Ranggawarsita menekankan bahwa transformasi sejati berasal dari dalam; karena itu, Ratu Adil dilihat sebagai seseorang yang lebih dulu menata karakter dan jiwanya sebelum mengarahkan perubahan bagi orang lain.
Waktu Siklik dan Kembalinya Ratu Adil
Ranggawarsita menggunakan konsep waktu siklik dalam budaya Jawa (siklus waktu berulang) untuk menunjukkan bahwa setiap periode penderitaan atau kerusakan moral pada akhirnya akan diikuti oleh periode pembaruan di bawah pemimpin bijaksana, yakni Ratu Adil.
Ia melihat sejarah bukan sebagai garis lurus, melainkan siklus di mana korupsi dan ketidakadilan secara berkala disingkirkan oleh sosok-sosok adil yang muncul di saat genting.
Kembalinya Ratu Adil dianggap sebagai upaya keseimbangan alam yang alamiah dan tak terhindarkan. Pandangan siklik ini memberi harapan bahwa kegelapan di suatu masa akan berakhir dengan janji perbaikan.
Ratu Adil sebagai Lambang Persatuan dan Harmoni
Ratu Adil adalah lambang dari kesatuan harmonis, atau Manunggaling Kawula Gusti, filsafat Jawa tentang kesatuan antara Tuhan dan ciptaan-Nya. Pemimpin ini menyatukan masyarakat dan menghilangkan perpecahan, mewujudkan semangat kesatuan antara manusia, alam, dan kehendak ilahi.
Bagi Ranggawarsita, Ratu Adil membawa harmoni dalam hubungan manusia serta menjaga keseimbangan alam, bertindak sebagai saluran untuk keteraturan ilahi. Artinya, Ratu Adil tidak hanya memberikan keadilan tetapi juga menyembuhkan dan menyeimbangkan seluruh aspek masyarakat, dari spiritual hingga lingkungan.
Ratu Adil sebagai Arketipe Pemimpin Etis
Selain kehadirannya sebagai sosok pemimpin, Ratu Adil adalah arketipe bagi setiap pemimpin yang mewujudkan sifat-sifat ideal seperti kebijaksanaan, kerendahan hati, dan komitmen pada keadilan. Artinya, siapa pun—terlepas dari posisi resminya—dapat mengadopsi kualitas-kualitas Ratu Adil dan berkontribusi pada masyarakat yang adil.
Tulisan Ranggawarsita menekankan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi “miniatur Ratu Adil” dengan membina kebajikan spiritual dalam dirinya dan melayani orang lain tanpa pamrih. Gagasan ini mendorong masyarakat Jawa untuk melihat kepemimpinan sebagai tanggung jawab bersama bagi siapa pun yang berusaha menegakkan kebenaran dan harmoni.