Mohon tunggu...
Sintia Rianti
Sintia Rianti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja

5 Maret 2018   19:58 Diperbarui: 5 Maret 2018   20:32 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja yang kupandang hari ini begitu cepat berlalu berganti malam. Setelah kupikir lagi, Senja yang selalu kurindukan kini perlahan mulai tenggelam. Langit yang begitu sempurna selalu terlihat indah, seolah tidak ada yang terjadi padanya. Tiada yang lebih kuat selain langit. Langit selalu menerima kala hujan datang, langit selalu senang kala senja menyapa, bahkan langit tetap tegak kala siang berganti malam, dan malam berganti siang. 

Apakah kalian pernah mendengar langit mengeluh? Tidak pernah bukan? Padahal senja dan segala hal yang terjadi pada langit, datang dan pergi begitu saja. Tapi dengan tetap kokoh langit selalu menerima senja, walaupun dia tahu senja selalu datang dan pergi sesukanya. Langit selalu menunggu dan menyambut kala senja datang menyapa tanpa berdosa.

Yang aku ceritakan kali ini tentang senja yang akan ku khianati setelah sekian lama aku menyukainya. Untuk sekali saja izinkan aku mengkhianati senja yang indah ini. Untuk sekali ini saja izinkan aku membenci senja yang senantiasa menarik perhatianku dengan indah warnanya. Biarkan kali ini aku pergi, biarkan kali ini aku menjauh, aku tidak ingin menunggu lagi, aku tidak ingin terluka lagi. Untuk kali ini saja biarkan aku menjadi langit yang tidak lagi menunggu senja, yang tidak lagi menginginkannya datang. Biarkan kali ini embun dingin yang menggantikannya sejenak, embun ini yang akan menutupi senja dan menjadi hujan.

Semua berawal dari keegoisanku yang menginginkannya bersama denganku. Mungkin tanpa aku sadari aku memaksanya masuk kedalam kehidupanku. Dan tanpa aku sadari semua itu akan berdampak buruk pada diriku sendiri. Aku tidak pernah berpikir akhirnya akan seperti apa? Aku juga tidak berpikir terlalu jauh. 

Aku hanya menikmati setiap waktu kebersamaan kita, aku hanya tetap menerima dia kembali, ketika dia menghilang dan tiba-tiba menghampiri seolah tidak ada yang terjadi. Dan bodohnya, aku selalu menerima dia kembali, padahal dia selalu mengulangi hal yang sama, mengulangi hal yang tidak aku sukai, membuat goresan luka baru seketika saat luka lama hampir mengering. Bodoh, bodoh memang!

"Bodoh? Kamu bilang itu suatu kebodohan? Bukankah memang cinta selalu membuat kita bodoh? Tapi kamu selalu menikmati setiap kebodohan itu bukan?" teman ku berkata.

 "Ya, aku mengakuinya, aku memang selalu menikmati kebodohan itu, karena bersamanya  kebodohan itu bukan suatu masalah besar. Tapi saat jauh darinya kebodohan itu terlihat seperti masalah yang mulai akan membunuh setiap harapan, setiap cinta, setiap rasa yang aku berikan tulus padanya." Kataku.

"Tulus? Apakah benar kamu tulus? Apakah benar cinta yang kamu berikan padanya itu tulus? Kenapa kamu masih menginginkan balasan cinta darinya, jika memang benar cinta yang kamu berikan itu tulus. Bukankah cinta yang tulus tidak harus menginginkan balasan? Bukankah cukup kamu mencintainya saja?" Lagi-lagi temanku menjawab.

"Cukup mencintainya saja? Apakah cinta yang tulus tidak berhak dan tidak boleh jika menuntut untuk dicintai? Apakah cinta yang tulus tidak boleh berharap lebih kepada apa yang dia cintai? Aku pikir cinta yang tulus tidak SENAIF itu." Kataku yang membuat temanku diam seribu bahasa.

Aku bahkan sempat berpikir apakah ketulusan dalam cinta itu diperlukan? Apakah ketika kita mencintai seseorang, kita harus selalu tulus? Jika memang iya, kenapa setiap kali seseorang itu tulus, kenapa selalu berakhir dengan rasa kecewa? Kenapa ketika kita tulus pada seseorang, kenapa justru luka yang didapat? Apakah setiap kali ketulusan itu lahir, balasan yang didapat harus kekecewaan? Atau kenestapaan? Kenapa?

Kamu! Dulu aku mencintaimu dengan segala ketulusan yang aku punya, dulu aku sangat-sangat menyukaimu, sampai-sampai aku lebih mencintaimu daripada diriku sendiri. Tapi nyatanya, ketulusan yang aku berikan malah membawa kekecewaan dan luka yang teramat dalam dan membekas, bahkan sampai detik ini. Walaupun begitu, kamu tetap menjadi satu yang selalu ku kenang. Terlalu banyak kenangan manis yang kita ukir, sehingga aku tidak mampu sedikitpun untuk tidak mengingat setiap detiknya kebersamaan kita dulu. Sampai detik ini pun aku masih mengingatmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun