Memang, kebijakan pemindahan ibu kota tentu saja kebijakan sangat populer. Bahkan, membuat kebijakan ini tertulis di buku sejarah Indonesia. Dan dibacakan kepada anak-anak sekolah dasar. Apalagi, sejak Indonesia merdeka, ibu kota selalu Jakarta. Lalu, kini ada hasrat ibu kota ke Palangkaraya. Yah, pastilah warga Palangkaraya dan para tokoh dari Palangkaraya menyambut baik posisi itu. Bagaimana perasaan para tokoh daerah lain? Meski tak ada yang protes keras, siapa tahu yang terbenam di hati setiap anak bangsa ini?
Bukankah, dengan memberdayakan kepala daerah, serta otonomi daerah lebih soft dibanding memindah-mindahkan ibu kota? Saya sedikit agak khawatir, dengan pemindahan ibu kota kita terkotak-kotak lebih rentan konflik. Sebab, ada banyak stereotipe kolektif bangsa kita. Jangankah soal wilayah, bahkan kesukuan belum bisa kita tangani dengan lebih positif dan toleran? Yah, paling tidak, pemindahan ibu kota membuat sebagian kita agak nomaden. Semacam ramalan, Kota Jakarta yang metropolis setelah ditinggalkan ibu kota menjadi kota mati atau bahkan berubah jadi perkampungan? Atau seperti kabar burung, ramalan dukun, katanya Jakarta mau tenggelam atau ditelan laut. Sehingga, sebagian kecil orang dari Jakarta, buru-buru pada pindah!
Nah, kalau aku boleh punya usul. Usul dari rakyat biasa, ke kampung kami yang terisolasi kini. Sulitnya infrastruktur transportasi dapat jugalah dipertimbangkan daerah menjadi ibu kota mendatang setelah dari Palangkaraya. Minimal, seperti kata teman saya seorang politisi. Ia berencana mengusulkan daerah kami dimekarkan lagi. Sebab, setelah dimekarkan beberapa kali, daerah dan kampung kami tetap perbatasan atau bahkan pinggiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H