Mohon tunggu...
Sintiya TriAnjani
Sintiya TriAnjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sastra, Bahsa, Kesehatan, Pendidikan, Seni & budaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Rahasia Ibu

19 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 19 Desember 2024   20:54 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

         RAHASIA IBU

Oleh: Sintiya Tri Anjani


Hari ini matahari bersinar dengan teriknya, menyengat hingga membakar kulit siapa saja  yang berada di bawahnya. Aku melihat Ibu sedang menggarap tanah dan juga menanam jagung diladang. Sudah tiga tahun ini sejak kepegian Ayah untuk selama-lamanya. Ibulah yang menggantikan posisi Ayah untuk bekerja di ladang. Aku melihat peluh membanjiri  seluruh tubuh ibu yang terlihat kurus. Kuku-kukunya yang menghitam dan terlihat pecah-pecah begitu juga dengan kaki dan tangannya yang kasar. Meskipun begitu ibu tidak pernah sekalipun mengeluh lelah dihadapanku. Ibu selalu giat bekerja untuk membiayai kebutuhan kami dan juga kebutuhan sekolahku. Sebenarnya berladang bukanlah pekerjaan pokok keluarga kami. Ayahku adalah seorang guru honorer di salah satu SD tempatku menimba ilmu. Akan tetapi ada suatu kejadian nahas yang menimpah kelurga kami. Saat itu, Ayah mengalami kecelakaan dengan Ayah yang mengendari speda motor dan terdapayang truk gandeng remnya blong dan langsung menabrak Ayah dan beberpa pengendara lain yang melintas dan Ayahku dinyatakan wafat di tempat kejadian.

 Di usiaku yang akan berumur sepuluh tahun dua bulan lagi. Sejak saat itu, sejak kepergian ayah akulah yang selalu menemani ibu keladang dan kadang jika musim panen tiba aku membantunya memasukkan jagung-jagung yang telah siap diangut kedalam wadah karung untuk kemudian dijemur dan dijual.

Dan disinilah aku, yang ikut memasukkan bibit-bibit jagung kedalam tanah yang sudah ibu berikan lubang yang kemudian ditutup dengan tanah yang sudah dicampuri pupuk kompos agar tanaman jagung tumbuh subur dan memiliki buah yang bagus. Ditengah pekerjaan ku aku sesekali membayangkan “Andai saja ayah masih ada, akankah Ibu akan selelah ini ?. Akankah aku bisa bermain dengan anak seusiaku setelah pulang dari sekolah ?.

“Cana, ambilkan ibu minum”. Seruan ibu membuyarkan lamunanku.

“Baik, bu”. Ucapku dan langsung mendatangi ibu yang terlihat lelah bersandar dibawa pohon pisang.

“Ini bu, air minumnya”.

“Terima kaih, sini duduk”.

Ucapan ibu sambil menepuk-nepuk tanah disisinya dan tersenyum manis kearahku. Aku yang masih setia berdiri pun langsung ikut terduduk.

“Cana, setelah ini ibu akan pergi kepasar sebentar, kamu pulang saja dulu”. Aku yang mendengar itu ingin sekali protes padahal kalau di pasar kan terdapat banyak jajanan, baju, buah bahkan aku bisa menikmati suasana pasar yang ramai. Ibu semenjak kepergian ayah selalu saja tidak pernah mengajakku lagi.

Melihat raut wajahku yang berubah murung ibu membelai wajahku dengan penuh kasih sayang dan berkata “Cana dengarkan ibu, nanti setelah ibu pulang, ibu berjanji membelikan buah jeruk untukmu”.

Mendengar itu akupun tersenyum dan langsung memeluk ibu. “Bagiku ibu adalah ibu yang terbaik didunia”.

Setelah itu akupun langsung bergegas pulang menuruti perintah ibu. Setelah sampai di rumah aku langsung mencuci kaki dan tanganku yang terlihat kotor oleh lumpur dan tanah di ladang. Setelahnya aku langsung mendudukkan diriku di tikar kecil rumah kami dan ntah karena bosan menunggu ibu pulang atau karena efek kelelahan karena membantu ibu diladang, mata ini menjadi berat dan akhirnya aku memutuskan untuk tidur.

Ditengah tidurku yang terlelap, sayup-sayup aku mendengar suara ricuh yang memanggil-manggil namaku dari luar. Kulirik jam dinding ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku pun bergegas membukakan pintu rumah dan disana aku melihat bibi Ros sedang berdiri menatapku sendu. Aku bertanya di dalam hati “Ada apa ini ? dan di mana ibu mengapa sudah sore begini belum juga pulang”. Dan disaat yang bersamaan bibi Ros langsung memelukku dengan sangat erat kemudian mengusap pucuk kepalaku yang tidak tertutupi kain hijab.

“Bibi ada apa ?”. Kataku dengan raut wajah bingung. Orang-orang dewasa disana juga tidak ada yang berbicara, mereka hanya diam dan memandangiku seperti seekor anak kucing jalanan yang kehilangan induknya.

“Cana, mari ikut bibi kepuskesmas”. Suara lirih bibi memecahkan kebingungan yang melandaku saat itu. Dengan wajah tegangku aku pun tanpa berfikir panjang langsung mengikuti bibi kepuskesmas. Di desaku tidak ada rumah sakit seperti di kota-kota besar dan untuk menempunya bibi membawaku dengan menaiki sepeda motor.

Setelah aku sampai puskesmas disana, ternyata sudah ada kakek, nenek, paman dan tetangga lain yang berkumpul. Bibi menuntunku kedalam ruangan serba putih dan semakin kaki ini melangkah seperti terdapat ribuan batu yang melilit dikaki, sungguh berat rasanya. Aku melihat sesosok yang sangat kukenali tengah terbaring lemah dan disaat itu bibi memelukku seraya berkata dengan lirih. “Ibu sudah tidak sakit lagi, lihatlah dia tertidur dengan damai”.

“Ya Tuhan, mengapa hal ini terjadi lagi, maksudku apakah keluargaku memang ditakdirkan untuk berada di aspal”. Ucapku lirih didalam hati, dan saat itu, air mata ini sudah tak terbendung lagi untuk tidak menetes.

Ke esokan paginya, rumahku sudah di penuhi dengan banyaknya orang-orang yang berdatangan untuk berucap bela sungkawa dan ada juga yang membantu masak-masak di dapur. Dan saat ini aku berada di kamar yang biasanya ibu dan aku tiduri. Tiba-tiba terlihat bibi datang dengan membawa kresek dan terdapat sesuatu di dalamnya entah apa itu akupun tidak tahu dan setelahnya duduk disampingku yang masih menatap kosong. Entahlah…aku sudah kehilangan duniaku. “Akankah aku bisa melewati semua ini tuhan ?. Ternyata sebelum kecelakaan itu terjadi ibu sedang pergi ke apotik untuk membeli obat. Ibu telah lama sakit tapi kenapa aku tidak tahu, sebegitu kuatkah dirimu ibu ?". Ucapku lirih di dalam hati. 

“Cana, bibi membawakan sesuatu untukmu, lihat ini”. Ucap bibi Ros.

“Ini adalah kado yang sudah ibumu persiapkan untuk hari ulang tahunmu nanti”. Mendengar kata ibu akupun langsung menoleh dan menerima bungkusan itu dari tangan bibi. Dan perlahan akupun memebukanya. Terdapat sepasang seragam sekolah didalamnya. Ini adalah permintaanku pada ibu bulan lalu karena seragam lamaku sudah sedikit robek . “Sungguh ibu yang mempersiapkan ini untukku”. Ternyata ibu mengingatnya dan telah mempersiapkannya untukku.

“Cana, kamu harus berjanji untuk terus giat belajar dan mengejar cita-citamu. Bibi mendengar cana ingin menjadi sarjana kedokteran kan, maka gapailah cita-cita itu dengan giat belajar, Cana mau berjaji ?”. Ucap bibi seraya menautkan jari kelingking kami. Dan akupun memlasnya dengan anggukan kepala.

“Cana berjanji bi”. Ucapku sambil memeluk bibi Ros. Ternyata tuhan tidak seburuk itu, di balik semua ujiannya masih ada hal-hal manis yang dapat kita petik di dalamnya. Ibu menginginkan aku untuk menjadi orang yang sukses. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun