Selanjutnya dipaparkan juga bahwa menurut perspektif agama-agama bahwa melahirkan keturunan merupakan fungsi dari perkawinan. Keturunan ini tidak hanya bersifat biologis, melainkan juga untuk kepentingan pewarisan ajaran. Agama Yahudi secara jelas menyatakan akan fungsi ini, karena dengan keturunan terdapat wahana untuk meneruskan perjanjian dari generasi ke generasi, yang tidak hanya merupakan sejarah dari kelangsungan hidup Yahudi, tetapi juga bisa kelangsungan teologinya. Hal yang serupa pun juga ditekankan dalam gereja Katolik, Katolik menekankan bahwa buah dari perkawinan adalah adanya keturunan.
Pandangan serupa terdapat pula dalam ajaran Islam. Alquran menyatakan bahwa kesinambungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh kelanjutan keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim harus mematuhi ajaran agamanya. Karenanya Islam menganjurkan para laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang bisa mempunyai anak. Hadis yang populer mengenai hal ini adalah: "Kawinlah kamu, berketurunanlah kamu, berkembangbiaklah kamu, maka sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya kamu sekalian terhadap umat lain dihari kiamat nanti" (Hadis) dan "Nikahilah olehmu perempuan yang dapat memperbanyak anak" (Hadis).
Dalam hal seperti ini, kemandulan sering dianggap sebagai salah satu kemalangan terbesar bagi perempuan, karena banyak diantara mereka yang hanya memiliki "posisi tawarnya" dengan suami karena ia mempunyai anak. Saat tidak bisa melahirkan anak, ia akan di cemooh dan dicampakkan sedemikian rupa seolah-olah ia tidak memiliki harga sebagai seorang manusia. Dan Undang-Undang Perkawinan Indonesia Tahun 1974 Pasal 4 dan 5 membolehkan para suami menikah dengan perempuan lain (poligami) jika istri pertamanya tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya ketimpangan yang terjadi pada perempuan terjadi dalam praktik poligami, dimana pada era sekarang ini banyak orang yang menyalahartikan poligami. Pernikahan poligami yang ditawarkan Alquran pada masa itu adalah sebuah upaya untuk mengatasi beberapa persoalan mendesak. Pertama, menopang ekonomi para janda dan anak-anak yatim yang telah kehilangan suami dan ayah mereka pasca-perang Uhud. Kedua, pemerataan distribusi ekonomi secara adil. Ketiga kuatnya kelompok masyarakat yang tidak memberhalakan sesuatu selain mengabdi kepada Allah (tauhid). Pada masa itu masyarakat yang mengikuti jalan Islam masih sangat terbatas, terlebih umat Islam yang kuat secara tauhid banyak yang meninggal di medan laga, dan anjuran para laki-laki muslim menikahi para janda adalah upaya terbentuknya masyarakat tauhid yang kuat. Namun kini hampir tidak ada motif seorang laki-laki yang menikahi perempuan poligami atas dasar hal tersebut. Rata-rata motif utama dari pria yang melakukan poligami sekarang ini adalah karena keserakahan seksual seorang laki-laki, istri kedua atau berikutnya cenderung lebih muda, lebih bergairah, dan mencari figur perempuan yang tidak dimiliki oleh istri sebelumnya.
Kemudian pada bab terakhir ini, yaitu Perempuan, Islam dan Negara. Pada bab ini dipaparkan bahwa posisi perempuan dalam peta pembaruan Islam di Indonesia telah muncul seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional. Meski sejumlah lembaga atau organisasi masyarakat madani tidak menyebut secara verbal tentang feminisme, sebagai paradigma dan ideologi hal ini telah menjadi alat analisis beberapa daripadanya yang berbasis Islam.
Setidaknya, ada dua model organisasi yang mengintegrasikan paradigma feminisme dalam kerangka kerja untuk penegakan hak-hak perempuan dalam konteks organisasi Islam progresif di Indonesia. Pertama, paradigma yang diintegrasikan ke dalam kerja-kerja organisasi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M), The Wahid Institut (TWI), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia NU (Lakspesdam NU) di Jakarta dan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta dalam lingkungan kultur Nahdhatul Ulama, dan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institut, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dalam lingkungan kultur keagamaan Muhammadiyah.
Jaringan Islam Liberal (JIL) misalnya, meski tidak fokus pada isu perempuan, tetapi telah menerbitkan buku tentang hak-hak perempuan dalam Islam dan mewacanakannya melalui pelbagai media, seperti radio dan surat kabar. Demikian pula dengan Perhimpunan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan The Wahid Institut. P3M pada 1994 mengembangkan program Fiqh-an-Nisa". Melalui program ini mereka mengembangkan advokasi hak-hak perempuan melalui pelatihan, diskusi, dannpenyebaran informasi. Kedua, kerja-kerja organisasi dengan fokus feminisme dan Islam lalu menerjemahkannnya dalam bahasa sederhana, menyosialisasikannya melalui pelbagai media pendidikan dan Lembaga layanan perempuan korban kekerasan.
Secara garis besar buku ini sangat menarik bagi saya pribadi, karena telah membuka pikiran saya bagaimana kedudukan perempuan benar-benar menjadi subordinat dalam banyak hal. Dan buku ini juga menjelaskan dengan sangat kompleks, mulai dari kedudukan perempuan yang menjadi subordinat hingga usaha-usaha yang dilakukan oleh berbagai organisasi gerakan perempuan untuk menyeimbangkan kedudukan perempuan dalam kehidupan bernegara maupun beragama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H