Ketahanan pangan adalah topik strategis yang harus menjadi prioritas Indonesia mengingat berbagai tantangan yang dihadapi, mulai dari perubahan iklim, ketergantungan pada pangan impor, hingga penurunan kualitas lahan pertanian. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, ketahanan pangan didefinisikan sebagai "kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau" (Elfida, 2020) . Sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk mewujudkan sistem pangan yang berkelanjutan dan adaptif. Sayangnya, potensi tersebut belum dioptimalkan sepenuhnya karena adanya beberapa kendala struktural dan kurangnya perhatian pada diversifikasi pangan.
Menurut Soekirman (1996), pengukuran ketahanan pangan tidak hanya dilakukan pada tingkat agregatif nasional atau regional tetapi juga pada tingkat rumah tangga dan individu. Hal ini menunjukkan kompleksitas dalam mengukur dan memahami ketahanan pangan di berbagai lapisan masyarakat (Handewi et al., 2002). Dalam konteks pembangunan ketahanan pangan, Mochammad Amron dari Kementerian Pekerjaan Umum menekankan bahwa "peningkatan ketahanan pangan akan bergantung kepada sistem jaringan irigasi yang baik," yang berfungsi untuk mendistribusikan air secara efektif untuk pertanian (Kemenpu, 2011).
Badan Pangan Nasional mengembangkan Indeks Ketahanan Pangan (IKP) untuk mengevaluasi capaian ketahanan pangan di berbagai wilayah. IKP ini mencakup sembilan indikator yang merefleksikan tiga aspek ketahanan pangan: ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan (Suwignyo, 2022). Untuk membangun sistem pangan yang kuat dan resilient, Indonesia perlu menggalakkan keanekaragaman pangan lokal yang mampu menopang ketahanan pangan serta mendorong pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam konteks ini, Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia memaparkan pentingnya keanekaragaman pangan dan ekosistem berkelanjutan sebagai solusi untuk menghadapi krisis pangan di masa depan.
Keanekaragaman pangan memainkan peran penting dalam menjaga ketahanan pangan suatu negara. Mengandalkan satu atau dua jenis tanaman pangan, seperti beras dan gandum, sangat rentan terhadap perubahan iklim, serangan hama, dan fluktuasi harga pasar global. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 5.529 jenis sumber daya biologis tanaman pangan, termasuk 100 jenis karbohidrat, 100 varietas kacang-kacangan, dan 450 jenis buah-buahan. Sumber daya yang melimpah ini seharusnya menjadi pondasi utama bagi ketahanan pangan nasional.
Sayangnya, pola konsumsi masyarakat Indonesia justru cenderung homogen dengan dominasi beras sebagai makanan pokok. Ketergantungan yang besar pada satu komoditas ini berpotensi menimbulkan risiko tinggi pada sistem pangan nasional. Apabila terjadi gangguan pada produksi atau distribusi beras, ketahanan pangan nasional bisa terguncang. Di sisi lain, keanekaragaman pangan menyediakan alternatif pangan yang tidak hanya memperkaya asupan gizi masyarakat, tetapi juga mengurangi risiko krisis pangan karena adanya pilihan yang lebih beragam dalam konsumsi pangan harian.
Meski keanekaragaman pangan memiliki banyak manfaat, tantangan dalam mewujudkannya masih besar. Salah satu kendala utama adalah rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya diversifikasi pangan dan manfaat gizi dari tanaman lokal. Selain itu, ketergantungan pada beras dan gandum yang sebagian besar diimpor menjadi hambatan dalam mendorong konsumsi pangan lokal. Sistem kebijakan yang ada cenderung lebih berfokus pada peningkatan produksi beras, kedelai, dan jagung daripada memberikan perhatian pada pangan lokal lainnya.
Pendekatan ini dapat dilihat dari kebijakan pangan yang dominan, di mana pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk meningkatkan produksi tanaman tertentu yang dianggap memiliki nilai strategis. Walau produksi meningkat, ketergantungan pada impor tetap menjadi masalah, terutama untuk komoditas seperti gandum. Tantangan lain yang muncul adalah degradasi lahan pertanian akibat praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk kimia berlebihan yang merusak kesuburan tanah. Untuk menciptakan sistem pangan yang berkelanjutan, perubahan paradigma ini sangat mendesak dilakukan.
Sistem pangan yang resilient adalah sistem yang mampu bertahan dan bangkit kembali dalam menghadapi berbagai guncangan eksternal, seperti perubahan iklim, bencana alam, dan fluktuasi ekonomi. Keanekaragaman pangan adalah salah satu strategi utama dalam menciptakan resiliensi ini. Dengan memiliki berbagai jenis tanaman pangan, petani dapat lebih mudah beradaptasi terhadap perubahan iklim. Misalnya, tanaman seperti singkong dan sagu yang lebih tahan terhadap kondisi tanah kering dapat menjadi alternatif saat musim kemarau panjang.
Seperti disampaikan oleh Bart de Steenhuijsen Piters dalam teorinya tentang resiliensi sistem pangan, "Keanekaragaman pada skala berbeda, dari produksi hingga konsumsi, merupakan peredam penting dalam menghadapi guncangan dan pemicu stres pada sistem pangan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin beragam tanaman yang dikembangkan, semakin kuat pula ketahanan sistem pangan karena tidak terfokus pada satu jenis tanaman saja.
Selain itu, keanekaragaman tanaman pangan dapat meningkatkan kualitas gizi masyarakat. Banyak tanaman lokal yang kaya akan vitamin dan mineral, yang seringkali tidak ditemukan dalam beras atau gandum. Dengan mempromosikan konsumsi pangan lokal yang kaya nutrisi, ketahanan pangan dapat tercapai dengan kualitas gizi yang lebih baik. Keberagaman nutrisi ini penting bagi pertumbuhan generasi mendatang yang lebih sehat dan lebih produktif.
Untuk mewujudkan sistem pangan yang resilient, pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta perlu bersinergi dalam merumuskan strategi yang mendorong diversifikasi pangan lokal. Langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah yaitu mendorong masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal melalui kampanye edukasi dan insentif bagi petani yang membudidayakan tanaman pangan lokal. Langkah ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan tanaman pangan seperti singkong, talas, ubi jalar, dan sagu yang dapat menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mengubah pola pikir masyarakat untuk melihat pangan lokal sebagai pilihan utama, bukan sekadar alternatif, adalah tantangan besar yang harus dijawab bersama.