Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengeluh Tak Menyelesaikan Masalah

25 April 2017   17:08 Diperbarui: 26 April 2017   03:00 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Shutterstock/Minerva Studio

Pernah mengeluh? Ya. Jenis keluhan beragam. Sesuai dengan kebiasaan. Bisa keluhan terhadap diri sendiri, orang lain, pasangan, anak, rekan kerja, pekerjaan, pemerintah, jalan raya, macet, udara, cuaca, iklim, alam, dan bahkan keluhan terhadap Tuhan.

Keluhan yang bersifat pripadi atau psikologis, seperti yang gemuk kurang kurus. Yang kurus kurang gendut. Yang pendek merasa kurang tinggi. Yang tinggi merasa kurang pendek sedikit. Ya, dan begitulah masih banyak macamannya.

Keluhan terhadap pasangan. Yang lajang mengeluh belum menikah. Yang menikah mengeluh belum punya anak. Yang punya anak mengeluh anaknya yang nakal. 

Keluhan terhadap rekan kerja mengosipinya.

Keluhan terhadap pekerjaan tugas dan gajinya.

Keluhan terhadap pemerintah, protes! Protes! Demo!

Keluhan di jalan raya, macet, panas!

Keluhan terhadap udara, cuaca tidak bagus membuat badanku ikut tak sehat....

Kalau masih kurang jelas tentang keluhan tanyalah tukang keluh. Tak lain, kadang diri kita sendiri. Termasuk, saya yang menulis ini.

Ada lagi jenis keluhan, yakni mengeluh secara salah. Anda atau kita mengeluhkan pasangan kepada rekan di kantor. Sebaliknya, mengeluhkan rekan di kantor kepada pasangan. Puas! Biar puas saja! Semacam pelepasan energi keluhan! Jangan menyebut saya pengeluh. Ini cuma alasan biar aku lebih pengeluh lagi. Ahai!

Cerita si Pengeluh

John Schindler M.D bercerita dalam bukunya, "Bagaimana Menikmati Hidup 365 Hari dalam Setahun" mengenai seorang yang selalu mengeluhkan hidupnya. Malahan, kotoran burung yang menerpanya menjadi bahan keluhan buat dirinya. Sebaliknya, seorang raja kehidupan yang hampir tak kunjung mengeluh. Meski banyak derita yang dialaminya, dari ditinggal mati pasangan dan ditipu orang lain, ia tetap optimistis dan semangat menjalani hidupnya.

Contoh lain, dua wanita kembar belanja ke pasar. Seorang di antaranya lebih banyak berkeluh kesah selama belanja di pasar. Dari sempitnya pasar hingga tak satu pun menarik buatnya. Semuanya tak luput dari kecamannya. Bahkan makanan yang disaptapnya, selalu dicela dengan berbagai kekurangnya. Kurang panas. Terlalu panas. Kurang pedas. Terlalu pedas. Dan seterusnya.

Sumber: Por wavebreakmedia
Sumber: Por wavebreakmedia
Apakah Anda, kau, dan saya pencela makanan-minuman? Waspadalah, itu ciri orang pengeluh tulen..

Sumber: Shutterstock/Minerva Studio
Sumber: Shutterstock/Minerva Studio
Saya mengamati para pengeluh merupakan orang yang suka mencela makanan atau minuman. Mungkin, semacam asupan tenaga keluhan yang masuk dari mulut lalu keluar dari mulut pula.

Baiklah, saya kembali kepada cerita kocak John Schindler lagi. Katanya, seorang pasiennya yang hobinya cuma satu: selalu berbicara tentang penyakitnya. Kepada Schindler si pasien itu dapat berbicara panjang lebar mengenai penyakit dan pengobatan ke berbagai tempat yang pernah dilakukannya. Menurut, John si kliennya terus menderita sakit karena memang ia hanya punya satu cerita, yakni keluhan penyakit.

John ingin menghentikan keluhan kronis kliennya. Dengan bertanya, apakah ia mempunyai hobi? "Tidak, saya tak memiliki hobi." Ujar kliennya. Coba, ingat satu saja. Sebelum menemukan satu kegemeran, tolong jangan datang konsultasi lagi. Beberapa waktu kemudian, si klien datang dengan girang menegaskan satu hobi masa kecilnya, koleksi kancing baju. John mengapresiasi hobi pasiennya mengoleksi kancing baju. Dalam suatu kesempatan, pejabat kota berbicara di hadapan publik, si klien maju ke depan meminta satu kancing baju si pejabat. Si pejabat pun memberikannya, bahkan kalau ia masih mau dapat mengambil ke rumahnya.

Nah, kata John Schindler, pasiennya sembuh dan menjadi kolektor kancing baju. Jika sebelumnya, kliennya hanya cerita penyakit. Setelah itu, ia pembicara tentang kancing baju ke mana-mana dan di mana-mana...

Saran John MD: Milikilah hobi daripada Anda mengeluh terus...

Pembaca budiman, saya ingin menambahi sedikit lagi penjelasan ini.

Pakar psikologi humanistik Abraham H. Maslow menyebut salah satu ciri orang yang aktualisasi diri bukanlah pengeluh. Bukan tukang protes. Bukan pemberontak. Melainkan mereka yang berbuat atau bertindak demi kebaikan orang lain.

Senada dengan itulah yang dipromosikan Stephen R. Covey, betapa pentingnya bersikap proaktif. Bukan reaktif. Ada banyak lingkaran dalam hidup ini. Daripada kita mengeluh pada orbit lingkaran yang tak bisa dipengaruhi, alangkah lebih baiknya kita fokus dan memperbesar lingkaran pengaruh diri sendiri yang paling bisa dikontrol. Hal inilah yang dicontohkan Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, dan Muhammad Yunus dari Bangladesh.

Atau seperti kata guru The Secret,  Jack Canfield, Anda mungkin tak bisa mengubah situasi dan hasilnya. Tapi, Anda masih dapat memilih sikap atau reaksi Anda terhadap suatu peristiwa. Misalnya, kemacetan di jalan raya dapat menjadi sumber keluhan bagi seorang. Tapi bagi orang lain, kemacetan bisa mengendorkan sedikit saraf, bahkan secara positif digunakan membaca yang positif. Minimal, merenung berpikir positif sesaat.

Lihatlah satu peristiwa, seperti kemacetan dapat diberi makna atau nilai positif atau negatif. Itu, tergantung dengan cara orang memilih reaksinya...Sebagai orang beragama, iman dan amal baik penangkal keluhan.

Bertindaklah, dengan rendah hati menghadapi masalah kehidupan. Bukan dengan mengeluh. Stop, mengeluh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun