Saya sebelumnya tidak pernah membayangkan bisa menikmati hangatnya matahari di kepulauan Hawai’i atau menikmati piña colada di Pulau Grand Turk. Saya hanya bermimpi dan berharap jika suatu hari bisa berkeliling dunia.
Bermimpi dan berharap itu tidak akan pernah menjadi kenyataan jika saat itu saya tidak berani untuk membuat sebuah lompatan. Saya tidak yakin sebuah telepon berbahasa Inggris di hari minggu ternyata membawa begitu banyak perubahan dalam hidup saya sampai saat ini.
Apa yang terjadi jika saya menganggap telepon tersebut hanya gurauan atau penipuan? Apa yang terjadi jika saya tidak mendengarkan saran adik saat itu? Atau apa yang terjadi jika saya malas untuk datang? Jelas yang terjadi adalah saya tidak akan pernah berdiri di tengah-tengah Basilika St. Petrus, Vatican atau melihat kota suci Jerusalem dari atas Bukit Zaitun.
Saya tidak akan pernah bercerita tentang berbagai kisah perjalanan dan kehidupan di luar negeri jika saya tetap hidup dalam zona nyaman. Dengan membuat sebuah keputusan untuk melompat dan menghadapi perubahan inilah, saya bisa punya segudang pengalaman untuk dibagikan.
![sdc12025-58bcf21ef39673c60db5214b.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/06/sdc12025-58bcf21ef39673c60db5214b.jpg?t=o&v=770)
Zona nyaman itu memang sungguh aman akan tetapi lama kelamaan zona itu juga bisa berbahaya. Kita jadi takut untuk berkembang dan membuat sebuah perubahan jika kita sudah merasa berada di air yang tenang. Padahal, perubahan itu yang membuat manusia menjadi lebih maju dan berkembang. Seorang pelaut tidak akan pernah menjadi pelaut jika hanya berlayar di danau atau di sungai.
Seorang anak dalam tahapan belajar tentu akan mulai merangkak kemudian berjalan. Kalau Usain Bolt nyaman dalam kondisi merangkak, dia tidak akan pernah memegang rekor lari dunia di lintasan 100 dan 200 meter. Kita juga tidak akan pernah mendengar The Lightning Bolt yang sangat melegenda.
Saya percaya perubahan akan membuat hidup menjadi lebih berkembang. Jika saya menolak untuk melakukan perubahan maka saya tidak akan pernah belajar dan berkembang. Apa jadinya jika saya memilih untuk duduk nyaman di rumah ketimbang datang untuk wawancara saat itu? Tentu saya tidak akan pernah belajar seperti apa hospitality industry bahkan saya tidak akan mengklaim diri sebagai penjelajah dunia.
Apa jadinya jika saya sangat menikmati berkeliling dunia dan nyaman di atas kapal pesiar? Tentu saya tidak akan pernah mendapat gelar Magister Filsafat. Apa jadinya jika saya hanya menikmati kehidupan di kampus dan mendengarkan berbagai kuliah hebat tentang filsafat? Tentu tesis saya tidak akan pernah rampung atau saya akan terus kembali ke kampus dan duduk mendengarkan kuliah.
![p9240039-58bcf22c337a61a006456534.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/06/p9240039-58bcf22c337a61a006456534.jpg?t=o&v=770)
Suatu kali ketika saya berjuang menyelesaikan skripsi S1 di STF Driyarkara, seorang teman datang dan mengajak bicara. Ia sungguh mengapresiasi bahwa saya seorang mahasiswa yang mudah memahami pelajaran sekaligus bodoh. Saya bodoh karena ingin segera menyelesaikan kuliah. Padahal filsafat itu menurutnya harus diminati dan didalami dengan sungguh-sungguh dan membutuhkan waktu. Ia kemudian membandingkan saya dengan dirinya yang sungguh menyelami filsafat dan tidak terburu-buru untuk menyelesaikan kuliah.
Saya ingin segera menyelesaikan kuliah bukan karena saya tidak cinta pada kebijaksanaan (φιλοσοφία, philosophia, Cinta pada Kebijaksanaan) tetapi saya ingin mengejar kesempatan yang lain yang lebih besar dari pada sekedar mencintai kebijaksanaan. Kesempatan itu ada di luar bangku kuliah yang terbentang luas di penjuru dunia.
Ketika saya menyelesaikan kuliah S1, saya tidak datang kembali ke kampus untuk menikmati kuliah seminar yang begitu menarik dan nyaman tetapi saya memusatkan perhatian untuk mencari pekerjaan. Panggilan wawancara kerja apa pun saya datangi entah itu walk in interview atau wawancara kerja terjadwal. Bahkan sebelum ijasah resmi keluar, saya sudah mencoba melamar pekerjaan dengan ijasah sementara.
Saya tidak perlu datang lagi ke kampus, ke kantor yang lama atau ke sekolah sebagai alumni yang seakan-akan masih menimba ilmu atau peduli dengan rekan kerja di kantor lama. Hubungan dengan teman-teman lama baik di sekolah, bangku kuliah dan kantor yang lama masih tetap terjalin dengan baik meski sudah keluar dan menjadi alumni. Salah satunya dengan Romo Greg yang saat itu menjadi pemimpin redaksi Majalah Hidup. Pada tanggal 21 Desember 2016, saya memperoleh buku berjudul Hermawan Kartajaya on Church langsung dari penulisnya yaitu Romo Greg Soetomo.
![p5160558-58bcf23ff396733c0fb52144.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/06/p5160558-58bcf23ff396733c0fb52144.jpg?t=o&v=770)
Siapa bilang saya tidak takut ketika saya diwawancarai di Suara Pembaruan oleh sembilan wartawan senior. Jujur saya takut! Saya juga takut dan ragu ketika diwawancarai oleh Mr. Ferry dan Mrs. Truss Kornman dalam Bahasa Inggris. Ketika saya memutuskan untuk keluar dari kapal pesiar dan melanjutkan pendidikan magister di STF Driyarkara, saya juga takut jika tidak mendapatkan pekerjaan atau pekerjaan baru nanti tidak bisa memfasilitasi saya yang sedang kuliah. Saya takut jika uang tabungan saya habis untuk kuliah dan kebutuhan sehari-hari padahal saya belum mendapat pekerjaan.
Jujur saja saya takut dan ragu dengan setiap keputusan yang saya buat. Saya takut gagal! Itulah ketakutan saya ketika saya memutuskan untuk melakukan sebuah lompatan. Saya takut jika nanti saya tidak berhasil dalam tugas dan saya dipecat padahal saya punya berbagai rencana untuk keluarga dan orang tua. Akan tetapi saya juga sadar bahwa itu adalah resiko yang harus ditempuh.
Perubahan tidak akan pernah membuat kita nyaman dan merasa aman. Inilah alasan kenapa setiap tahun kebanjiran tetapi tetap tidak ingin pindah meski sudah diberikan rusun, fasilitas dan berbagai pelatihan.
Semua perubahan itu punya resiko dan kegagalan. Akan tetapi perubahan itu juga membuat saya bisa belajar untuk beradaptasi, belajar hal baru, mempunyai teman baru, hidup dalam lingkungan dan kebudayaan baru dan berbeda. Semua kebaruan itulah yang membuat saya lebih berkembang dan lebih berpengalaman.
![img-2662-58bcf250cb23bd1f176c3b98.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/06/img-2662-58bcf250cb23bd1f176c3b98.jpg?t=o&v=770)
Bagi saya, mungkin si orang tua takut jika si anak tumbuh maka ia akan pergi dan tidak mencintainya lagi. Orang tua mana yang tidak takut dan merasa tidak nyaman jika si buah hati yang ia lahirkan, dididik, dicintai setiap hari, diciumi setiap malam menjelang tidur tiba-tiba berubah dan mengatakan bahwa ia jatuh cinta dengan teman sekelas atau sedih karena patah hati. Risau, galau, takut, dan lain-lain jelas akan menghantuinya.
Akhirnya jalan pintas adalah jatuh cinta itu tidak baik dengan alasan karena belum saatnya untuk jatuh cinta, belum bisa menghasilkan uang, menganggu pelajaran dan alasan lainnya. Padahal jatuh cinta itu adalah hal alami yang dirasakan semua orang.
Jika jatuh cinta tidak baik dan si anak tetap berada dalam ‘kandungan’ kehidupan orang tua, kapan lagi si anak akan belajar untuk mencintai, belajar untuk rela dan untuk berkorban, belajar untuk menerima pahitnya patah hati dan belajar dari pengalamannya. Kapan ia bisa belajar untuk jatuh dan berdiri lagi?
Mau atau pun tidak, perubahan akan selalu terjadi. Menolak perubahan berarti menolak untuk keluar dari zona nyaman dan menolak belajar untuk menerima tanggungjawab yang lebih.
![p4200477-58bcf265a3afbd6d0afa9409.jpg](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/03/06/p4200477-58bcf265a3afbd6d0afa9409.jpg?t=o&v=770)
Setidaknya inilah refleksi saya ketika saya menjalani hari-hari menikmati perjalanan dan bekerja di Holland America Line. Di dunia itu sungguh tidak nyaman. Setiap saat banyak yang datang dan pergi. Kapten kapal berganti, suasana menjadi lebih berbeda. Rekan kerja juga ada yang datang dan ada yang pergi bahkan atasan pun bisa berganti dalam 6 bulan.
Meski aturan perusahaan sama tapi budaya dan tradisi di setiap kapal berbeda. Hal inilah yang menantang saya untuk terus menerus belajar dan berubah serta memberi sumbangsih yang lebih dimanapun saya bekerja dan berkarya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI