Mohon tunggu...
siprianus jemalur
siprianus jemalur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berkontribusi bagi kemajuan daerah melalui tulisan

lahir dan dibesarkan untuk memuja kehidupan meskipun seringkali tidak bersahabat...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menunda Kematian Ibu (AKI): Sebuah Refleksi Kritis

17 Desember 2015   23:38 Diperbarui: 18 Desember 2015   01:13 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angka kematian Ibu sampai saat ini di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359/100,000 kelahiran hidup. Angka angka ini mengalami peningkatan yang cukup besar jika dibandingkan pada tahun 2007 yang berada pada angka 238 pada tahun (Kompas, 5/10/2015). Meningkatnya Angka kematian ibu telah menempatkan Indonesia sebagai Negara yang gagal dalam menginpmlemntasikan MDGS yang dicanangkan PBB pada tahun 2000 khususnya tujuan keempat yaitu menurunkan angka kematian Ibu.

Tingginya angka kematian Ibu ini tentu tidak berbanding lurus dengan berbagai program dan kebijakan serta alokasi anggaran yang telah digelontorkan oleh pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah dalam kurun waktu 15 tahun terakhir ini. Karena itu, kegagalan ini kiranya menjadi evaluasi kritis baik bagi masyarakat maupun pemerintah dalam mengatasi persoalan AKI ke depan di Indonesia.

Melampauai Persoalan Teknis-Medis

Kematian ibu di Indonesia sesungguhnya adalah puncak dari seluruh narasi represifnya kehidupan perempuan dalam keluarga, masyarakat, budaya, politik dan hukum dalam Negara kita. Ia tidak hanya berkaitan dengan persoalan kesehatan medis semata-mata, tetapi akumulasi dari berbagai persoalan utama seperti hilangnya otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri, beban ganda kerja perempuan, tindakan kekerasan, pelecehan seksual, penelantaran secara ekonomi, kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan dan sebagainya. Itu berarti, persoalan AKI sesungguhnya berpangkal dari kondisi represif ini yang bermuara pada kehialngan nyawa ketika hendak melahirkan entah di rumah maupun fasilitas kesehatan.

Hasil survey dan penelitian berbagai lemabaga seperti Risetkesehatan Dasar ( Riskesda), Puslirbangkes Kementrian Kesehatan dan INFID (2013) menyebutkan bahwa Kasus kematian ibu di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh tiga hal utama yaitu infeksi, hipertensi dan pendarahan baik pada masa pra maupun pasca melahirkan. Selain itu, penyebab lain adalah 3T yaitu terlambat mengenal tanda risiko bahaya kehamilan, terlamabat ke fasilitas kesehatan dan terlambat ditolong oleh tenaga kesehatan.

Faktor lain adalah 3T yaitu terlalu muda, terlalu sering dan terlalu tua. Secara medis, persoalan ini kiranya tidak bermasalah. Karena itu, berbagai upaya yang ditempuh adalah dengan meningkatkan fasilitas kesehatan, memperbanyak tenaga kesehatan, anggaran dan program kesehatan. Namun demikian, berbagai program ini toh tidak berkorelasi secara positif dengan tingkat kematian ibu dan bayi di Indonesia.

Kegagalan ini kiranya perlu dilihat secara kritis dan mendalam. Hemat saya, Tingginya angka kematian ibu di Indonesia pertama-tama kiranya tidak dilihat hanya dari persoalan kesehatan semata-mata sebagaimana dilihat selama ini tetapi kiranya perlu dilihat pada persoalan yang lebih mendasar yaitu control atas tubuh perempuan itu sendiri baik dalam konteks kehidupan domestik rumah tangga maupun pada level public terutama kebijakan negara terhadap perempuan dan ibu hamil secara khusus.

Perempuan tidak berdaulat atas tubuhnya sendiri. Ia dikendalikan dari luar hamper dalam semua sector baik peran reproduksinya maupun peran produksinya. Dalam berbagai persoalan, perempaun hamil seringkali tidak berdaulat atas tubuhnya sendiri tetapi dikontrol oleh pihak di luar dirinya baik keluarga, masyarakat maupun oleh negara itu sendiri.

Dalam konteks melahirkan, keputusan dimana ia melahirkan seringkali ditentukan oleh suami, mertua bahkan masyarakat itu sendiri bukan dirinya sendiri. Bahkan kapan seorang perempuan mau menikah dan hamil juga tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi justru ditentukan oleh orang tua, dan bahkan laki-laki yang mungkin tidak ia kehendaki. Kehamilan yang terjadi melalui kekersan dan pemerkosaan misalnya, seringkali bukan karena kehendak perempuan itu sendiri tetapi sesungguhnya control orang lain atas tubuhnya.

Kontrol eksternal atas tubuh perempuan sesungguhnya lahir dari relasi kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki yang kemudian dilegitimasi oleh keluarga, budaya, tradisi, agama bahkan Negara itu sendiri. Relasi yang timpang ini sesunguhnya bersifat sistematis dan mencakup pada berbagai aspek baik pada aspek social, ekonomi, pendidikan, politik dan sebagainya.

Hal ini berImplikasi pada beberapa hal. Pertama, beban ganda perempuan. Perempuan sesungguhnya adalah pihak yang melakukan pekerjaan reproduksi yang panjang yaitu mengandung dan melahirkan. Pekerjaan reproduktif ini sesungguhnya berat baik secara fisik maupun psikis. Kondisi ini kemudian diperparah oleh beban ganda yang seringkali dilakukan oleh perempuan baik pada pekerjaan domestik maupun maupun pekerjaan produktif apalagi tidak disupport oleh kelaurga maupun tempat kerjanya.

Pada keluarga yang relative msikin pekerjaan domestik seperti memasak, memebrsihkan rumah, menimba air, mencari kayu api, mengali ubi di kebun dan sebagainya terpaksa harus dilakukan oleh perempuan hamil itu sendiri dalam rumah tangga. Hal yang sama juga terjadi pada perempuan hamil yang bekerja di sector produktif entah pabrik, pegawai kantor bahkan kantor pemerintah.

Pemberian cuti melahirkan seringkali hanya diberikan pada bulan ke enam sampai dengan ia melahirkan. Bahkan cuti paska melahirkan juga sangat terbatas. Kondisi ini tentu tentu sangat mempengaruhi kesehatan dan risiko kesehatan bagi perempuan. Kondisi ini belum lagi ditambah dengan berbagai kekerasan baik fisik maupun psikis yang dialami oleh perempuan ketika sedang mengandung.

Hemat saya, kondisi-kondisi inilah yang menjadi penyebab utama rentannya ibu hamil ketika melahirkan. Pertama, perempuan adalah pihak yang mengurus rumah tangga/domestik, mengasuh anak, memasak dan sebagainya. Akses perempuan terhadap pekerjaan produktif terbatas, upaya untuk mengembangkan potensi dirinya secara penuh dalam wilayah public dibatasi karena tidak penting baginya bahkan itu dianggap melanggar kodrat.

Lebih mengenaskankan lagi ketika kegiatan perempuan dalam wilayah domestic justru tidak dianggap sebagai sebuah pekerjaan karena tidak menghasilkan uang yang padahal menyita waktu dan tenaga bagi perempuan untuk melakukannya. Terbatasnya akses perempuan pada wilayah public membuat ia terbatas untuk mengakses informasi, skill, pengetahuan termasuk akses terhadap kesehatan mengenai rubuhnya sendiri yaitu kesehatan reproduksinya sendiri, informasi soal kesehatan janin dan sebagainya. Terbatasnya akses perempuan terhadap wilayah public dan produktif membuat ia miskin dan bergantung secara ekonomi pada suaminya.

Ketergantungan ini pada kahirnya berpengaruh terhadap keputusan perempuan dalam menentukan apakah ia dilahirkan di fasilitas kesehatan atau tidak, ditolong oleh dukun atau tenaga kesehatan. Pada kelaurga yang miskin, keputusan ini menjadi probelmatis karena kepala keluarga yang dominan untuk menentukan tempat kelahirannya. pada titik ini, perempuan hamil bukan menjadi pihak yang otonom dan bebas ata dirinya sendiri tetapi ditentukan oleh orang di luar tubuh atau dirinya padahal ini menyangkut hidup dan matinya perempuan hamil. Karena menguatnya kuasa orang lain atas tubuhnya, maka perempuan hamil seringkali terlambat untuk ke fasilitas kesehatan karena birokratisasi keputusan orang di luar tubuhnya.

Karena itu, terlmabatnya perempuan untuk ke faskes bukan karena perempuan itu sendiri tetapi karena orang lain yang berkuasa atas dirinya sendiri. Dengan kata lain, perempuan dipaksakan untuk bodoh dan dibatasi untuk akses informasi kesehatan. Saya kiranya, data buta aksara yang lebih banyak dinominasi oleh perempaun di seluruh Indonesia bertitik tolak dari pandangan dan ideology patriarki ini.

Represifnya kondisi kehidupan perempuan hamil dalam dalam kelaurga, masyarakat dan tempat kerja kemudian diperparah lagi dengan buruknya infrastruktur dan layanan kesehatan dasar bagi perempuan hamil untuk melahirkan. Pada berbagai daerah terutama di kawasan terpencil, akses perempuan hamil terhadap fasilitas kesehatan sangat sulit.

Fasilitas kesehatan juga kadang tidak memadai seperti air bersih yang terbatas, listrik yang tidak ada, rumah tunggu tidak ada, tenaga kesehatan yang tidak ada, layanan medis yang terbatas, tenaga medis yang tidak ramah dan professional dan sebagainya. Karena itu, penyebab kematian ibu yang seringkali disebabkan oleh pendarahan, infeksi dan hipertensi adalah akumulasi dari berbagai kondisi ibu hamil sebelum melahirkan.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, menumpu harapan terlalu besar kepada suami atau kepala keluarga menyebabkan perempuan terpaksa harus keluar dari rumah untuk mendapatkan makanan dan minuman sehari-hari. Karena itu, tidak jarang perempuan yang sudah hamil tua terpaksa harus bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan dalam keluarga. Pekerjaan luar rumah ini kemudian diperberat lagi dengan pekerjaan rumah tangga yang harus ia lakukan seperti memasak, mencuci, mebersihkan rumah mengasuh anak dan sebagainya.

Beban ganda kerja ini berimplikasi secara serius terhadap ko ndisi kesehatan tidak hanya terhadap perempuan hamil tetapi juga bayi yang ada dalam kandungannya. Kondisi yang opresif dan represif dalam kehidupan keluarga dan masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal rentannya ibu hamil meninggal saat melahirkan. Dengan kata lain, masalah pendarahan, infeksi dan hipertensi adalah akibat lanjutan dari kondisi represifinya perempuan baik fisik maupun psikis ketika hendak melahirkan.

Menguatnya ideology patriarki tidak hanya terjadi pada level rumah tangga tetapi juga pada level public terutama Negara melalui berbagai kebijakan dan regulasi baik pada level pusat maupun level pemerintah daearh. Tidak mengherankan berbagai kebijakan dan program pemerintah cenderung netral terhadap perempuan bahkan pada titik tertentu tidak berpihak atau diskriminatif perempuan. kebijakan dan regulasi yang diskriminiatif ini pada implementasinya de facto tidak menguntungkan perempuan.

Pada level regulasi misalnya UU tentang perkawinan yang menmpatkan laki-laki sebagai kepala keluarga. Implikasinya sangat besar. Dalam bidang ekonomi misalnya, untuk mendapatkan pinjaman kredit pada lembaga perbankan seorang perempuan tidak bisa dengan mudah didapat kecuali atas persetujuan seorang kepala keluarga atau suami. Demikian pun dalam hal penggunaan alat kontraspesi KB. Sebagian besar alat kontrasepsi KB ditujukan kepada perempuan ketimbang laki-laki. Kedua,

Buruknya kondisi kehidupan ibu hamil pada level rumah tangga dan masyarakat serta buruknya kebijakan dan regulasi pemerintah adalah dua factor utama mengapa persoalan kematian ibu di Indonesia tetap tinggi. Betatapun bagusnya visi dan program yang dicanangkan oleh PBB baik MDGs maupun SDG terkait penurunan angka kematian ibu, sejauh tidak ditopang oleh perubahan yang besar oleh ideology patriarki di Indonesia, maka visi itu tetap tidak berhasil dengan baik. Itu berarti, dalam konteks Indonesia, jika program SDG masih menggunakan model implementasi seperti MGDS yang gagal itu, maka tidak mempengaruhi tingkat angka kematian Ibu di Indonesia.

Tawaran Solutif

Memandang persoalan kematian Ibu saat melahirkan dengan hanya mengacu pada persoalan kesehatan tentu tidak menyelesaiaknnya. Karena itu, perlu perubahan yang cukup mendasar terhadap perempuan sebagai pemilik tubuh untuk berdaualat atas dirinya sendiri dan keterlibatan laki-laki yang aktif. Relasi yang timpang dalam keluarga dan masyarakat antara perempuan dan laki-laki menjadi sangat mendesak. Selain itu, perbaikan kebijakan yang lebih berpespektif gender perlu dilakukan secara serius dan bertanggung jawab.

Jika kedua hal ini tidak dilakukan maka program untuk menurunkan aki di Indonesia tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan. Pada level kebijakan, kiranya apa yang dilakukan oleh Finlandia kiranya perlu ditiru. Mereka memberikan cuti kepada ibu hamil juga kepada suaminya untuk memastikan proses kelahiran berjalan dengan baik. Lebih dari itu, pemerintah juga memberikan jaminan kesehatan kepada ibu melahirkan. Kebijakan ini telah membuat Ibu melahirkan dengan selamat. Tidak mengherankan Angka kematian ibu disana sangat rendah bahkan tidak ada.

Dalam masyarakat dan Negara yang ideology patriarkinya kuat, gagasan seperti ini barangkali terlihat seperti mengusik status quo. Tetapi hanya dengan demikian, narasi penderitaan dan kematian ibu di Indonesia dapat diakhiri.

Mengingat bahwa kondisi kehidupan rumah tangga merupakan factor yang paling berpengaruh terhadap jumlah kematian ibu di Indonesia, maka perubahan kehidupan dalam rumah tangga perlu dilakukan. Pertama, mengurus kehidupan rumah tangga (domestik) bukan pekerjaan kodrati perempuan tetapi adalah hasil konstruksi social dan budaya. Sebagai hasil konstruksi, ia dapat diubah. Konsekuensinya adalah bahwa suami dan laki-laki pada umumnya harus mengambil bagian dalam pekerjaan rumah tangga.

Pekerjaan ini penting untuk mengurangi beban ganda perempuan. Kedua, perubahan regulasi atau kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan terutama pada ibu hamil baik pada level pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah. Ketiga, partisipasi aktif masyarakat, Upaya menurunkan angka kematian Ibu bukan hanyalah peran dan tanggung jawab pemerintah tetapi juga peran dan tanggung jawab warga masyarakat. Lebih dari sekedar angka, setiap nyawa itu bermakna. Tidaklah fair, jika angka kematian ibu turun, setiap nyawa itu sama nilainya. Karena itu, perjuangan kesejahteraan gender itu bukan hanya untuk keadilan dan kebaikan bagi perempuan tetapi juga manusia secara umum entah laki-laki dan perempuan..

Oleh: Siprianus Jemalur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun