Apakah Anda orang yang aktivis perdamaian? Itu niat dan pekerjaan yang baik. Tapi, pernahkan Anda mengilas balik sendiri. Ada saja orang yang pekerjaannya semacam aktivis perdamaian, paling tidak jurusan resolusi konflik. Namun, dirinya diliputi peperangan. Bagi dia mendamaikan orang itu atau berdamai dengan orang itu mudah saja. Ia dapat berkongsi kembali dengan kawan maupun lawan.
Katanya, itulah sikapku terus-terang. Di sini saja kita berantam. Selepas itu, kita semeja makan. Di ruang diskusi, rapat, kuliah, dan seminar aku tampak garang. Tapi, di rumah aku takut sama pasangan. Di perusahaan ini, aku semacam diktator tulen. Setiap karyawan mesti menuruti perintahku. Tapi, asal kalian tak tahu saja, di rumah aku budak dari pasangan dan anak-anaku.Â
Memang, kita manusia dengan potensi dan tensinya. Kadang merupakan aktor. Mungkin belum pernah tayang di layar televisi. Tapi paling tidak, kita aktor dalam diri kita sendiri. Atau di hadapan orang lain.
Aku, kau, kita bisa saja berpura-pura mudah berdamai dengan orang lain. Aku bilang, aku tulus memaafkanmu. Meski kadang terngiang di kuping, sesekali berbisik godaan setan, membalas dendam. Cuma, masih dapat diredam. Dan biar dianggap orang "perlapangan." Sudi-sudilah, biarpun tampilan memaafkan orang lain. Itulah yang ditonjokan dari kulit luar, wajah, mata, kerutan dahi, dan gestur tubuh lainnya.Â
Aku, kau, dan kita enteng membanggakan diri mudah memaafkan. Tidak menyimpan dendam kepada orang lain yang menjadi lawan. Biarpun, begitu diketahui berita lawan kena derita. Senyum sinis, bahkan tawa tersungging di bibir kita. Semacam kegembiraan yang berbaur dengan dendam kesumat terpendam.
Itulah kenapa pesan orang bijak. Sebelum menjadi aktivis perdamaian atau berdamai dengan orang lain. Alangkah lebih pentingnya berdamai dengan diri sendiri. Bagaimana bisa aku dikatakan belum berdamai dengan diri sendiri? Kira-kira, apakah yang menjadi indikasi aku masih belum bisa berdamai dengan diri sendiri?
Di antaranya yang bisa kita amati.
Apakah Anda dapat menerima kelebihan dan keterbatasan diri, tanpa menjadi congkak atau minder? Sebagian orang cenderung bicara kehebatan, kejeniusan, kecerdasan, keberhasilan, keprestasian, keuangan, ketabungan, kehartaan, dan kepameran dirinya. Kepada orang demikian, Anda, aku, kau, dan kita mencapnya; angkuh, sombong, dan arogan.
Sebaliknya, ada saja orang yang seluruh hidupnya dicatat dengan penuh keluhan atas keterbatasan dirinya. Ia semacam penceramah yang paling pandai terkait dengan kekurangan dirinya. Kepada orang ini, Anda mungkin iba, tapi bisa jadi semakin merendahkannya, bahkan di hadapannya?
Jadi, inilah perdamaian pertama dengan diri sendiri menerima kelebihan dan keterbatasan diri secara seimbang. Tanpa menjadi hambatan untuk berbuat baik atau berkembang secara lebih ituh.
Apalagi, mencintai diri sendiri dan orang lain. Berdamai dengan ini juga agak butuh upaya. Ada orang beranggapan mencintai diri sendiri dengan sebutan narsis. Ya. Itu mitologi. Mencintai diri itu penting sebelum Anda mencintai orang lain. Seperti tembang lagu, bagaimana Anda bisa mencintainya, sedangkan dirimu sendiri tak kau cintai. Cinta diri itu sebenarnya positif agar lebih mencintai orang lain.
Tapi, ada saja orang yang hanya bisa mencintai orang lain. Namun, tak bisa mencintai dirinya sendiri. Sebaliknya, ada orang yang hanya mencintai dirinya sendiri. Tanpa pernah beranjak mencintai orang lain.
Idealnya perdamaian cinta: Bisa mencintai dan dicintai atau sebaliknya dicintai dan mencintai.
Selanjutnya, berdamai dengan milik pribadi dan pekerjaan. Saya menatap kenderaan saya persis dengan kondisi jiwa saya. Sebagian orang memiliki kenderaan sepeda motor atau mobil, tanpa dirawat. Jok sepeda motor atau mobil, lampu, dan asesoris lainnya sudah pada sobek dan mati. Kira-kira begitulah gambaran pemiliknya? Bahkan, kalau Anda tak memerhatikan kaus kaki Anda sobek. Sepertinya, jiwa Anda sedang tercabik?
Jadi, kita perlu berdamai dengan milik pribadi dan pekerjaan dengan jalan bersyukur secara berkelimpahan. Merawat, mencuci, dan memperbaiki bagian yang rusaknya.
Terakhir, perlunya berdamai dengan penyakit.Â
Ada orang yang terus-menerus berjuang melawan penyakitnya. Dengan berobat ke mana-mana, menghabiskan segala uang dan hartanya demi melawan penyakitnya. Ya. Itu pilihan hidup Anda. Aku tak bermaksud melarang Anda berobat. Silakan saja!
Tapi sungguh penyakit pun dapat diterima sebagaimana layaknya tamu terhormat. Biarkanlah dulu dia bersemayam di dalam diri. Mungkin, ia hanya singgah saja. Sehari, sepekan, sebulan, setahun, dan seterusnya. Berusaha keras, berlebihan mengusir tamu sepertinya menandakan kurang tanda hormat.
Ada banyak penyakit tidak bisa dilawan dokter dan obat-obatan. Tapi, cukuplah berdamai dengannya. Berkawan padanya. Berkongsi padanya. Katakan, hei kawan! Mari kita bersahabat. Salah satu yang lebih baik dilakukan dalam menghadapi penyakit kronis ialah dengan semakin berderma atau dermawan. Banyak menyumbangkan harta atau sumbangsih lainnya terhadap kepentingan umum.
Aku belajar demikian dari guru pesantren yang sangat bijak dan pasrah dengan penyakit. Kebalikannya, banyak saya temukan orang kota yang selalu berusaha keras melawan penyakit mereka secara berlebihan. Tanpa pernah sedikitpun mengajak penyakit berdamai dengan jalan besedekah dan berderma kepada kepentingan umum dibanding sekedar membeli resep dokter?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H