Mohon tunggu...
Humaniora

Review Buku "Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

28 April 2019   15:25 Diperbarui: 28 April 2019   16:57 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh:

Sintiani Rahman

NIM: 11171110000010

Sosiologi 4 A

DATA BUKU:

Judul Buku     : Islam, Kepemimpinan Perempan, dan Seksualitas

Penulis             : Neng Dara Affiah

Penerbit           : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Kota Terbit      : Jakarta

Tahun Terbit    : 2017

Tebal Buku      : 200 halaman

Buku ini menceritakan rangkaian sejarah bagaimana perempuan sangat menjadi subordinat dalam berbagai hal. Mulai dari perempuan dilarang mejadi pemimpin bangsa, seperti yang terjadi pada tahun 1998 dimana Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui aktivis politknya mengeluarkan pernyataan melarang presiden berjenis kelamin perempuan dengan mengatakan "PPP akan memilih 'putra' terbaik, dan bukan 'putri' terbaik.

Selain itu terlihat juga dalam praktik poligami, dimana banyak dari pelaku poligami melakukan praktik tersebut atas dasar nafsu yang berakibat merugikan perempuan dan tidak adanya sanksi hukum bagi pelaku poligami yang tidak bertanggung jawab. Selain itu juga karena terbentuknya konstruk pemikiran bahwa perempuan harus lemah lembut, perempuan tidak boleh bicara kasar dan sebagainya, begitupun juga dengan laki-laki, bahwa laki-laki itu harus tegas, kuat, tahan banting dan sebagainya.

Adanya pemikiran seperti itu yang secara sadar diyakinkan sebagai suatu realita bahwa fisik wanita jauh lebih lemah dibandingkan laki-laki, sehingga wanita memiliki posisi yang subordinat. Tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai kodrat,karena itu merupakan stereotipe yang terkonstruk didalam pikiran masyarakat.

Didalam buku ini terdapat tiga bab pembahasan, yaitu: pertama, Islam dan Kepemimpinan Perempuan; kedua, Islam dan Seksualitas Perempuan; ketiga, Perempuan, Islam dan Negara .

Pada bab pertama tentang Islam dan Kepemimpinan Perempuan, pada bab ini muncul perdebatan antara yg pro dan kontra terhadap kepemimpinan perempuan, dan yang menjadi pangkal perdebatan adalah kata qowwam sebagaimana tertera dalam ayat Alquran " Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" (An-Nisa: 34). Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen Agama dalam Alquran dan Terjemahannya pun mengartikannya demikian. Dari pemaknaan diatas nampak jelas bahwa pria pada posisi yang superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior.

Argumen superioritas laki-laki ini didasarkan pada asumsi bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan hidup keluarga sehari-hari. Selain itu, laki-laki umumnya dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan ( al-aznl), kekuatan ( al-quwwah), kemampuan tulisan ( al-kitabah) dan keberanian ( al-furusiyyah wa al-ramy). Karena itu, dari kaum laki-laki ini lahir para nabi, ulama dan imam.

Dan yang kontra terhadap pemaknaan ini datang dari sejumlah ahli tafsir berperspektif feminis, yaitu mengenai pemaknaan karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain. Menurut ahli tafsir berperspektif feminis, hal itu bersifat relatif dan tergantung pada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya. Karena itu, penafsiran yang bias laki-laki tersebut harus ditafsirkan lagi. Fazlur-Rahman menafsirkan bahwa "kelebihan" tersebut bukanlah bersifat hakiki, melainkan fungsional. Artinya, jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan laki-laki akan berkurang, karena sebagai manusia tidak memiliki keunggulan atas perempuan. Sejalan dengan tafsiran Fazlur-Rahman, Amina Wadud Muhsin menyatakan bahwa laki-laki qowwamun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bawa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis , sebab hal tersebut hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Alquran, yakni memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Kriteria tersebut juga bisa dimiliki oleh perempuan, dan karena itu perempuan pun memiliki kelebihan.

Selain itu, menurut Asghar Ali Engineer, pernyataan Alquran karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan membelanjakan untuk perempuan. Karena itu pernyataan tersebut bersifat kontekstual dan bukan normatif. Seandainya Alquran menghendaki laki-laki harus menjadi qowwam atas perempuan, ia akan menggunakan pernyataan normatif dan pastilah mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan semua keadaan.

Selain itu, perlu kita lihat pula, konteks kelahiran ayat. Pertama, ayat ini turun dalam konteks hubungan suami istri dan bukan dalam konteks kepemimpinan. Kedua, melarang perempuan menjadi pemimpin atas dasar ayat ini adalah sebuah keangkuhan yang bertentangan dengan konsep dasar Tuhan menciptakan manusia. Bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanat menjadi Khalifah (pemimpin) dimuka bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan mempergunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia, laki-laki dan perempuan. Ketiga, ayat ini turun berkaitan dengan kuatnya kecenderungan kekerasan domestik pada masyarakat Arab pra-Islam. Oleh karena itu, makna yang cukup netral terhadap kata qawwam adalah pencari nafkah, penopang ekonomi, atau mereka yang menyediakan sarana pendukung kehidupan.

Pada bab kedua yaitu mengenai Islam dan Seksualitas Perempuan, pada bab yang kedua ini sangat menarik perhatian saya dan membuka mata dan hati saya bagaimana perempuan benar-benar menjadi subordinat dalam berbagai hal. Pada bab kedua ini dipaparkan konsep perkawinan pada tiga agama (Yahudi, Kristen, dan Islam). Dimana dalam menciptakan ketenteraman dalam rumah tangga, tafsir agama cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik dengan melekatkannya sebagai penjaga "gawang" kebahagiaan dalam rumah tangga yang mewujud dalam bentuk memelihara anak, mendampingi suami, dan "tanah garapan" yang bisa "dicangkul" kapan pun dan dimana pun.

 Selanjutnya dipaparkan juga bahwa menurut perspektif agama-agama bahwa melahirkan keturunan merupakan fungsi dari perkawinan. Keturunan ini tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Agama Yahudi secara jelas menyatakan akan fungsi ini, karena dengan keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian dari generasi ke generasi, yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bisa kelangsungan teologinya. Hal yang serupa pun juga ditekankan dalam gereja Katolik, Katolik menekankan bahwa buah dari perkawinan adalah adanya keturunan.

Pandangan serupa terdapat pula dalam ajaran Islam. Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus mematuhi ajaran agamanya. Karenanya Islam menganjurkan para laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang bisa mempunyai anak. Hadis yang populer mengenai hal ini adalah: "Kawinlah kamu, berketurunanlah kamu, berkembangbiaklah kamu, maka sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya kamu sekalian terhadap umat lain dihari kiamat nanti" (Hadis) dan "Nikahilah olehmu perempuan yang dapat memperbanyak anak" (Hadis).

Dalam hal seperti ini, kemandulan sering dianggap sebagai salah satu kemalangan terbesar bagi perempuan, karena banyak diantara mereka yang hanya memiliki "posisi tawarnya" dengan suami karena ia mempunyai anak. Saat tidak bisa melahirkan anak, ia akan di cemooh dan dicampakkan sedemikian rupa seolah-olah ia tidak memiliki harga sebagai seorang manusia. Dan Undang-Undang Perkawinan Indonesia Tahun 1974 Pasal 4 dan 5 membolehkan para suami menikah dengan perempuan lain (poligami) jika istri pertamanya tidak dapat melahirkan keturunan.

Selanjutnya ketimpangan yang terjadi pada perempuan terjadi dalam praktik poligami, dimana pada era sekarang ini banyak orang yang menyalahartikan poligami. Pernikahan poligami yang ditawarkan Alquran pada masa itu adalah sebuah upaya untuk mengatasi beberapa persoalan mendesak. Pertama, menopang ekonomi para janda dan anak-anak yatim yang telah kehilangan suami dan ayah mereka pasca-perang Uhud. Kedua, pemerataan distribusi ekonomi secara adil. Ketiga kuatnya kelompok masyarakat yang tidak memberhalakan sesuatu selain mengabdi kepada Allah (tauhid). Pada masa itu masyarakat yang mengikuti jalan Islam masih sangat terbatas, terlebih umat Islam yang kuat secara tauhid banyak yang meninggal di medan laga, dan anjuran para laki-laki muslim menikahi para janda adalah upaya terbentuknya masyarakat tauhid yang kuat. Namun kini hampir tidak ada motif seorang laki-laki yang menikahi perempuan poligami atas dasar hal tersebut. Rata-rata motif utama dari pria yang melakukan poligami sekarang ini adalah karena keserakahan seksual seorang laki-laki, istri kedua atau berikutnya cenderung lebih muda, lebih bergairah, dan mencari figur perempuan yang tidak dimiliki oleh istri sebelumnya.

Kemudian pada bab terakhir ini, yaitu Perempuan, Islam dan Negara. Pada bab ini dipaparkan bahwa posisi perempuan dalam peta pembaruan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional. Meski sejumlah lembaga atau organisasi masyarakat madani tidak menyebut secara verbal tentang feminisme, sebagai paradigma dan ideologi hal ini telah menjadi alat analisis beberapa daripadanya yang berbasis Islam.

Setidaknya, ada dua model organisasi yang mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja untuk penegakan hak-hak perempuan dalam konteks organisasi Islam progresif di Indonesia. Pertama, paradigma yang diintegrasikan ke dalam kerja-kerja organisasi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institut (TWI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakspesdam NU) di Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta dalam lingkungan kultur Nahdhatul Ulama, dan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institut, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dalam lingkungan kultur keagamaan Muhammadiyah.

Jaringan Islam Liberal (JIL) misalnya, meski tidak fokus pada isu perempuan, tetapi telah menerbitkan buku tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan mewacanakannya melalui pelbagai media, seperti radio dan surat kabar. Demikian pula dengan Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan The Wahid Institut. P3M pada 1994 mengembangkan program Fiqh-an-Nisa". Melalui program ini mereka mengembangkan advokasi hak-hak perempuan melalui pelatihan, diskusi, dannpenyebaran informasi. Kedua, kerja-kerja organisasi dengan fokus feminisme dan Islam lalu menerjemahkannnya dalam bahasa sederhana, menyosialisasikannya melalui pelbagai media pendidikan dan Lembaga layanan perempuan korban kekerasan.

Secara garis besar buku ini sangat menarik bagi saya pribadi, karena telah membuka pikiran saya bagaimana kedudukan perempuan benar-benar menjadi subordinat dalam banyak hal. Dan buku ini juga menjelaskan dengan sangat kompleks, mulai dari kedudukan perempuan yang menjadi subordinat hingga usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan perempuan untuk menyeimbangkan kedudukan perempuan dalam kehidupan bernegara maupun beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun