Mohon tunggu...
sinta mayasari puspa
sinta mayasari puspa Mohon Tunggu... -

aku takkan bisa hidup tanpa cinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cintaku yang Membara (Based on True Story)

9 Juli 2011   11:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:48 3904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku hanya bisa berlari melihat pria itu mengejarku. Dia berusaha mencengkeramkan kedua tangannya yang kekar untuk bisa menggapai tubuhku. Aku tidak kuasa lagi melayani nafsu buasnya. Sungguh, pria itu sangat mengerikan. Impianku tentang nikmatnya bercinta sirna, begitu mengetahui tidak adanya kemesraan dan cumbuan yang dilakukannya kepadaku. Aku teringat dengan obrolan kecil dengan beberapa temanku, sebelum ikatan suci itu diikrarkan.

"Sinta, kamu tahu kan, pria-pria Arab itu sangat perkasa lho. Kamu pasti dijamin puas. Jangan sampai kamu habis di ronde pertama. Pasti akan ada ronde kedua, ketiga, keempat," goda sahabatku yang bernama Intan. Lirikan matanya menunjukkan kegenitan yang memang selalu ditunjukkannya saat berbicara masalah cinta.

"Iya lho, Neng Sinta. Kecantikanmu itu tidak akan berarti apa-apa, kalau tidak didukung stamina fisik yang prima. Makanya, jangan lupa minum jamu," timpal Sundari, temanku yang lainnya.

Suara cekikian lalu menjadi bagian dari percakapan kami waktu itu. Kafe yang penuh dengan pengunjung, rupaya tidak mempengaruhi perbincangan kami. Aku pun mulai mengkhayal tentang percintaan yang klimaks, persetubuhan, dan adegan-adegan ranjang yang biasa kami tonton di situs-situs video terlarang.

Berbagai masukan aku dengarkan, termasuk dari kedua orangtuaku yang tinggal di pedalaman Sulawesi Utara. Banyak yang bilang aku memiliki paras yang cantik. Darah Manado yang bercampur dengan Jerman mengalir dalam tubuhku. Orangtuaku adalah sosok orangtua yang moderen, termasuk cara pandangnya tentang seksualitas. Petuah-petuah mereka tentang pernikahan menjadi pegangan dalam menjalani biduk rumah tangga.

"Sinta, kelak jika kamu memiliki suami, jadikan dia sebagai raja. Kamu harus bisa memuaskan segala keinginannya. Kebutuhan biologisnya, jangan sampai kamu telantarkan. Itu sangat penting, karena menyangkut kebahagiaan hidup suami istri," kata ibuku pada suatu saat. Ibuku sudah memasuki usia 40-an lebih. Meski demikian, pancaran kecantikannya tidak hilang. Dia sangat pandai merawat tubuh. Mungkin, itu juga yang menyebabkan ayahku tidak pernah menduakannya, hingga akhir tuanya.

"Kamu contoh ibumu, Sinta. Dia sangat pandai memanjakan Papi. Papi merasa hidup bersama seorang bidadari," ayahku menimpali sambil melirik ke arah ibuku. Lirikan itu seperti penambah hasrat cinta di antara keduanya. Aku, sebagai anak satu-satunya, merasa bangga memiliki mereka. Aku pun berimajinasi tentang suamiku yang kelak bisa membuatku bahagia.Aku bertekad akan membuatnya bahagia, dengan seluruh tubuh yang aku miliki.

Tidak terasa, hari pernikahan yang selalu merasuk dalam imajinasiku telah tiba. Aku dipersunting oleh seorang pria Arab yang berwajah ganteng dan bertubuh atletis. Meski dia muslim, aku berusaha untuk bisa menerima apa adanya. Perbedaan keyakinan ternyata tidak menjadi penghalang bagi kami dan kedua belah pihak keluarga. Aku, gadis yang tumbuh dalam lingkungan penganut Kristen Advent yang taat, ternyata tidak kuasa menolak pernyataan cintanya. Pertemuan kami berdua pun berlangsung dalam sebuah acara nasional yang diselenggarakan Pemerintah Daerah.

Pada saat itu, Khalid, demikian pria yang menjadi teman hidupku, menjadi ketua panitia penyelenggaraan pameran UMKM di Manado, Sulawesi Utara. Sementara aku, adalah duta dari Pemerintah Provinsi yang bertugas memberikan penjelasan dan pemahaman tentang provinsi kami. Seringnya kami bertemu dan berkomunikasi ternyata membuat benih-benih cinta tumbuh. Lambat laun, meski even nasional itu telah berakhir, Khalid masih saja menghubungi dengan intensif. Aku pun tidak kuasa menolaknya, karena jujur aku akui, aku pun menyukainya.

Pernikahan beda agama ini memang masih dianggap tabu di negeri ini. Meski demikian, Khalid berjanji akan memperjuangkannya. Meski tidak diakui negara, pernikahan kami tetap berlangsung meriah. Pagi harinya, keluarga Khalid datang ke Manado dengan menggelar syukuran di salah satu villa mewah, sementara malam harinya, keluarga kami menggelar kebaktian.

Sebenarnya, pernikahan kami bukan tanpa rintangan. Beberapa gunjingan sempat mampir di telingaku, namun Khalid memiliki cara jitu untuk menghilangkannya. Dia sering menciumi daun telingaku yang sebelah kanan, sehingga membuat darahku berdesir. Andai tak ada orang lain saat itu, aku ingin membiarkan ciumannya mendarat di seluruh tubuhku. Ah, Khalid, jurus ciumanmu seakan-akan menambah kuat daya imajinasiku tentang cinta. Sebuah cinta yang terus membara.

Setelah pesta pernikahan usai, aku dan Khalid pun memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan dengan dominasi berwarna pink dan magenta. Beberapa bunga segar dipasang di pojok kamar. Wanginya menyeruak ke seluruh kamar. Aku berpikir, panitia mengerti benar wewangian bunga adalah kesukaanku. Aku merasakan bulu-bulu halus yang ada di pundakku berdiri. Lampu utama yang mengeluarkan sinar kuning temaram membuat suasana peraduan cinta dua anak manusia semakin syahdu. Sebuah percintaan yang diikat dalam ikatan suci bernama pernikahan.

Khalid memandangiku dengan tatapan mesra. Napasnya teratur meski aku tahu, nafsu di dalam tubuhnya laksana bom atom yang siap meledak. Aku pun hanya terdiam, menunggu apa yang akan dilakukannya terhadap diriku. Kedua tangannya kemudian menjamah pundakku. Gaun penganten yang kukenakan tersingkap. Desainer pengantenku memang sengaja membuat sebuah gaun yang terbuka di bagian atasnya. Aku menyukai gayanya yang Eropa.

Khalid menatap nanar tubuhku yang putih. Nafasnya yang tadi teratur mulai tersengal-sengal. Dia mendaratkan bibirnya ke bibirku yang merah. Kami pun larut dalam pergumulan ciuman yang hangat. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain memejamkan mata. Aku menikmati keindahan cinta yang diberikan pria ini.

Tangan Khalid kemudian membuka seluruh gaun yang kukenakan. Aku pun hanya bisa pasrah. Posisi cinta yang kami lakukan adalah berdiri. Aku pun tidak mempermasalahkannya, sepanjang Khalid bisa memberikan kenikmatan dan keindahan yang selalu hadir dalam imajinasiku.

Khalid semakin menunjukkan kejantanan yang sebenarnya. Tubuhku yang putih dan bersih mengundang hasrat laki-lakinya. Permainan cinta kami pun semakin tidak terkendali. Aku pun hanya bisa mengejang, merintih, sesekali mengerang, menahan kenikmatan duniawi yang belum klimaks.

********

Jam di dinding kamar penganten menunjukkan pukul 4 dini hari. Aku sudah kehilangan tenaga akibat pergumulan cinta yang dahsyat. Sudah beberapa kali aku orgasme, tapi Khalid masih meminta. Hingga menjelang Subuh, Khalid masih menggerayangi tubuhku. Sungguh, aku tidak kuat lagi melayani permainan cintanya.

Awalnya, aku bilang aku sudah tidak bisa. Aku sudah orgasme enam kali sejak malam tadi. Tapi, dia seperti tidak mau mengerti. Aku pun memelas agar tidak lagi menyetubuhiku. Aku sudah tidak kuat lagi. Namun, Khalid tidak mau peduli. Dia tetap memelukku erat, gerakan-gerakannya memompa birahi menyakitkanku.

Aku pun menjadi boneka yang tidak lagi memiliki rasa. Tubuhku mati rasa, kenikmatan yang awalnya kurasakan, menjadi kesakitan yang luar biasa.

Hingga pukul lima lebih, Khalid masih memompa dengan kasar. Dia seperti tidak mengerti dengan kesakitan yang kurasakan. Aku pun berontak. Cengkeraman kedua tangannya yang kuat, bisa kulepas dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki.

Aku pun berlari keluar kamar. Dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, aku berlari di tengah gelap gulitanya villa pernikahan yang disediakan untuk malam pertama kami. Khalid tidak terima dengan tindakanku ini, dia pun mengejarku. Aku tidak peduli dengannya lagi, sungguh malam pertamaku berubah menjadi mimpi buruk. Cintaku yang membara telah padam, karena stamina yang kumiliki sudah terkuras habis. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun