Mohon tunggu...
Abdul Hakim Siregar
Abdul Hakim Siregar Mohon Tunggu... Guru - guru

Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Empat Tabiat Buruk yang Biasa Terjadi di Pondok Pesantren dan Sekolah Berasrama?

3 April 2017   14:15 Diperbarui: 4 April 2017   15:28 3000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa pembunuhan yang terjadi di SMA Taruna Nusantara membuat kita kaget, sok, duka, cemas, dan prihatin.

Apalagi, beberapa orang yang berkomentar itu, mereka yang belum pernah sekolah berasrama atau berpondok pesantren. Sebaliknya, sebagian kawan alumni asrama (boarding) dan pondok bungkam. Tak memberi penjelasan seluk-beluk berasrama dan berpondok.

Sebagai sarana berbagi di sini. Saya tak banyak tahu tentang sekolah asrama. Apalagi sekaliber SMA Taruna Nusantara. Cuma, saya tahu banyak seluk beluk berpondok pesantren. Karena saya berpondok. Dengan ukuran pondok 2x2meter selama 6 tahun. Dari MTs/sederajat SMP hingga Madrasah Aliyah (MA/sederajat SMA). Di kompeleks pondok pesantren, berdirilah kurang lebih 300-500-ratusan pondok 2x2 tadi. Berjejer. Berbaris. Berbanjar. Pondok-pondok itu dihuni ratusan santri dengan latar belakang suku, marga, asal, dan daerah berbeda. Idealnya, kami diutamakan satu pondok satu santri. Layaknya, kamar hotel (pondok). Sepondok, maksimal 3 orang. 4 orang atau lebih terlarang sepondok karena dikhawatirkan berbincang-bincang saja. Tanpa belajar lagi. 

Umumnya Pondok Pesantren dan sekolah berasrama memiliki kompleks tersendiri, dengan lahan milik Kiai atau yayasan yang memungkinkan mendirikan bangunan pondok. Tempat pondok kami waktu tersendiri, agak jauh dari perumahan kiai pesantren. Satu hingga lima guru pria yang melajang, berpondok bersama para santri. Dengan ukuran pondok yang sama, 2x2m. 

Sumber: Foto Muhammad Solih Siregar Pondok Pesantren Syekh Ahmad Daud Naqasabandi Nabundong Baru
Sumber: Foto Muhammad Solih Siregar Pondok Pesantren Syekh Ahmad Daud Naqasabandi Nabundong Baru
Jadi, yang mengatur-mengontrol, dan memimpin masyarakat santri ialah kepala OSIS yang dipilih secara demokratis berdasarkan kewarakan-kealiman. Lalu, si ketua membagi tugas sesuai dengan bagian organisasi OSIS. Saya, 4 tahun menjabat pada bagian keamanan. Yang bertugas, mengontrol ibadah-belajar santri hingga menerapkan sanksi kepada santri yang melanggar sesuai dengan Undang-undang Pondok Pesantren. Biasanya, Undang-undang Pesantren akan dibacakan pada awal kita menjadi santri, dikumpulkan. Kalau tak salah lebih dari 30-40 pasal/butir.

Salah satu yang paling kuingat, kalau ke pasar atau mau pulang kampung mesti memakai kain sarungan. Artinya, para santri yang ke pekan (pasar) wajib memakai kain sarungan, lengkap dengan lobe di kepala. Siapa yang kedapatan melanggar, petugas pondok pesantren dapat menegur atau bahkan menggundol si santri.

Ada banyak sekali hal yang sangat positif di pesantren. Kalau saya boleh menegaskan jauh lebih banyak nilai positif pendidikan yang kuperoleh selama 6 di pondok pesantren. Tentu saja, karena pondok pesantren seperti tempat hunian warga masyarakat bermukim. Jelas, ada tabiat buruk terjadi. Ya. Sebagai manusia. Tetaplah, manusia dengan segala potensi baik dan tabiat buruknya.

Untuk itu, izinkan saya sedikit menyampaikan 4 hal yang buruk tapi bisa bahkan biasa terjadi di pondok pesantren dan saya kira sekolah berasrama pun tak jauh bedanya. Empat hal yang saya maksudkan itu, sebagai berikut:

Pertama, rasa senioritas yang tinggi. Saya murid baru di pesantren. Sopan-santun terhadap senior saya ditekankan. Suatu kali, seorang santri yang tampak perawakannya jauh lebih kecil dari saya, saya tanya kapan kami mulai masuk sekolah. Ia pun mempelototi saya dan menegur saya agar bicara lebih sopan. Agar saya bertutur, "Abang!" Abang, kapan kita masuk? Bayangkan, hanya karena kukira ia sekelasku, ia kontan menegurku.

Pada kali yang lain, pada jam belajar sehabis Isya sampai jam 22.00 Wib. Aku mencari sesuatu yang jatuh di bawah pondokku. Tiba, senior kelas bertanya, kenapa tidak belajar? Aku jawab, ada kehilangan sesuatu. Itu pun, karena aku lupa bilang: Abang. Ia menempelengku. 

Apalagi ketika waktu Subuh, senior kelas membangunkan para santri agar shalat Subuh. Tiang-tiang pondok, kadang mereka gebuki sekuat mereka. Memang, tak semua senior, ada satu atau dua orang yang merasa centeng. Tapi, itu pun sepertinya sudah ditandai mereka pada junior kelas. Sesama senior mereka bersikap hormat.

Umumnya, para santri menghadapi senior terbagi 2: 

1. Patuh saja. Tak melawan.

2. Menentang atau melawan senior. 

Saya pertimbangkan waktu, nomor 1 dan 2 di atas bukanlah cara yang bijak menghadapi senior. Saya mencari alternatif ketiga, bersama beberapa kawan santri yang junior, sekaligus menjalin hubungan baik dengan beberapa abang senior. Saya bisa memosisikan diri. Bahkan, saya pernah konfrontasi dengan senior agar dia bersikap lebih adil dan baik terhadap junior. Jangan mentang-mentang, senior memperlakukan sesuatu yang semestinya kepada junior. Alhamdullah, di pondok pesantren, aku tak ingin jadi korban. Sekaligus, tidak ingin menjadi pelaku kekerasan senior terhadap junior.

Jurus menghadapi senior: bijaksana, berani, dan empati. Tahu kapan harus mengelak dan melawan, sekaligus. Mengelak pun bukan karena takut berlebihan, melawan pun bukan ingin menunjukkan kesombongan. Tapi, lebih pada tegaknya sikap adil terhadap sesama manusia santri.

Kedua, pencurian. Sudah menjadi kelaziman, barang-barang dapur ditaruh di koper atau karung penyimpanan, lalu disimpan pada satu ruangan kelas yang paling dekat dengan rumah guru. Para santri sendirilah yang menyimpan alat-alat masak dan barangnya di situ tanpa didata. Begitu juga, sehabis libur santri mengambil sendiri barang miliknya. Hal ini awan pencurian. Saya sendiri, pernah kehilangan kompor, periuk, dan alat-alat dapur saya dighasab orang lain. Apakah setelah kejadian itu lalu saya laporkan kepada orangtua, tidak sama sekali?

Saya pandai bergaul, saya menumpang sama memasak dengan kawan. Beberapa bulan kemudian, ada teman yang kurang lebih nasibnya sama-sama kehilangan alat-alat dapur. Sesaat libur, ia tiba di pesantren sehari sebelum sekolah. Ia pun mengambil alat dapur milik orang lain, berkarung-karung. Malahan, ada pernah banyak barang dapur hilang di pesantren karena seorang santri menjadikan alat dapur itu diringsek semacam barang bekas lalu dijualnya.

Seorang santri, karena barang-barangnya hilang termenung di bawah pohon beringin sebelah Selatan pondok. Akhirnya, mulutnya mencong. Para santri menggeledikinya ditampar jin (begu). Tentu, kalau dokter saraf mendiagnosanya stroke. 

Tak hanya mengenai alat dapur. Tapi juga uang, baju, celana, sarung, handuk, sabun, pasta gigi, sikat kain, dan lobe bisa dikutil orang lain di pondok. Sebagai anekdot santri, seorang santri belanja kebutuhan pokok ke pasar, ikan laut atau ikan asin. Jika, ikan asin itu di gantung pada paku atas dinding dari celahnya, orang lain menariknya dengan tangan dari celah lubang atap dinding. Sebaliknya, kalau ikan asin ditaruh di lantai, bagian kucing yang menghabisinya.

Begitupun, Undang-undang atau sanksi pencurian sangat keras di pesantren, Anda bisa diberhentikan tanpa hormat. Tapi, para pencurinya semakin lihai saja. Jadi, pengutilan di pondok sudah seperti adat. Kebiasaan turun yang dianggap biasa terjadi. 

Tapi, ada teknik mendapati barang hilang paling mujarab di pesantren. Kalau Anda kehilangan, dapat dilaporkan kepada senior yang menanganinya. Biasanya, seluruh santri akan dikasih tahu duduk persoalannya. Sedikit dengan agak mengancam dikatakan, siapapun yang mencuri agar segera mengembalikan barang ke tempat semula atau ke pondok tertentu. Jika tidak balik, dalam 3 hari ke depan, akan diadakan Yasinan 41 orang, dan itu bisa berakibat fatal kepada pelaku. 

Sering juga setelah itu, barang yang hilang ditemukan. Cuma, kalau Anda kehilangan ikan teri, gak mungkinlah melaporkannya ke senior atau petugas. 

Triknya: Agar Anda tak kecurian tetaplah waspada. Jangan panik. Laporkan kepada petugas OISIS pondok. 

Ketiga, pacaran. Larangan berpacaran di pondok pesantren, sangat tegas. Yang kedapatan dipecat tanpa hormat. Tapi, tetap saja ada santri yang pacaran, meski waktu itu sekadar lewat surat-suratan. Namun, para guru tak bisa mendeteksinya. Memang, ada senior kelas di pesantren yang kami tahu dipecat gara-gara pacaran. 

Triknya: perbanyak puasa, berdoa pada Tuhan agar mengelola perasaan Anda, dan olahraga. 

Keempat, merokok. Hukuman merokok di pesantren sangat keras. Saya menyaksikan ketika santri kedapatan merokok lalu diberi sanksi. Yang paling keras menjatuhkan hukuman itu justru senior perokok pula.

Trik: tolak merokok dengan tegas dan singkat. Tidak. Saya memilih tak merokok. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun