Mohon tunggu...
Sipta Fredlina
Sipta Fredlina Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Nama saya Sipta Firstina Fredlina, saya lahir di Trenggalek 26 Mei 2004. Saya tinggal di JL MT Haryono no 210 A Malang, Dinoyo , Jawa Timur. Hobi saya membaca, bermain musik, dan menggambar. Cita cita saya menjadi guru. Dan harapan saya untuk kedepannya adalah menjadi pribadi yang baik dan unggul untuk meraih kesuksesan di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Rasionalisme Rene Descartes

29 September 2023   22:30 Diperbarui: 29 September 2023   23:02 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/7/73/Frans_Hals_-_Portret_van_Ren%C3%A9_Descartes.jpg/800px-Frans_Hals_-_Portret_van_Ren%C3%A9_De

Rasionalisme Rene Descartes

Oleh: Sipta Firstina Fredlina

Rene Descartes lahir pada 31 Maret 1596 di sebuah kota kecil, tepatnya di La Haye yang terletak di antara Tours dan Poitiers di negara Prancis. Ayahnya bekerja sebagai anggota parlemen Inggris, dan ibunya meninggal saat Descartes masih kecil berumur satu tahun. Kemudian ayahnya menikah lagi dengan perempuan lain. Lalu Descartes diasuh oleh neneknya dan sejak itu ia tidak pernah melihat ayahnya lagi[1].

Descartes dikenal sebagai Renatus Cartesius yang merupakan seorang filsuf dan matematikawan perancis. Ia beragama katholik dan juga penganut bid’ah Gallileo yang pada saat itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja (Anggriani). Rene Descartes juga disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern”, menurut Bertand Russel gelar itu diserahkan kepada Descartes karena dia orang pertama yang mendirikan filsafat di zaman modern atas keyakinan diri sendiri yang diperolehkan pada pengetahuan rasional. 

 Descartes merupakan anak yang suka berfikir kritis, cerdas, dan tanggung jawab dalam segala sesuatu. Ia menempuh pendidikan perkuliahan di Universitas Jesuites di La Fleche dari tahun 1604-1612 M yang telah memberikan pengetahuan mengenai dasar-dasar matematika modern yang lebih baik dari pada yang bisa diperolehnya di kebanyakan universitas pada saat itu. Kemudian pada tahun terakhir saat kuliah ia belajar filsafat, moral, dan matematika.

Tetapi ilmu pengetahuan yang diterimanya hanya dapat menyebabkan keraguan dalam jiwanya kecuali matematika. Setelah lulus kuliah dari Universitas Jesuites, ia merasa masih belum puas dengan pengetahuan yang didapatkannya dalam bidang matematika. Lalu ia memutuskan untuk pergi ke suatu daerah terpecil di Kota Paris yaitu Fauborg St. Germain untuk mempelajari ilmu Geometri.[2]

 Descartes merupakan tokoh rasionalisme dalam filsafat modern. Rasionalisme mengatakan bahwa akal adalah alat yang sangat penting untuk mendapatkan pengetahuan dan menyatakan bahwa kebenaran tertinggi ada pada akal dan rasio manusia yang dapat membentuk pengetahuan dalam paham filsafat. Gerakan rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan dihasilkan dengan jalan berfikir dan doktrin filsafat mengatakan bahwa kebenaran harus ditentukan mulai dari pembuktian logika dan analisis berdasarkan fakta dari pada melalui iman atau ajaran Islam. 

Pandangan rasionalisme Rene Descartes tidak akan terpengaruh dalam menjelaskan bahwa ujung kebenaran terletak pada akal manusia. Dia juga seorang filsuf yang tidak setuju dengan pemikiran ilmiah atau filosofis yang memiliki pendapat yang berpengaruh dan tidak yakin. Sehingga muncul metode baru yaitu metode keraguan.  Jika seseorang mengungkapkan keraguannya terhadap sesuatu, jelas dia sedang memikirkannya.

 Descartes mulai banyak berfikir dan meragukan segala sesuatu yang dia ragu tentang keberadaan dunia, keberadaan Tuhan, bahkan keberadaan dirinya sendiri. “Apakah Tuhan benar-benar ada? Apakah tubuhku benar-benar ada?” akhirnya Descartes sampai pada kesimpulan yaitu “Karena saya ragu, maka saya berfikir, karena saya berfikir, maka aku ada, karena saya ada, Tuhan ada, dan semua orang ada. [3]

 Descartes percaya bahwa pengetahuan yang harus diragukan adalah segala sesuatu yang kita dapatkan dalam kesadaran dianggap karena hal itu bisa jadi akibat khayalan atau penipuan, dan sebagainya. Sampai saat ini kami mengira hal ini pasti dan benar. Misalnya ilmu yang didapat melalui pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan atau pengajaran, pengalaman, pengetahuan tentang keberadaan benda atau tubuh kita, pengetahuan tentang Tuhan, dan pengetahuan ilmu pasti yang paling sederhana (Descartes, 1953).

Untuk membuktikan tersebut, Descartes membuktikannya sebuah pengalaman mimpi yang nampaknya sangat nyata. Ketika kita melakukan sesuatu sama sekali tidak dapat dilakukan dalam keadaan sadar (misalnya terbang). Mimpi akan menjadi kenyataan, kitab bisa mewujudkannya. Itu sebabnya tidak ada yang bisa meyakinkan bahwa kita sedang bermimpi. Dan jika kita tidak yakin apakah kita sedang bermimpi pada saat itu, maka dapat dipastikan kita tidak memperoleh pengetahuan dan kebenaran melalui pengalaman indra kita (Schick, 2002)

 Dalam hal menemukan kebenaran hakiki ilmu pengetahuan memastikan bahwa sesuatu yang ada benar-benar ada dan tidak ada ini hanya sebuah khayalan semata. Descartes meletakkan dasar pemikiran yang disebut dengan metode keraguan yaitu metode yang dimulai dengan usaha meragukan segalanya (Rosidi, 2002). Menurut Descartes, mungkin ada sesuatu (disebut “jenius dan setan jahat” oleh Descartes yang bisa menipukan atau memalsukan sebuah alasan. Jadi sesuatu yang dianggap salah bisa jadi benar, atau hal-hal yang kelihatannya salah akan tampak benar. 

Dalam hal ini Descartes membuktikan dan memahami keberadaan dunia luar sepertinya sulit. Hal ini bertentangan dengan filosofi “Cogito Ergo Sum” untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu dengan keberadaan dunia luar, maka ia bertentangan dari adanya keberadaan Tuhan. Karena menurutnya hanya Tuhan yang bisa menjamin bahwa pikiran kita yang jernih dan rahasia adalah benar dan kita tidak tertipu oleh setan jahat (Yusuf, 2022).

 Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik awal pencapaian pemikiran rasioanal kebenaran tertentu. Untuk memperoleh kebenaran tertentu, akal harus digunakan dengan menerima fakta sebanyak-banyaknya, bukan hanya fakta berdasarkan panca Indera. Pada dasarnya, dia menegaskan bahwa semua yang dia lihat harus dipertanyakan dan semuanya jelas dan tidak bermasalah. Hal-hal nyata harus diorganisasikan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil.

 Tidak diragukan lagi, Rene Descartes menonjol sebagai filsuf yang sangat berpengaruh pada masanya. Di zaman sekarang, pengaruhnya sebagai sumber inspirasi bagi para filsuf zaman modern tidak bisa dilebih-lebihkan. Ia telah menjadi sosok yang dihormati dan pengaruhnya telah berlangsung dari generasi ke generasi. Setelah itu, menggabungkannya untuk menciptakan apa yang saat ini dikenal. Rasionalisme continental adalah pendirian filosofis yang muncul di Eropa abad ke-17. Ide filosofis Descartes menciptakan revolusi di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Konsep dasarnya adalah tidak ada jaminan, kecuali kenyataan itu. Kemampuan berpikir merupakan sifat bawaan yang dimiliki oleh setiap individu. Ini adalah aspek fundamental dari kognisi manusia dan merupakan bagian integral dari pengembangan pengetahuan, pemahaman, dan pengambilan keputusan nasional.

 Descartes menghabiskan hidupnya di Swedia untuk memenuhi panggilan dari Ratu Christine bahwa ia ingin belajar darinya. Pelajaran yang harus diajarkan adalah pada jam lima pagi yang pada akhirnya Descartes jatuh sakit dan meninggal pada 11 Februari 1650, pada usia 54 tahun. Pada tahun 1667 jenazahnya dipindahkan ke Prancis, Tengkoraknya disimpan di Museum Sejarah Alam di Paris (Zubaedi, 2007).

 Adapun karya-karya Rene Descartes yang terkenal adalah Descours de la method (1637), Meditationes de Prima Philosophia (1641), Taite des Passions (1649), Dioptrique, la Geometrie, les Meteores, Prinsipia, De la Formation du Foetus.[4]

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Choiriyah, N. (2014). Rasionalisme Rene Descartes. Jurnal Anterior. 13(2), 237-243.

Marvinda, T. & Lahabu, Y. (2023). Epistemologi Realistik Rene Descartes dan Implikasinya Dalam Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah. Jurnal Penelitian Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat. 1(1), 1-8.

Faizi, N. (2023). Metodologi Pemikiran Rene Descartes (Rasionalisme) dan David Hume (Empirisme) Dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan dan Studi Islam. 9(3), 1007-10020.

Fikri, M. (2018). Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran Pembaharuan Islam Muhammad Abduh. Jurnal Tarbawi. 3(2), 128-144.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun