Hi, everybody! Kenalan dulu yuk sama aku. Nama aku Arunika. Arunika Elham Salwa. Kalau kata bunda sih artinya 'Cahaya Matahari Fajar yang Cantik dan Paling Kuat'.Â
Aku disini nggak mau banyak cerita tentang keluarga aku, karena menurut aku nggak ada yang istimewa. Singkatnya, hampir setiap harinya aku hanya tinggal bertiga sama Bi Imah sebagai ART dan Pak Amir sebagai sopir pribadi aku.
Jangan tanya orang tua aku kemana, pasti kalian bisa menebaknya sendiri.Â
Ya, benar! Ayah Bunda aku kerja, berangkat pagi sebelum aku bangun dan pulang larut malam. Tak jarang mereka keluar kota bahkan keluar negeri dan meninggalkan aku di rumah bersama Bi Imah dan Pak Amir.
Tapi ya mau bagaimana lagi, mereka juga bekerja untukku'kan?Â
Oke, next topic. Disini aku mau sedikit cerita ke temen-temen semuanya tentang sesosok pria yang menarik perhatian sepasang bola mataku untuk terus menatap kearahnya.
Ancala. Ya pria itu bernama Ancala. Kalau kalian menebak dia suka dengan keindahan gunung, kalian benar sekali. Yeay!
Ancala seorang pendaki. Sama seperti namanya yang memiliki arti 'Gunung'.
Tak sedikit gunung yang sudah ia kunjungi, mulai dari gunung dengan ketinggian 1000 mdpl, hingga gunung tertinggi di pulau Jawa.
Ancala sosok yang dingin, misterius, kadang juga humoris sih tergantung situasi hehe. Namun Ancala sangat peduli dengan orang di sekitarnya.
Dialah yang membuatku menyukai alam, tantangan, dan juga dirinya.
Tak jarang aku menghabiskan waktu bersamanya di hutan menuju puncak gunung.
Cerita ini bermula saat aku dan dia masih duduk di bangku kuliah. Tepatnya 5 tahun yang lalu.
"Arunika, minggu depan'kan kita liburan semester. Gimana kalo kamu ikut aku?" ajaknya.
"Hah, kemana Al?" Al adalah sapaan atau panggilanku untuk Ancala.
"Rencana sih mau muncak ke Lawu, tapi kalau kamu ikut nanti kita cari gunung yang nggak terlalu tinggi aja. Gimana?"
"Tapi'kan kamu tau aku nggak pernah naik gunung. Kayanya kamu salah deh kalau ngajak aku."Â
"Gapapa, kalau capek ya kita tinggal berhenti aja, istirahat." bujuknya.
"Ya udah, tapi kamu coba izin ke Ayah Bunda aku dulu ya."
"Oke deh."
Tiga hari setelah obrolan itu, Ancala datang ke rumah untuk meminta izin ke Ayah Bunda. Dan ya, mereka nge-iya-in anak semata wayangnya ini untuk berjelajah dan tidur di hutan semalaman.
"Tuh'kan apa aku bilang, pastilah Tante Ira sama Om Irwan ngijinin kalo aku yang ngajak. Hehehe" ejek sinis Ancala.
Ayah Bunda udah kenal Al sejak kita masih umur 12 tahun, karena Al yang notabenenya anak dari teman bisnis Ayah ini sering banget ke rumah. Entah untuk sekedar makan malam bersama keluarga atau sekedar main-main saja.
Dan kalian tau? Kita juga satu sekolah, bahkan satu kelas!
Jadi wajar saja jika sekali dia minta izin ke orang tua aku, langsung di acc oleh mereka.
H-1 sebelum pendakian, aku siapkan semua perlengkapan dan peralatan. Mulai dari pakaian ganti, obat pribadi, sleeping bag, hingga logistik.
Anyways, pendakian perdana aku kali ini di Gunung Bekel. Mungkin sebagian dari kalian masih asing ya sama Gunung satu ini.Â
Oke, aku jelasin singkatnya ya. Jadi Gunung Bekel ini merupakan anak Gunung Penanggungan yang letaknya di sebelah barat Gunung Penanggungan. Â Untuk lokasinya di Mojokerto, Jawa Timur.
Nah, sesampainya di basecamp kita langsung urus simaksi (surat izin masuk kawasan konservasi) dan mulai nge-track pukul 23.30 WIB.
Hah, serius naik gunung jam segitu? Pasti kalian bertanya seperti itu'kan? Ya emang kita bisanya jam segitu.Â
Kebetulan Ancala juga kerja di salah satu perusahaan yang mengharuskan dia harus bekerja dengan sistem shifting.
Singkat cerita, kita mulai naik pukul 23.45 WIB. Setelah berjalan cukup jauh, tibalah di Candi Sinta (salah satu pos di Gunung Bekel), aku dan Al mendirikan tenda dan bermalam disana.
Keesokan paginya, pukul 04.00 WIB kami bangun dan Al membuatkanku sarapan. Usai kita sarapan, pukul 05.00 WIB kita melanjutkan perjalanan ke puncak. Perlengkapan lainnya kami tinggal di dalam tenda, kecuali barang-barang berharga.
Tepat pukul 06.00 WIB, aku menginjakkan kaki di puncak Gunung Bekel.Â
Aku tertegun melihat keindahan yang berada tepat di depan bola mataku.
Pertama kalinya aku melihat keindahan sang mentari fajar di atas gunung
Ya meskipun gunungnya tidak terlalu tinggi
Pertama kalinya aku melihat kabut putih mengelilingiku
Indah dan sungguh menggugah
Hawa dingin seolah membawa rasa dan pesona khasmu
Hamparan lautan pasir luas, sangat menakjubkan
Dari sini pula, aku melihat Sang Surya itu hadir
Mungkin sebagian orang akan berfikir, alay banget sih. Tapi menurut aku itu hal yang wajar-wajar saja. Terlebih lagi ini first time aku mendaki gunung. Jadi nggak ada salahnya'kan jika aku terus memuji keindahan yang Tuhan ciptakan tepat di depanku?
"Arunika!" panggil Ancala dari kejauhan.
STAY TUNED FOR THE NEXT STORY, GUYS!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H