Niat menjadi penulis artikel (opini) di media massa masih ada. Namun, minat dan praktik menjadi penulis artikel tergolong sedikit. Gambaran itu misalnya, saya dapati dan alami ketika kami mengadakan workshop“Menulis Artikel Opini ke Media Massa” di Kota Padangsidimpuan. Awalnya, teman panitia cukup optimis dengan hasrat beberapa pendaftar, dua puluh orang. Tapi, menjelang hari H (Minggu, 1/5/2016), separuh pendaftar itu mundur. Entah alasan apa gerangan, yang pasti saat dikonfirmasi, sudah tak ada kepastian mengikuti acara workshop.
Akhirnya, semangat panitia, sedikit melemah, untuk tidak menyebutnya hampir “putus asa.” Rupanya, minat menjadi penulis artikel opini di Padangsidimpuan, khususnya, termasuk rendah. Padahal, brosur informasi disebar ke beberapa universitas, instut, sekolah tinggi, sekolah, dan bahkan tempat publik lainnya. Sekalipun demikian, gairah menulis loyo, menulis artikel tetaplah harus dilaksanakan. Begitu juga, yang kami lakukan.
Di tengah, hasrat menjadi penulis artikel, rendah. Masih harus dihadang dengan berbagai kesulitan. Misalnya, penulis pemula kurang mengikuti perkembangan kabar, berita, dan informasi terkini. Meliputi kabar pendidikan, politik, ekonomi, hukum, sosial, dan segi kehidupan lainnya. Kejadian yang perlu diamati, dari daerah, nasional, hingga internasional. Itu artinya, jika niat menjadi penulis butuh bacaan yang banyak. Tidak hanya membaca beragam buku itu, tapi juga harus berlatik dan berpraktik menulis opini. Lalu, mengirimkannya ke Koran yang dituju.
Di situ, berarti penulis pemula harus bergelur dengan informasi dan data aktual. Selain tentunya, perlu juga bergulat dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Khususnya lagi menguasai bahasa jurnalistik, yang singkat, padat, dan ekonomis.
Kesulitan lain, penulis pemula harus berhadapan (bersaing) dengan para penulis professional. Yang terlatih dan terbiasa menulis opini di koran. Apalagi, penulis profesional lebih mumpuni di bidang ilmu pengetahuan, pengalaman, dan pergaulan. Bahkan ternama di media massa. Tapi, tentu tidak ada lagi jalan atau tempat bagi penulis pemula. Jalan masih terbuka bagi siapa saja yang memiliki niat dan minat sungguh-sungguh menjadi penulis pemula.
Jika memiliki harta berlimpah. Belilah banyak buku yang berkaitan dengan menulis. Agar satu buku tentang kepenulisan dapat ditelusuri dengan buku kepenulisan lainnya, lihatlah pada daftar pustaka bahan bacaan, penulis. Namun, jika kurang beruntung di bidang ekonomi. Alias dijerat kemiskinan. Sesungguhnya, kemiskinan pun bisa menjadi modal penulis. Pasalnya, kemiskinan dari berbagai aspeknya dapat ditinjau. Bahkan, sebagian orang menjadikan kemiskin, sebagai pembangkit semangat. Sebaliknya, kemiskinan pada orang lain, dapat menjadi pemicu tukang kriminal.
Modal lain jadu penulis pemula ialah fisik, spiritual, emosional, dan intelektual. Pengurutan itu tidak mutlak. Mungkin juga, kecacatan bagi sebagian orang pendongkrak keterampilan. Tanpa harus menjadi pengemis atau peminta-minta, tulen. Modal spiritual dan emosional sangat penting, lantaran penulis harus memiliki daya tahan spiritual dan emosional. Sebab, jika tidak, bahkan penulis kawakan harus menelan sedikit “kekecewaan” lantaran tulisannya tak dimuat redaktur artikel opini.
Jangan salahkan dan buruk sangka terhadap redaktur media massa yang belum menayangkan tulisan pemula. Umumnya, redaktur media yang besar sangat sibuk setiap hari. Karena, ia atau mereka berhadapan dengan deadline dan headline artikel opini, khususnya. Yang paling penting diingat lagi, para redaktur media, umumnya orang baik-baik.
Jadi, ketika tulisan opini ditolak redaktur media, yang paling utama, melipatgandakan modal penulis mengkapital. Sebagai modal tambahan, penulis pemula perlu melengkapi syarat berikut:
Pertama, perbanyaklah membaca apa saja. Agak muskil, bahkan mustahil menjadi penulis pemula tanpa mau membaca bacaan bermutu. Termasuk di sini, pentingnya memiliki koleksi banyak buku, kamus bahasa/disiplin ilmu, dan ensiklopedia. Kedua, kuasailah penggunaan bahasa Indonesia yang benar. Khususnya, bahasa jurnalistik yang khas. Di antara cirinya, singkat, padat, dan hemat kata. Ketiga, kuasai kemampuan menggunakan komputer, laptop, dan internet. Keempat, praktik menulis opini dan mengirimkannya ke media sasaran.
Kelima, modal menyunting tulisan sendiri. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengediting tulisan; (1) Kejelasan penyusunan kalimat. Subjek dan predikatnya jelas. Yang dipentingkan diawal dan penjelasannya diakhirkan. (2) Ketelitian fakta. (3) Kesopanan artinya memeriksa secara teliti hal yang berbau sara dan bertentangan dengan negara. (4) Menggunakan Ejaan yang disempurnakan (EYD) dan menggunakan tata bahasa baku. (5) Menghilangkan kata mubazir (berlebihan), seperti bahwa, adalah, telah/sudah, untuk, dari, dan penjamakan ganda. (Rosihan Anwar, 2004: 27).
Patokan Menulis
Masih menurut, wartawan dan penulis senior, Rosihan Anwar (almarhum), dalam bukunya, “Bahasa Jurnalistik Indonesia & Komposisi.” Ia menyebutkan patokan menulis; gunakan kalimat pendek, bahasa biasa yang mudah dipahami, hindarkan kalimat majemuk, dan gunakan kalimat aktif, bukan pasif.
Sebagai tahapan menulis, menurut Sabarti Akhadiah, dan kawannya. Ada tiga hal: Pertama, pra-penulisan, pemilihan topik dan tema serta pengumpulan bahan bacaan. Kedua, penulisan. Pada tahap ini, pengorganisasian, penyusunan, dan pengetikan artikel opini. Ketiga, penyuntingan tulisan sendiri.
Di samping itu, kode etik menulis harus dipelajari, dipahami, dan diperhatikan penulis pemula. Jangan sampai, nama penulis pemula tercemarkan, sampai dimasukkan dalam “daftar hitam” media massa, karena pelanggaran etika jurnalistik.
Praktik Menulis
Tentukanlah pokok pikiran atau tema tulisan. Topik tulisan tidak terlalu luas, juga tidak terlampau sempit. Pilihlah topik yang dikuasai, sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Lalu, susunlah pokok pikiran tadi menjadi kata. Kata ke kalimat, kalimat ke paragraf. Paragraf haruslah memiliki kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan.
Agar antarkalimat padu, misalnya. Gunakanlah penghubung antarparagraf, di antaranya; agaknya, akan tetapi, akhirnya, akibatnya, biarpun begitu, biarpun demikian, berkaitan dengan itu, dalam hal ini, dalam hubungan ini, dalam konteks ini, dengan kata lain, di samping itu, di satu pihak, di pihak lain, jika demikian, meskipun demikian, oleh karena itu, oleh sebab itu, pada dasarnya, pada prinsipnya, sebaliknya, sebelumnya, sesudahnya, sebetulnya, selanjutnya, sungguh pun demikian, dan tambahan lagi. Semua penghubung paragraf, harus diikuti tanda koma. (Lihat Pamusuk Eneste, “Buku Pintar Penyuntingan Naskah”).
Jadi, mulailah menulis! Tulislah kegembiraan, kesedihan, ketakutan, kemarahan, dan bahkan ketraumatikan Anda! Riset, Dr. Pennebaker menunjukkan sekelompok mahasiswa relawan yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam dan paling traumatis lebih sehat dibanding relawan lainnya yang hanya menulis persoalan sepele. Malahan tidak menulis sama sekali. Kelompok terakhir itu, justru lebih sering sakit.
Selain itu, perjalanan, pengalaman, pengamatan, dan penelitian dapat dituliskan. Hasil renungan, bacaan, dan observasi. Bahkan sepucuk surat pada perusahaan listrik setempat memberi tahu lampu di luar rumah Anda padam, saran Fatima Mernissi dari Maroko.
Nah, dari mana harus memulainya?Mulailah kini. Bisa dari belakang, tengah atau awal. Kesimpulan, judul, atau tengahnya. Tidak ada yang melarang, bukan?
Menjadi penulis itu murah, bahkan tidak semahal harga rokok pria atau seharga kosmetik wanita. Persiapannya cukup kertas/pulpen sederhana, tambah computer kalau ada. Lalu, tulis tangan atau ketik langsung. Modal termahal penulis pemula ialah proses, latihan, dan praktik. Dengan demikian, penulis pemula sekalipun diharapkan dapat media massa yang dituju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H