Di Indonesia, mudah sekali kita memetakan para politisi yang berlebihan di televisi dalam mengumbar komentar. Bahkan, presenter atau jurnalis pewawancara di muka televisi. Sesuai dengan visi-misi, dan platform partai.
Kalau boleh saya sedikit menyederhanakan, perdebatan politisi yang berlebihan terkait dengan 5 sila, Pancasila.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-1. Katakanlah, agama.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-2. Katakanlah, humanis.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-3. Katakanlah, persatuan, nasionalis.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-4. Katakanlah, kerakyatan, demokrasi.
Di media, kita memirsa politisi yang berlebihan menekankan sila ke-5. Katakanlah, keadilan, sosialis.
Nah, nah, yang paling berlebihan lagi, banyak politisi Indonesia hanya mengambil satu cara pandang pada satu sila atau dua sila. Seakan mengabaikan sila lainnya. Sehingga, kita akan mudah mengamati perdebatan politisi yang saling membela diri serta menafikan (menidakkan) orang lain.Â
Bagaimana misalnya kita dapat melihat sebagian politisi dari kaum agamis dan nasionalis saling menegasikan. Jadi, kalau kita mau jujur dalam berbangsa Indonesia, radikalisme-ekstremisme bukan hanya dalam agama. Tapi, ada radikalisme/ekstremisme humanisme, ekstremisme nasionalisme, ekstremisme demokratisme, dan ekstremisme sosialisme. Masalahnya, kita gak mau ngaku..
Yang lebih asyik cuma menuduh atau mengomentari orang lain secara sinis. Seraya mengangkat diri paling berjasa terhadap bangsa ini. Padahal, yang diperbuat hampir nol?
Kawan-kawan dan lawan-lawan sekalian, marilah berupaya berendah hati dalam berpolitik dan berdemokrasi ini. Termasuk dalam beragama. Melampaui batas keseimbangan, berlebihan bisa merusak bangsa Indonesia kita ini.