Mohon tunggu...
Amin Rois Sinung Nugroho
Amin Rois Sinung Nugroho Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Akun twitter: @sinunkdotnet. Blog: http://sinunk.net

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kata Pertama: Kaos Kaki

25 September 2012   15:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13485848872040163182

"Anaknya nggak diajarin bahasa Inggris, Pak?"

Saya bengong ditanya seperti itu. Pertanyaan ini sepertinya sudah menjadi tren di kalangan para pahmud (papah muda) dan mahmud (mamah muda) di tempat saya.

Dengan makin berkembangnya metode mendidik anak, sepertinya makin berkembang pula kemauan para pahmud dan mahmud untuk menerapkan berbagai macam hal yang terkadang sepertinya tidak terlalu perlu dan mendesak untuk dilakukan. Salah satu contohnya: mengajarkan bahasa Inggris kepada balita (bahkan untuk beberapa kasus yang saya temui, para bayi yang baru lahir).

"Kata pertama anak saya itu mommy...," lanjut pahmud tadi sambil menatap anak balitanya dengan bangga.

Saya tersenyum simpul dan menyahut dengan percaya diri.

"Kata pertama anak saya ... kaos kaki."

Bahasa Ibu, Bahasa Pertama Anak Kita

Keluarga saya dan istri saya itu seperti gado-gado. Saya Jawa, istri saya Minang-Riau. Satu-satunya bahasa yang kami mengerti dengan baik adalah bahasa Indonesia. Kalau saya sudah mengeluarkan bahasa Jawa ngapak saya, istri saya pasti tidak akan mengerti. Apalagi kalau istri saya keceplosan bahasa Riau atau Minang, saya langsung pura-pura tidak mendengar. Bukannya kami tidak ingin mempelajari bahasa daerah masing-masing, tapi kami merasa komunikasi itu yang terpenting bukanlah bahasa apa yang digunakan, tapi bagaimana menggunakan bahasa yang dikuasai sebaik-baiknya sehingga apa yang ingin kami sampaikan bisa dimengerti dengan baik pula.

Itu jugalah sebabnya mengapa kami memilih untuk mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama untuk anak-anak kami. Walaupun pada awalnya agak tergoda juga untuk mengajarkan bahasa Inggris, tapi setelah membaca di sana-sini, kami malah menemukan bahwa kebanyakan anak yang sejak balita diajarkan bahasa Inggris malah mengalami kesulitan komunikasi di kemudian hari karena mereka tidak tinggal di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya.

Di rumah mungkin mereka kelihatan bisa berkomunikasi dengan baik, tapi di lingkungan yang tidak menggunakan bahasa Inggris? Belum lagi kalau mereka tidak disekolahkan di sekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris. Bisa ada kesenjangan antara dia dan teman-temannya. Dan bukan tidak mungkin hal ini juga berimbas pada prestasinya di sekolah.

Kalau hanya untuk gaya-gayaan, penggunaan bahasa Inggris oleh anak balita sepertinya memang keren. Tapi, apa itu memang perlu?

Lebih Jauh tentang Bahasa sebagai Alat Menyampaikan Rasa

Ada satu hal lagi yang terlupakan ketika orangtua menginginkan anak balita (dan bayinya) diajarkan bahasa asing sejak dini: mereka belum bisa memahami bahasa secara utuh sebagai alat komunikasi dan alat menyampaikan rasa.

Mereka menggunakan bahasa secara sederhana untuk menyampaikan apa yang mereka maksud. Itu saja. Mereka belum sampai di tahapan menyadari bahwa selain nilai informatif, kata-kata juga punya nilai rasa yang menjadikan satu kata berbeda "rasa"-nya dengan kata-kata lain walaupun maksudnya sama.

Misalnya saja kata Ayah dan Papa. Maksudnya sama saja. Tapi tiap kata itu mengandung rasa yang berbeda. Ayah terdengar lebih sederhana dan membumi dibandingkan Papa. Itulah yang ingin saya ajarkan kepada mereka.

Saya pikir, wilayah pemahaman bahasa sebagai alat penyampai rasa ini tidak hanya terbatas kegunaannya untuk keperluan penulisan sastra saja, tapi juga untuk membedakan kesantunan dan kearifan penggunaannya. Kita sudah mengenal pembagian kata-kata dengan sistem kasta seperti ini di kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa dibedakan menjadi tiga tingkatan: ngoko, kromo, dan kromo inggil.

Saya ingin anak-anak saya belajar bahwa bahasa Indonesia itu tidak "dingin", tapi kaya dan banyak variasi rasanya. Contohnya kalau saya bisa memilih antara melihat, melirik, memperhatikan, dan memandangi untuk menjelaskan aktivitas mata saya terhadap suatu objek. Tinggal dipilih saja mana rasa yang tepat.

Tentang Bahasa dan Alat Penalaran

Berikutnya adalah tentang bahasa yang menjadi alat untuk berpikir. Manusia bisa berpikir karena berbahasa. Hewan juga berbahasa, tapi karena bahasa yang mereka gunakan tidak sekompleks manusia, maka kompleksitas cara berpikir dan pemikiran mereka pun terbatas.

Bagaimana anak-anak saya bisa berpikir dengan baik dan benar bila mereka tidak menguasai struktur bahasa yang benar?

Kita tidak bicara bahasa sebagai alat gaya-gayaan saja. Walaupun keliahatannya memang lebih gaya kalau ada balita yang bisa berbahasa Inggris, tapi apakah orangtuanya sudah memikirkan tentang struktur dan logika berbahasa kepada mereka? Bukan hanya sekedar mengajarkan kata-kata dan maknanya?

Kalau sekedar mengajarkan bahasa sebagai alat gaya-gayaan, memang kelihatannya dalam jangka pendek sangat menarik ya. Kelihatan tidak ketinggalan jaman juga. Tapi menurut pendapat pribadi saya, daripada mengajarkan bahasa asing yang kegunaannya pun belum mendesak bagi anak-anak saya, saya lebih memilih untuk memanfaatkan waktu saya untuk mengajarkan mereka menggunakan struktur kalimat yang benar.

Kita bisa tahu jalan pikiran orang itu kusut atau lurus hanya dengan melihat bagaimana cara mereka berbahasa. Karena itu, saya ingin-walaupun masih dalam tahap yang sangat sederhana-anak-anak saya bisa berbahasa dengan baik dan benar. Mengatakan apa yang ada di pikiran mereka dengan jelas dan terstruktur.

Bila di rumah mereka diajarkan bahasa asing, misalnya. Lalu di sekolah menggunakan bahasa Indonesia dan di lingkungan tempat tinggal juga menggunakan bahasa Indonesia, mereka akan mengalami kebingungan. Kebingungan inilah yang ingin saya hindari karena bisa membuat perkembangan perbendaharaan dan kemampuan berbahasa mereka terlambat yang berimbas pada terlambatnya pula kemampuan mereka untuk belajar melogika dan berpikir secara terstruktur.

Bahasa asing bisa diajarkan setelah semua urusan logika, struktur, dan juga "rasa" dari bahasa ini sudah diselesaikan.

Saya bukan ahli bahasa, jadi saya tidak punya kapabilitas untuk menjelaskan hal ini lebih jauh. Tapi saya pernah mengalami kejadian serupa ketika belajar bahasa memrograman komputer. Ketika saya belajar bahasa pemrograman C, misalnya, akan lebih mudah jika saya mempelajarinya sampai fasih dan selesai baru saya beralih ke bahasa yang lain-misalnya Java atau Phyton. Mempelajari semuanya sekaligus hanya akan membuat saya bingung dan berakhir dengan tidak mengerti satu bahasa pun.

Kapan Sebaiknya Bahasa Asing Itu Diajarkan?

Bahasa asing itu sebaiknya diajarkan setelah anak-anak kita mempunyai pondasi bahasa Indonesia-sebagai bahasa Ibu-yang kuat. Di sekolah biasanya bahasa Inggris ini mulai diajarkan di kelas empat. Saya rasa ini adalah waktu yang tepat karena ketika itu anak-anak sudah bisa merangkai kalimat dengan baik dan juga bisa melogika bahasa dengan baik pula.

Tidak perlu takut terlambat mengajarkan anak-anak kita bahasa asing di usia sepuluh atau sebelas tahun karena mereka akan lebih cepat memahaminya pula. Mereka sudah punya kemampuan bahasa dasar (yaitu bahasa Indonesia) yang baik.

Saya sendiri mulai belajar bahasa asing ketika berumur sebelas tahun dan saya sama sekali tidak merasa terlambat. Dibandingkan dengan teman-teman saya yang sudah belajar bahasa asing sejak dini, kemampuan bahasa asing saya (Arab dan Inggris) bisa dibilang sama baiknya. Saya juga mempelajari bahasa asing itu bukan karena desakan orangtua saya, tapi karena saya memang ingin dan tertarik.

Sekarang anak saya yang sulung sudah berusia lima tahun dan punya kemampuan bahasa yang baik. Dia juga suka kaos kaki berwarna-warni dan bergambar lucu. Saya tidak menyesal belum mengajarkan dia bahasa asing dan lebih fokus ke struktur, logika, dan "rasa" dari bahasa Indonesia.

[caption id="attachment_207912" align="aligncenter" width="434" caption="Teks keputusan Sumpah Pemuda"][/caption]

Sumber Gambar: http://hijabforme.blogspot.com/2010/10/28102010.html

Ini bukan hanya sekedar masalah nasionalisme saja. Saya memutuskan hal itu karena saya tidak ingin anak saya lebih mengerti bahasa asing dibandingkan bahasa lainnya. Saya ingin mereka bisa menikmati buku sastra seperti saya menikmatinya. Bukannya malah kebingungan dengan kata-kata yang digunakan di sana.

Oh ya, baiklah.

Sebagian besar ini juga karena nasionalisme.

Salam kaos kaki, pahmud dan mahmud!

Referensi: 1. Tentang Bahasa sebagai Alat Berpikir 2. Tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Balita 3. Tentang Bilingual Tidak Efektif 4. Tentang Peran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dalam Sistem Bilingual 5. Tentang Mengajarkan Bahasa Inggris Sejak Balita 6. Tentang Bahasa Sebagai Alat Komunikasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun