik dari KompasTV, saya merasa ada tempat ide dan waktu menayangkan kembali tulisan ini di Kompasiana, adik kandung Kompas?Ahai! 

Biarpun pidato Pak Jokowi bukan seperti maksud saya dalam artikel ini. Namun, karena ada persamaan kata berdamai dengan corona, saya rasa tidak ada salahnya ditayangkan di sini. Hal ini bukan untuk menganggap sepele corona, tetapi kata damai menunjukkan: kerendahan hati menghadapi corona. Itu maksud dan inti artikel ini. 

Inilah dia isi artikel saya Berdamai dengan Corona?

Istilah "Perang terhadap Corona, Perangi Corona, Melawan Corona atau sejenisnya?" Seolah menunjukkan kedigdayaan kita atau negara dengan kekuatan militer menghadapi virus corona (virus COVID-19). Padahal, kalau kita mau jujur dengan kehebatan militer seteknologi dan secanggih apapun, setidaknya kini, sulit menggempur corona. 

Dalam perang militer, jelas tampak musuh yang harus diserang, sedangkan kasus corona, virus ini menyebar ke orang terdekat kita, bahkan keluarga kita. Sampai kita sukar mendeteksi siapa yang sudah terjangkiti atau belum? Pada perang militer, senjata, alat berat militer, dan teknologi militer terbaru berdaya guna membunuh lawan, sedangkan "perang corona" mustahil rasanya membunuh orang kena corona.

Di samping kita menggunakan istilah yang tegas atau keras, seperti "perangi corona?" Alangkah lebih baiknya kalau juga kita pakai bahasa yang lebih halus (soft) terhadap corona, misalnya: Berdamai dengan Corona. Yakni mengakui dengan tulus dan terbuka memang corona ada di sekitar kita. Lalu, dengan istilah berdamai dengan corona ini, kita berupaya maksimal sesuai dengan usaha maksimal kemanusiaan berupa ilmu pengetahuan disertai sikap rendah hati. Pada saat yang bersamaan berserah diri, bertawakal kepada Tuhan.  

Memang istilah berdamai dengan corona mirip saja dengan perang corona, ketika kita tidak begitu jelas dengan makhluk atau virus yang kita ajak lawan tanding atau damai. Tetapi, setidaknya, berdamai dengan corona lebih menunjukkan kewaspadaan yang dibarengi dengan rendah hati daripada tindakan perang yang umumnya berbaur sedikit kesombongan disertai kecemasan tewas?

Maka, berdamai dengan corona maksudnya ketika kita mau mengakui dan mau menyadari corona kini ada di sekitar kita atau bahkan menyelinap sebagaimana aliran darah dalam diri kita. 

Sekaligus pada saat yang bersamaan kita berendah hati, mengakui benar adanya, lalu berupaya serius mencegah atau mengobatinya sesuai dengan ilmu kedokteran atau kesehatan dan berbagai aspek ilmu yang mengombinasikannya. 

Serta juga bertawakal kepada Tuhan atas segala upaya serius kita. Berdamai dengan corona mengawali pencegahan dan pengobatan corona dengan tawaduk dan tawakal, berupa ikhtiyar kemanusiaan maksimal sekaligus tawakal total kepada Tuhan.

Kenapa ini penting? Karena pada satu sisi, beberapa pihak yang kurang percaya kepada Tuhan cuma mengunggulkan kekuatan manusia, para dokter, farmalog, biolog, kimiawan, dan bahkan militer untuk menghadapi corona, sehingga corona dianggap musuh terbesar manusia kini serta batu ujian kekuatan manusia atas segalanya? Sehingga tampaklah semacam "kesombongan atau keangkuhan, setidaknya juga guyonan corona?"

Sebaliknya, pada bagian lain yang berlawanan, sebagian golongan agamawan yang tampaknya bertuhan hanya mengandalkan "ibadah" menghadapi corona. Misalnya, ada yang menulis ada orang yang katanya lebih takut corona daripada Tuhan sehingga tak mau lagi ke tempat ibadah? 

Padahal, si penulis ungkapan demikian belum tentu juga beribadah ke masjid, misalnya. Sikap agamawan yang demikian juga dapat menjurus pada ketakaburan atau kejahilan yang membawa maut, karena ia terlalu nekat menyongsong corona yang tentunya tidak memilih orang, beragama atau tidak beragama?

Untuk itulah saya kira, ilmuwan dan agamawan atau sebaliknya agamawan serta ilmuwan dan sebagainya marilah meyakini corona kini sedang ada. 

Lalu, kita berupaya maksimal mencegahnya atau mengobati yang terjangkit sesuai dengan ilmu medis dan upaya maksimal kemanusiaan yang kita miliki seraya juga maksimal berdoa kepada Tuhan agar corona atau epidemi lainnya segera berlalu. Kita semua dari berbagai jenis golongan, keyakinan, agama, suku, dan bangsa marilah menangani corona dengan cara damai; tawaduk (rendah hati dalam beriktiyar maksimal secara ilmu kemanusiaan-kesehatan) dan tawakal (serah diri pada Tuhan).

Kita tak harus lagi saling menyalahkan atau mencurigai dengan corona kini. Misalnya, ada sebagian orang Islam yang mengatai, itulah risiko karena mereka makan "kelelawar" atau yang haram? Begitu juga sebagian orang di luar Islam, ketika MERS CoV, terutama yang berasal dari unta, ada saja yang menyebut itulah "azab" buat orang Islam? 

Begitulah berita fitnah dan hoax di antara kita saling menyerang, kadang disebut dengan atas nama agama? Padahal, baik corona maupun mers tidaklah makhluk beragama tertentu, ia berupa virus yang biasanya dari hewan (hewan juga banyak korban) lalu berpindah kepada manusia dengan berbagai aspeknya serta menyebar menjadi penyakit mematikan. 

Hal itu lebih bersifat biologis daripada teologis, sebab yang namanya manusia mempunyai aspek biologis sehingga dapat hidup dan mati dengan berbagai keadaan atau kondisi yang melingkupinya. Begitu pun, orang tidak boleh terhenti pada aspek biologis, karena juga manusia mempunyai potensi rohani yang dengan itu manusia beragama, mencari dan mengenali Tuhan.

Corona kini bukanlah tentang agama tertentu, melainkan virus yang kini sedang melanda kita semua. Tetapi, begitu pun marilah kita buat pilihan bahasa yang lebih bersahabat atau berdamai dengan corona, sesuai dengan masa dan musimnya corona akan berlalu. Selama dia (corona) di sekitar kita, marilah kita tangani dengan upaya maksimal kemanusiaan disertai sikap rendah hati sekaligus sikap tawakal kepada Tuhan, dengan kasih dan pertolongan Tuhan kita dapat melalui masa ini dengan masa depan yang lebih baik.

Secara pribadi, saya mengindentifikasi diri sebagai agamawan sesuai dengan latar belakang pendidikan, saya bukanlah dokter atau medis yang memahami corona, bukan. Sebagai agamawan, marilah mematuhi arahan pemerintah dan dokter serta pihak berwewenang lainnya terkait dengan corona ini. Setidaknya, kita berdamai dengan corona berupa sikap: tawaduk serta tawakal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun