Melihat suatu fenomena internasional dari pendekatan teoritis merupakan hal penting untuk memahami sebuah fenomena internasional, yang mana dengan memandang suatu fenomena dari teori-teori tertentu akan membantu kita dapat memahami dan melihat fenomena tersebut dari berbagai perspektif yang berbeda dan kita dapat menganalisis berdasarkan pandangan-pandangan dari teori yang dikaitkan. Sebelum membahas lebih lanjut terkait topik kali ini, mari kita kenali terlebih dahulu terkait teori yang akan kita gunakan sebagai sudut pandang yaitu Teori Konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme merupakan salah satu teori dalam hubungan internasional yang berasal dari teori sosiologi, teori ini mengadopsi premis konstruksi sosial yang menggambarkan bahwa melalui adanya individu dan kelompok maka akan menciptakan sebuah ruang lingkup tempat tinggal untuk berinteraksi mulai dari level mikro hingga makro, meskipun yang di dalamnya tidak dapat mengatur seluruh kejadian sesuai dengan yang mereka inginkan. Dalam penerapannya ke dalam hubungan internasional, konstruktivisme melihat bahwa anarki dalam dunia internasional bukanlah sesuatu yang sudah ada sejak awal, melainkan kondisi yang tercipta dari elemen-elemen serta aturan main untuk interaksi aktor-aktor di dalamnya, sehingga hal ini tidak selamanya ada dan dapat diubah.
Teori konstruktivisme hadir jauh setelah adanya teori realisme dan liberalisme dan mulai populer pada tahun 1990an setelah berakhirnya perang dingin, munculnya perspektif konstruktivisme disebabkan karena ketidakpuasan beberapa pakar hubungan internasional dalam menerima penjelasan dari perspektif arus utama sehingga teori ini hadir untuk menjawab mengapa suatu fenomena terjadi dan juga bagaimana peran norma serta memberikan alternatif perspektif lain maupun kritik dalam melihat hubungan internasional yang sebelumnya didominasi oleh pemahaman materialis hingga realis yang berdasarkan pada materi.
Salah satu tokoh yang mempopulerkan pemikiran konstruktivisme sebagai pemikiran alternatif selain dari teori utama dalam hubungan internasional yaitu Alexander Wendt (1992) dalam tulisannya yang berjudul “Anarchy Is What States Make of It : The social Construction of Power Politics” pada jurnal Internasional Organization menyatakan terkait bagaimana negara sebagai aktor internasional menentukan pergaulan internasionalnya dengan melihat terjadinya transformasi sistem internasional dari sistem awalnya Hobbesian yang menggambarkan suasana ‘konflik’ atau ‘peperangan’ beralih ke sistem Lockean yang bersuasana ‘persaingan’ kemudian ke sistem Kantian yang bernuansa ‘kerja sama’ atau ‘persahabatan’, yang mana perilaku negara-negara dalam hubungan internasional menggambarkan identitasnya masing-masing inilah yang menjadi ciri khas dari perspektif konstruktivisme.
Setelah itu ada pula tokoh lainnya yaitu Max Weber (2005) yang berpendapat bahwa konstruktivisme didefinisikan sebagai salah satu perilaku atau tindakan individu memberikan pengaruh pada masyarakat sosial yang berfokus pada ide kesepakatan bersama, Weber juga menjelaskan bahwa dalam perspektif konstruktivisme perubahan dalam politik global tidak hanya dipengaruhi oleh negara melainkan terdapat aktor-aktor lainnya yang juga dapat mempengaruhi politik global.
Perspektif konstruktivisme melihat bahwa aktor-aktor dalam hubungan internasional memiliki identitasnya masing-masing sehingga hal ini mempengaruhi perilaku dari aktor-aktor tersebut, seperti dalam hal membangun kerja sama maupun dalam melihat ancaman dari aktor lainnya, adanya kesamaan identitas akan mendukung hubungan yang baik antara aktor satu dengan yang lainnya, tetapi identitas tersebut bersifat dinamis sehingga dapat berubah-ubah. Melihat perilaku aktor dipengaruhi identitasnya maka hal ini akan membentuk socially constructed atau struktur yang terbentuk dalam sistem internasional yang dibangun dari interaksi aktor berdasarkan identitas dan kepentingannya sehingga mempengaruhi terbentuknya norma internasional. Lalu bagaimana kaitan teori konstruktivisme dengan topik yang akan dibahas?
Kerja Sama Perdagangan Indonesia dan Kerajaan Eswatini
Kerja sama antar aktor internasional merupakan hal yang sering dilakukan baik oleh Negara, Organisasi Internasional, Perusahaan Multinasional maupun aktor internasional lainnya, dalam perspektif konstruktivisme hal ini merupakan wujud interaksi yang didasari oleh identitas kepentingan aktor tertentu serta bertujuan menciptakan hubungan yang baik antara sesama aktor dalam sistem internasional. Hingga saat ini telah banyak kerja sama yang terjalin antara sesama aktor internasional dengan berbagai kepentingan masing-masing salah satunya kerja sama perdagangan antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Eswatini. Tepatnya pada 24 Agustus tahun 2022 Raja Kerajaan Eswatini, Y.M Mswati III melakukan kunjungan ke Indonesia yang disambut dengan baik oleh Jokowi selaku Presiden Republik Indonesia, yang mana kunjungan tersebut bertujuan untuk membahas lebih lanjut upaya kerja sama bilateral kedua negara.
Jika diulik sekilas kita akan melihat bahwa sebenarnya tidak ada urgensi khusus ataupun aspek saling ketergantungan lainnya baik bagi Indonesia maupun Kerajaan Eswatini untuk menjalin kerja sama di bidang perdagangan, karena melihat bahwa selain letak geografis yang cukup jauh yaitu Indonesia di kawasan regional Asia Tenggara dan Kerajaan Eswatini di bagian Afrika Selatan dan juga keduanya merupakan negara yang tidak begitu besar serta pengaruh bagi keduanya juga tidak lebih besar dibanding kedua negara masing-masing menjalin kerja sama dengan negara yang lebih besar lainnya. Lalu alasan apa yang mendukung kedua pihak hingga memutuskan untuk menjalin kerja sama? Dan bagaimana interaksi keduanya akan menciptakan norma internasional? Dari sinilah kita bisa mendapat jawaban dengan melihat dari kacamata teori konstruktivisme.
Identitas Indonesia Dan Kerajaan Eswatini