Centered relating adalah hubungan psikologis antara ibu dan anak yang akan sama-sama membangun kepribadian mereka berdua. Ibu semakin belajar menjadi dewasa, bertanggung jawab, santun dan mengayomi sementara anak juga akan belajar bagaimana kedudukannya sebagai anak yang dilindungi, disayangi namun juga memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Hubungan psikologis antara ibu dan anak akan membantu seseorang menemukan jati diri yang matang dalam perjalanan hidupnya.
Bagaimana dengan ayah?
Ayah adalah secondary object.
Tapi obyek sekunder yang dikenal anak ini bukan bagian tak bermakna.
Seorang lelaki harus memastikan istri, ibu anak-anaknya berada dalam primary object. Karena itu seorang ayah tidak membiarkan ibu kehilangan porsi centered holding dan centered relating. Semisal, lelaki yang bermalas-malasan mencari nafkah sementara istri yang berjuang keras menopang nafkah, sehingga kesempatan membangun hubungan psikologis dengan anak menjadi berkurang. Bila ibu karena kelelahan akibat mengurusi banyak hal menjadi terlalai membangun hubungan dengan si anak, maka ayah si obyek sekunder ini harus mengingatkan ibu agar menjalani perannya. Tentu saja, berbagi peran adalah keharusan.
Bila ibu sangat sibuk memasak, hingga tak sempat pagi-pagi menyimak bacaan Quran si anak dan mendekapnya sebagai kekuatan menghadapi era sekolah yang penuh dinamika; maka ayah harus mengambil peran agar ibu mampu berbagi kekuatan psikologis dengan putra putrinya.
Bukan itu saja. Ayah adalah ideal object bagi anak-anaknya.
Ibu memberikan cinta kasih, mendidik kebaikan dan aturan. Namun cita-cita besar, internalisasi kehebatan perilaku dan sosok seseorang berasal dari ayah.
Kisah Nabi Ibrahim as (2 :127-129) dan Luqmanul Hakim ( 31) adalah sedikit dari kisah-kisah ayah yang hebat. Nabi Ibrahim as dan Luqmanul Hakim menyempatkan berdialog panjang. Dialog-dialog penuh makna yang menumbuhkan kecintaan anak-anak kepada Tauhid dan tugas utama sebagai manusia.
Memang, peran ibu menjaga agar anak berada dalam dekapan hangat serta memastikannya tak menyimpang. Namun, agar ananda memiliki pandangan jauh ke depan, cita-cita yang melampaui zamannya, kekuatan untuk penjadi seraong Survival & Conqueror ; ayah harus membersamainya.
Bangganya bila anak-anak kita berkata,
“aku ingin jadi seperti Ayah!”
Alfred Roberts serta Paul Jobs memasukkan edukasi, filosofi, skill kepada anak-anak mereka sehingga menjadi pribadi cemerlang, inovatif dan mampu menjadi pemimpin.
Ayah dan Ibu Bersama
Ada pasangan orangtua yang mem”besar”kan anaknya bersama. Jangan heran, ada pula yang menghancurkannya bersama pula.
Albert Einstein beruntung memiliki orangtua bijak yang membesarkannya tanpa cepat putus asa. Ketika kecil, tak mudah menjadi seorang Yahudi di tengah 70 siswa katolik. Einstein terserang echolalia, semacam gagap yang membuatnya tampak gugup dan terbelakang. Guru mengeluhkannya. Hermann Einstein memberikan hadiah kompas dan Pauline Koch memberikan hadiah biola. Sepasang orangtua yang tak menyerah meski anaknya didiagnosis bodoh dan berada dalam kungkungan rasialisme. Di kemudian hari, bila Einsten tenggelam, gugup dalam lamunan imajinasi liar dan geniusnya, ia memainkan biola sebagai peredam emosi.
William James Sidis, seorang anak jenius yang mampu membaca koran diusia 18 bulan. Menguasai delapan bahasa di usia 8 tahun dan masuk Harvard di usia 11 tahun. Sebagai seseorang yang diklaim memiliki kecerdasan di atas skor 200, Sidis sangat istimewa. Ia begitu istimewa hingga orangtuanya, Boris Sidis, Ph.D,. M.D. dan ibunya Sarah Mandelbaum M.D melupakan bahwa ia masih anak-anak ketika harus mencapai semua prestasi. Saat dewasa, Sidis sangat menarik diri dan dianggap memiliki beberapa gangguan psikologis. Sidis, menyalahkan orangtuanya yang dianggapnya terlalu berambisi menjadikannya berprestasi.
Meski kecerdasan Sidis dianggap melampaui Einstein, ia tidak memiliki kehangatan dukungan orangtua hingga harus berakhir dalam hidup yang mengenaskan.
Sangat berbeda dengan Einstein yang selain mendapatkan dukungan Hermann, Pauline, adik semata wayangnya Maja pun sangat mendukung Einstein. Belum termasuk sahabat-sahabat Einstein semacam Mileva Maric, Michael Angelo Besso, Marcell Grossman dll yang senantiasa mendukung kiprah Einstein.
Margareth Thatcher, meski banyak diilhami sang ayah, ternyata memiliki beberapa watak baik ibunya. Tiap Kamis, Beatrice Roberts mengadakan acara “panggang akbar” di depan toko kelontong miliknya. Tujuannya adalah membagi 2 atau 3 loyang roti kepada yang membutuhkan. Banyak warga dan relasi Thatcher yang menyatakan ia mirip ibunya dalam hal bekerja : sekalipun seorang Perdana Menteri, Margareth lekat dengan anak-anak, mengurus perkara domestik dan hidup ala ibu rumah tangga lainnya. Bagi Albert, Margareth memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan dan itu yang membuatnya bersinar, terlepas hal tersebut disangkal oleh lawan-lawan politiknya.
Dalam kehidupan ini, mungkin tak semua didapatkan sempurna.
Sungguh beruntung memilih ayah dan ibu bagai Einstein atau Thatcher.
Namun bila tidak memungkinkan, salah satu orangtua harus maju sebagai figur bagi sang anak. Bila sang ayah terpaksa jauh di luar pulau karena harus bekerja, maka peran Primary Object dan Secundary Object diupayakan terus berjalan. Boleh jadi ada tambal sulam peran, saat ibu terpaksa mencari nafkah untuk membantu ayah, namun tugas utamanya sebagai centered holding dan centered relating tidak boleh terabaikan.
Begitupun, bila salah satu sosok orangtua tak sempurna, maka peran ayah sebagai Secundary Object tetap diupayakan berjalan. Ayah yang kokoh, tangguh, berkuasa, nakhoda di rumah.
Tips seorang teman ini mungkin bisa dilakukan.
Suaminya bekerja jauh di luar kota.
Secara keuangan, fasilitas tersedia. Namun si ibu tetap menganjurkan anak-anaknya menghubungi ayahnya bila terkait keuangan.
“Bilang Papa kalau mau beli sesuatu,” ujar si ibu.
Sekalipun ibu bekerja sebagai dosen dengan gaji lebih dari cukup, ia tak membiasakan anak-anak menjadikan semua keputusan “cukup dari ibu yang punya uang sendiri, terlebih ayah jauh.”
Sekalipun sang ayah bekerja jauh, anak-anak membiasakan meminta izin pada sang ayah bila akan membelanjakan uang. Figur sentral ayah sebagai tokoh pencari nafkah, tidak harus hilang hanya karena ia tidak ada di dalam rumah.
Memang, tak mudah menjadi ayah dan ibu yang bersama-sama membesarkan anak-anak. Namun dengan banyak belajar, kita akan mencoba memperbaiki apa yang telah luput dari perhatian.
Sinta Yudisia
Calon Psikolog, insyaaallah