Mohon tunggu...
Inovasi

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, di Situlah Cintaku Berlabuh

26 Februari 2018   07:04 Diperbarui: 26 Februari 2018   07:10 6319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Hayati dan Aziz pindah ke Surabaya, kehidupan perekonomian mereka semakin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Semakin lama watak asli Aziz terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Ketika mereka diusir dari kontrakan, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Zainuddin dan sempat singgah di sana. Karena malu dengan Zainuddin, Aziz memutuskan untuk pergi meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa hari kemudian, datang surat dari Aziz untuk Zainuddin. Isinya permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau meneri Hayati kembali. Sedangkan Aziz meninggal dengan cara bunuh diri. Sebenarnya mereka masih sangat mencintai, namun karena Hayati masih dalam ikatan pernikahan, Zainuddin memutuskan untuk memulangkan Hayati ke kampung halamannya.

Setelah berangkat, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia masih sangat mencintai Hayati dan tidak mampu hidup tanpanya. Ditambah lagi dengan surat Hayati yang isinya ia masih sangat mencintai Zainuddin, dan kalaupun ia meninggal itu adalah meninggal dalam mengenang Zainuddin. Setelah itu, datanglah kabar bahwa kapal yang ditompangi Hayati tenggelam, yaitu Kapal Van Der Wijck. Seketika itu Zainuddin syok dan langsung pergi bersama Muluk untuk mencari Hayati. Hingga akhirnya Zainuddin menemukan Hayati terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Itu adalah hari pertemuan terakhir mereka, karena setelah itu Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.

Hal tersebut membuat Zainuddin sedih karena ia merasa bahwa Hayati meninggal karena kesalahannya. Zainuddin selalu berkunjung ke makam Hayati. Hingga Zainuddin pun akhirnya sakit-sakitan dan kurang produktif lagi untuk menulis roman. Padahal sebenarnya ia sedang menyelesaikan karya besar. Beberapa bulan kemudian Zainuddin meninggal. Karyanya sudah selesai dan dibukukan. Zainuddin dimakamkan disebelah makam Hayati.

Profil Penulis

HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir Sumatera Barat, 17 Februari 1908. Ayahanda beliau bernama Syech Abdul Karim Amrullah, dan Ibunda beliau bernama Siti Shafiah. Ketika Hamka berumur sepuluh tahun, ayahnya membangun Thawalib Sumatera di Padang Panjang. Di sana Hamka belajar tentang ilmu agama dan bahasa Arab. Disamping belajar ilmu agama pada ayahnya. Hamka juga belajar pada beberapa ahli Islam yang terkenal seperti, Syech Ibrahim Musa, Syech Ahmad Rasyid, Sutan Mansyur dan Ki Bagus Hadikusumo.

Yang paling menarik dari Buya Hamka selain memang memiliki kecemerlangan dalam berbagai ilmu Islam, tentu adalah pemikiran beliau mengenai Islam itu sendiri. Dengan keahlian dalam bahasa Arab, Buya Hamka bisa mempelajari berbagai karya ulama klasik dan pujangga dari Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Hussain Haikal.

Pada tahun 1927, Hamka menjadi guru agama di Perkebunan Tinggi Medan dan Padang Panjang sampai tahun 1929. Tahun 1957-1958 Hamka sebagai Dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Hamka tertarik pada beberapa ilmu pengetahuan seperti: sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Pada tahun 1928 Hamka menjadi ketua Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun beliau membangun 'Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah' dua tahun kemudian menjadi ketua Muhammadiyah di Sumatera Barat, dan pada 26 Juli 1957 beliau menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia.

Hamka sudah menulis beberapa buku seperti, Tafsir Al-Azhar (5 jilid) dan novel seperti, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Merantau Ke Deli, Di Dalam Lembah Kehidupan dan masih banyak lagi. Hamka memperoleh Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar (1958), Doctor Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (1974) dan pada 24 Juli 1981 Hamka meninggal dunia.

Profil penulis diambil dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun