Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemindahan Ibu Kota ke Kampung Kami Saja, Bagaimana Syaratnya?

12 April 2017   09:44 Diperbarui: 12 April 2017   09:53 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: (KOMPAS.COM/PRAVITA RESTU ADYSTA)

Sulaiman as memindahkan istana Ratu Balqis dengan kekuatan ilmu (dengan izin Tuhan), sekejap mata.

Kita di Indonesia mau memindahkan ibu kota dengan kekuatan apa? Atau alasan apa? Ekonomi? Politik? Dan sebagainya?

Pemindahan ibu kota memengaruhi perkembangan kota tujuan. Tapi, tidak itu saja. Juga, bisa perubahan atau saling memengaruhi tradisi, kultur, budaya, cara pandang, ekonomi, politik, dan hingga militer.

Sebagai guru sejarah Islam misalnya, saya pelajari pemindahan ibu kota dari Madinah ke Kufah, lalu ke Suriyah, ke Bagdad. Satu di antara alasan pemindahan ibu kota bersifat politik. Lebih umum lagi, pemindahan ibu kota pemerintahan raja kuno sepertinya lumrah terjadi sesuai dengan basis massa atau alasan strategis. 

Nah, pemerintahan kita kini, 2017 berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke daerah lain. Pokoknya, di luar Pulau Jawa, dikatakan Bapenas-selesai tahun ini. Bappenas menganalisis kriteria wilayah. Kesiapan dan ketersediaan lahan serta sumber pendanaan pembangunan ibu kota baru itu. Salah satu, daerah kandidat berpotensi ibu kota, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Apalagi konon kabarnya, Presiden Soekarno pernah mewacanakan agar ibu kota berpindah ke Palangkaraya, pada dekade 1950-an. Malahan, Bung Karno mengunjungi kota itu guna meninjau perkembangannya.

Pemerintahan kini, berencana kembali mewujudkan itu agar perekenomian Indonesia tidak hanya terpusat di Jabodetabek. Sepertinya, pemindahan ibu kota dari pulau Jawa ke luar daerah semacam pembentukan pusat ekonomi baru.

Jadi, alasan pemerintah sepertinya mengendepankan sisi ekonomis, pembangunan? Meski kemudian, tidak menutup kemungkinan unsur politiknya? Jika dulu, pemindahan ibu kota lebih dominan unsur politiknya, pemerintah kini beralasan ekonomisnya lebih utama?

Bukankah, beberapa pulau paling pinggir Indonesia atau malahan daerah perbatasan rawan terjadi kelompok perlawanan yang berupaya memisahkan diri dari Indonesia. Bukankah pendekatan, ekonomi, pendidikan, hingga militeristik dilakukan. Tapi, hingga kini sepertinya kelompok perlawanan belum tertautkan jiwa mereka ke Indonesia. Dalam bingkai, wilayah NKRI. Terakhir, pendekatan otonomi khusus daerah, juga belum meredam aksi sporadis gangguan keamanan. 

Oleh karena itu, saya tidak dalam hal menggurui di sini, apakah dampak positif-negatif, kelebihan-keterbatasan pemindahan ibu kota? Bagaimana had atau masa pemindahan ibu kota dapat dilakukan. Apakah misalnya, sekali 5 tahun seperti dalam pemilu? Bagaimana pula kalau seorang calon presiden mengampanyekan pemindahan ibu kota ke daerahnya, kalau ia terpilih presiden atau anggota legislatif? Apakah pemindahan ibu kota bergiliran, seluruh pulau hingga daerah di Indonesia? Setelah itu, bagaimana nanti memindahkan ibu kota kembali ke Jakarta?

secara pribadi, terutama kini kita yang baru berdemokrasi. Bagi saya dampak pemindahan ibu mungkin agak lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Karena, banyak faktor dan kompleksitas persoalan bangsa kita. Bukankah misalnya salah satu kendala hingga konflik atau kerusuhanb pemekaran di daerah karena persoalan letak ibu kota pemekaran. Setiap tokoh daerah hingga warga mengingkan ibu kota pemekaran di daerah mereka masing-masing?

Memang, kebijakan pemindahan ibu kota tentu saja kebijakan sangat populer. Bahkan, membuat kebijakan ini tertulis di buku sejarah Indonesia. Dan dibacakan kepada anak-anak sekolah dasar. Apalagi, sejak Indonesia merdeka, ibu kota selalu Jakarta. Lalu, kini ada hasrat ibu kota ke Palangkaraya. Yah, pastilah warga Palangkaraya dan para tokoh dari Palangkaraya menyambut baik posisi itu. Bagaimana perasaan para tokoh daerah lain? Meski tak ada yang protes keras, siapa tahu yang terbenam di hati setiap anak bangsa ini?

Bukankah, dengan memberdayakan kepala daerah, serta otonomi daerah lebih soft dibanding memindah-mindahkan ibu kota? Saya sedikit agak khawatir, dengan pemindahan ibu kota kita terkotak-kotak lebih rentan konflik. Sebab, ada banyak stereotipe kolektif bangsa kita. Jangankah soal wilayah, bahkan kesukuan belum bisa kita tangani dengan lebih positif dan toleran? Yah, paling tidak, pemindahan ibu kota membuat sebagian kita agak nomaden. Semacam ramalan, Kota Jakarta yang metropolis setelah ditinggalkan ibu kota menjadi kota mati atau bahkan berubah jadi perkampungan? Atau seperti kabar burung, ramalan dukun, katanya Jakarta mau tenggelam atau ditelan laut. Sehingga, sebagian kecil orang dari Jakarta, buru-buru pada pindah!

Nah, kalau aku boleh punya usul. Usul dari rakyat biasa, ke kampung kami yang terisolasi kini. Sulitnya infrastruktur transportasi dapat jugalah dipertimbangkan daerah menjadi ibu kota mendatang setelah dari Palangkaraya. Minimal, seperti kata teman saya seorang politisi. Ia berencana mengusulkan daerah kami dimekarkan lagi. Sebab, setelah dimekarkan beberapa kali, daerah dan kampung kami tetap perbatasan atau bahkan pinggiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun