"Cintailah apa yang kamu cintai itu sekedar saja, mungkin suatu hari (saat) dia menjadi yang paling kamu benci. Bencilah sekedar saja, barangkali suatu hari, dialah yang paling kamu cintai."
Pesan bijak di atas. Bukan berarti kita mediokritas atau serba tanggung. Bukan itu. Melainkan lebih pada proporsi yang lebih seimbang dan adil.Â
Kadang, kita di Indonesia ini, inilah di antara penyakit kebangsaan kita.Â
Berlebihan cinta dan benci pada satu tokoh.Â
Berlebihan cinta dan benci pada satu ideologi, turunan, suku, ras, dan kulit lainnya.Â
Bisa berlebihan lantaran sangat cinta dan benci pada agama.Â
Bisa berlebihan karena sangat cinta dan benci kemanusiaan.Â
Bisa berlebihan karena sangat cinta dan benci kenasionalan.Â
Bisa berlebihan karena sangat cinta dan benci kedemokrasian.Â
Bisa berlebihan karena sangat cinta dan benci kesosialan.
Memang, tetaplah perlu merasa berharkat. Harga diri sebagai suku tertentu perlu dimuliakan. Namun, tak harus menistakan suku atau orang lain. Sebab, mereka yang tak dapat menghargai sukunya sendiri akan kehilangan identitas. Orang yang kehilangan identitas tak akan bisa maju. Sebaliknya, orang yang berlebihan bangga dengan suku dan etnisnya, cenderung sombong, angkuh, dan arogan.
Di Indonesia, mudah sekali kita memetakan para politisi yang berlebihan di televisi dalam mengumbar komentar. Bahkan, presenter atau jurnalis pewawancara di muka televisi. Sesuai dengan visi-misi, dan platform partai.
Kalau boleh saya sedikit menyederhanakan, perdebatan politisi yang berlebihan terkait dengan 5 sila, Pancasila.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-1. Katakanlah, agama.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-2. Katakanlah, humanis.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-3. Katakanlah, persatuan, nasionalis.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-4. Katakanlah, kerakyatan, demokrasi.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-5. Katakanlah, keadilan, sosialis.
Nah, nah, yang paling berlebihan lagi, banyak politisi Indonesia hanya mengambil satu cara pandang pada satu sila atau dua sila. Seakan mengabaikan sila lainnya. Sehingga, kita akan mudah mengamati perdebatan politisi yang saling membela diri serta menafikan (menidakkan) orang lain.Â
Bagaimana misalnya kita dapat melihat sebagian politisi dari kaum agamis dan nasionalis saling menegasikan. Jadi, kalau kita mau jujur dalam berbangsa Indonesia, radikalisme-ekstremisme bukan hanya dalam agama. Tapi, ada radikalisme/ekstremisme humanisme, ekstremisme nasionalisme, ekstremisme demokratisme, dan ekstremisme sosialisme. Masalahnya, kita gak mau ngaku..
Yang lebih asyik cuma menuduh atau mengomentari orang lain secara sinis. Seraya mengangkat diri paling berjasa terhadap bangsa ini. Padahal, yang diperbuat hampir nol?
Kawan-kawan dan lawan-lawan sekalian, marilah berupaya berendah hati dalam berpolitik dan berdemokrasi ini. Termasuk dalam beragama. Melampaui batas keseimbangan, berlebihan bisa merusak bangsa Indonesia kita ini.
Salam Kompasiana
Abdul Hakim Siregar
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI