Mohon tunggu...
Chintya Aisyah
Chintya Aisyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya adalah seseorang yang gemar berinteraksi dan memiliki ketertarikan pada hal-hal yang menyangkut sosial

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Membangun Sistem Pangan yang Kuat dan Resilient untuk Generasi Mendatang

1 November 2024   04:27 Diperbarui: 1 November 2024   08:04 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Ketahanan pangan adalah topik strategis yang harus menjadi prioritas Indonesia mengingat berbagai tantangan yang dihadapi, mulai dari perubahan iklim, ketergantungan pada pangan impor, hingga penurunan kualitas lahan pertanian. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau" (Elfida, 2020) . Sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan dan adaptif. Sayangnya, potensi tersebut belum dioptimalkan sepenuhnya karena adanya beberapa kendala struktural dan kurangnya perhatian pada diversifikasi pangan.

Menurut Soekirman (1996), pengukuran ketahanan pangan tidak hanya dilakukan pada tingkat agregatif nasional atau regional tetapi juga pada tingkat rumah tangga dan individu. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam mengukur dan memahami ketahanan pangan di berbagai lapisan masyarakat (Handewi et al., 2002). Dalam konteks pembangunan ketahanan pangan, Mochammad Amron dari Kementerian Pekerjaan Umum menekankan bahwa "peningkatan ketahanan pangan akan bergantung kepada sistem jaringan irigasi yang baik," yang berfungsi untuk mendistribusikan air secara efektif untuk pertanian (Kemenpu, 2011).

Badan Pangan Nasional mengembangkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) untuk mengevaluasi capaian ketahanan pangan di berbagai wilayah. IKP ini mencakup sembilan indikator yang merefleksikan tiga aspek ketahanan pangan: ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan (Suwignyo, 2022). Untuk membangun sistem pangan yang kuat dan resilient, Indonesia perlu menggalakkan keanekaragaman pangan lokal yang mampu menopang ketahanan pangan serta mendorong pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks ini, Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia memaparkan pentingnya keanekaragaman pangan dan ekosistem berkelanjutan sebagai solusi untuk menghadapi krisis pangan di masa depan.

Keanekaragaman pangan memainkan peran penting dalam menjaga ketahanan pangan suatu negara. Mengandalkan satu atau dua jenis tanaman pangan, seperti beras dan gandum, sangat rentan terhadap perubahan iklim, serangan hama, dan fluktuasi harga pasar global. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 5.529 jenis sumber daya biologis tanaman pangan, termasuk 100 jenis karbohidrat, 100 varietas kacang-kacangan, dan 450 jenis buah-buahan. Sumber daya yang melimpah ini seharusnya menjadi pondasi utama bagi ketahanan pangan nasional.

Sayangnya, pola konsumsi masyarakat Indonesia justru cenderung homogen dengan dominasi beras sebagai makanan pokok. Ketergantungan yang besar pada satu komoditas ini berpotensi menimbulkan risiko tinggi pada sistem pangan nasional. Apabila terjadi gangguan pada produksi atau distribusi beras, ketahanan pangan nasional bisa terguncang. Di sisi lain, keanekaragaman pangan menyediakan alternatif pangan yang tidak hanya memperkaya asupan gizi masyarakat, tetapi juga mengurangi risiko krisis pangan karena adanya pilihan yang lebih beragam dalam konsumsi pangan harian.

Meski keanekaragaman pangan memiliki banyak manfaat, tantangan dalam mewujudkannya masih besar. Salah satu kendala utama adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan dan manfaat gizi dari tanaman lokal. Selain itu, ketergantungan pada beras dan gandum yang sebagian besar diimpor menjadi hambatan dalam mendorong konsumsi pangan lokal. Sistem kebijakan yang ada cenderung lebih berfokus pada peningkatan produksi beras, kedelai, dan jagung daripada memberikan perhatian pada pangan lokal lainnya.

Pendekatan ini dapat dilihat dari kebijakan pangan yang dominan, di mana pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk meningkatkan produksi tanaman tertentu yang dianggap memiliki nilai strategis. Walau produksi meningkat, ketergantungan pada impor tetap menjadi masalah, terutama untuk komoditas seperti gandum. Tantangan lain yang muncul adalah degradasi lahan pertanian akibat praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan yang merusak kesuburan tanah. Untuk menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan, perubahan paradigma ini sangat mendesak dilakukan.

Sistem pangan yang resilient adalah sistem yang mampu bertahan dan bangkit kembali dalam menghadapi berbagai guncangan eksternal, seperti perubahan iklim, bencana alam, dan fluktuasi ekonomi. Keanekaragaman pangan adalah salah satu strategi utama dalam menciptakan resiliensi ini. Dengan memiliki berbagai jenis tanaman pangan, petani dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan iklim. Misalnya, tanaman seperti singkong dan sagu yang lebih tahan terhadap kondisi tanah kering dapat menjadi alternatif saat musim kemarau panjang.

Seperti disampaikan oleh Bart de Steenhuijsen Piters dalam teorinya tentang resiliensi sistem pangan, "Keanekaragaman pada skala berbeda, dari produksi hingga konsumsi, merupakan peredam penting dalam menghadapi guncangan dan pemicu stres pada sistem pangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin beragam tanaman yang dikembangkan, semakin kuat pula ketahanan sistem pangan karena tidak terfokus pada satu jenis tanaman saja.

Selain itu, keanekaragaman tanaman pangan dapat meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Banyak tanaman lokal yang kaya akan vitamin dan mineral, yang seringkali tidak ditemukan dalam beras atau gandum. Dengan mempromosikan konsumsi pangan lokal yang kaya nutrisi, ketahanan pangan dapat tercapai dengan kualitas gizi yang lebih baik. Keberagaman nutrisi ini penting bagi pertumbuhan generasi mendatang yang lebih sehat dan lebih produktif.

Untuk mewujudkan sistem pangan yang resilient, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta perlu bersinergi dalam merumuskan strategi yang mendorong diversifikasi pangan lokal. Langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah yaitu mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal melalui kampanye edukasi dan insentif bagi petani yang membudidayakan tanaman pangan lokal. Langkah ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan tanaman pangan seperti singkong, talas, ubi jalar, dan sagu yang dapat menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mengubah pola pikir masyarakat untuk melihat pangan lokal sebagai pilihan utama, bukan sekadar alternatif, adalah tantangan besar yang harus dijawab bersama.

Penggunaan teknologi pertanian yang ramah lingkungan sangat penting untuk menjaga keberlanjutan sistem pangan. Pertanian organik, misalnya, tidak hanya baik untuk kesehatan tanah tetapi juga dapat meningkatkan kualitas hasil panen. Teknologi irigasi hemat air dan penggunaan pestisida alami juga dapat mendukung praktik pertanian berkelanjutan yang menjaga keseimbangan ekosistem. Laporan oleh World Bank mengungkapkan bahwa "Inovasi teknologi, seperti penggunaan benih genetik modifikasi dan pertanian presisi, dapat meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi dampak lingkungan" (World Bank, 2020). Teknologi ini dapat menjadi kunci untuk menghadapi tantangan ketahanan pangan di masa depan.

Setiap daerah memiliki potensi pangan lokal yang berbeda, sehingga kebijakan desentralisasi dapat membantu setiap wilayah memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal. Dalam jangka panjang, pendekatan berbasis lokal ini akan mengurangi ketergantungan pada rantai pasok pangan jarak jauh, yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan karena transportasi dan emisi karbon yang dihasilkan.

Peran pemerintah sangat krusial dalam menciptakan kebijakan yang mendukung keanekaragaman pangan. Kebijakan yang mengatur tata kelola lahan agar petani dapat mengakses lahan produktif, serta regulasi yang memberikan insentif bagi produsen pangan lokal, akan menjadi faktor kunci dalam mempercepat adopsi diversifikasi pangan. Pemerintah juga dapat mendukung penelitian untuk pengembangan produk pangan lokal yang bernilai tambah tinggi. Menurut laporan dari UN Food Systems Summit 2021, "Kebijakan yang mendukung petani kecil dan meningkatkan akses mereka terhadap sumber daya sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan" (UN, 2021). Kebijakan yang inklusif dapat membantu menciptakan sistem pangan yang lebih adil dan efisien.

Riset dan inovasi sangat diperlukan untuk mengeksplorasi potensi tanaman lokal sebagai sumber pangan utama. Melalui inovasi, berbagai produk pangan lokal bisa dikembangkan menjadi produk olahan yang bernilai jual tinggi, sehingga dapat menarik minat masyarakat luas untuk mengonsumsinya. Dengan demikian, tanaman pangan lokal tidak hanya bertahan sebagai komoditas tradisional tetapi juga menjadi produk yang kompetitif di pasar.

Ketahanan pangan yang adaptif dan resilient akan memberi Indonesia landasan kuat dalam menghadapi ketidakpastian masa depan. Mengingat perubahan pola konsumsi masyarakat dari yang beragam menuju homogen, perlu ada upaya serius untuk mengembalikan keanekaragaman pangan sebagai bagian dari identitas masyarakat Indonesia (Abdullah, 2024). Keanekaragaman ini juga akan memperkaya nilai budaya dan tradisi pangan lokal yang kian tergerus oleh globalisasi.

Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia memaparkan bahwa keanekaragaman pangan bukan hanya soal jenis tanaman yang tersedia, tetapi juga menyangkut keberlanjutan budaya pangan lokal. Dengan memberdayakan potensi lokal, setiap daerah di Indonesia akan memiliki kapasitas yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri tanpa harus bergantung pada pasokan dari luar.

Mewujudkan ketahanan pangan yang kuat dan resilient untuk generasi mendatang memerlukan kesadaran kolektif akan pentingnya keanekaragaman pangan. Langkah ini melibatkan perubahan pola konsumsi, kebijakan yang mendukung pangan lokal, dan adopsi teknologi ramah lingkungan dalam pertanian. Dengan memanfaatkan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Indonesia tidak hanya bisa memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga melestarikan budaya pangan yang kaya akan nilai historis dan ekologis.           

Penting bagi pemerintah, akademisi, dan masyarakat luas untuk terus mendorong kebijakan dan praktik yang mendukung keanekaragaman pangan agar ketahanan pangan Indonesia tetap kokoh di tengah perubahan zaman. Dengan demikian, generasi mendatang akan memiliki sistem pangan yang adaptif, resilient, dan mandiri, yang menjadi kunci keberlanjutan bagi Indonesia yang lebih sejahtera

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun