Universitas Pendidikan Indonesia, kita akan diperkenalkan dengan sebuah tempat yang dari hilir mudiknya lalu lintas akan tertuju ke sana, yakni Terminal Ledeng, salah satu titik kemacetan yang ada di kota Bandung!
Berkunjung ke Kota Bandung, tak jauh dari kampusSebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang hendak dan telah bepergian, terminal Ledeng seakan menjadi salah satu citra lokasi sentral yang terdapat di kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat. Di lokasi yang senantiasa dijajaki oleh banyak orang ini, terkadang terminal Ledeng sering disebut-sebut sebagai salah satu lokasi yang kumuh.Â
Di samping itu, tak banyak pula yang mengetahui, bahwa Ledeng sebenarnya memiliki sejumlah kebudayaan dan peninggalan budaya yang masih dijaga keberadaannya hingga saat ini.Â
Kebudayaan dan peninggalan budaya yang masih terjaga tersebut dikelola dan dilestarikan oleh orang-orang yang sangat peduli dengan lingkungannya.Â
Oleh karena itu, tim KKN-T 32 melakukan pendataan kebudayaan dan peninggalan budaya yang ada di sekitar Kelurahan Ledeng sebagai upaya penggalian potensi, sosialisasi, dan propaganda budaya kepada khalayak ramai melalui kerjasama dengan pihak kelurahan serta publikasi secara online guna menyuarakan pentingnya menjaga lingkungan.
Sejalan dengan tema KKN-T Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2022, yaitu Kuliah, Kerja, Nyata Tematik Pemberdayaan Masyarakat Berbasis SDG’s Desa dan MBKM,  tim KKN-T 32 diposisikan di Kelurahan Ledeng, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung, dengan mengangkat tema Desa Tanggap Budaya.Â
Tim KKN- T 32 menjadikan Projek Penggalian Potensi Budaya sebagai salah satu prokernya. Adapun beberapa objek yang diajak untuk bekerja sama diantaranya Komunitas Cinta Alam Indonesia (CAI), kelompok kesenian Bingbrung, dan Gedong Cai Tjibadak. Adapun dalam artikel ini akan lebih difokuskan pada bagian Gedong Cai Tjibadak sebagai salah satu sumber pengairan terbesar di Kota Bandung.
 Tak jauh dari Terminal Ledeng, kita akan disuguhkan dengan gemuruhnya suara air yang mengalir melalui saluran pipa-pipa besar atau waterleiding yang diduga menjadi cikal bakal pemberian nama Ledeng sendiri. Pusat mengalirnya air pada pipa-pipa itu berasal dari mata air yang dikenal dengan mata air Cibadak. Tjibadak-1921. Begitulah yang tertulis di dinding sebuah bangunan tua berusia satu abad yang menjadi salah satu pusat mengalirnya sumber mata air di Kota Bandung.
Dibangun di bawah arahan Ir. Heetjans pada masa kepemimpinan Wali Kota Bertus Coop di tahun 1921, Gedong Cai Tjibadak memiliki tujuan untuk menampung air dari sumber mata air Cibadak dan sekitarnya. Kala itu terjadi masalah serius terkait krisis pasokan air bersih di Kota Bandung.Â
Penambahan populasi penduduk dan pola pembangunan perumahan yang semakin berkembang menjadi salah satu pemicu utamanya. Dampaknya sebuah wabah yang menyerang kulit menjamuri Kota Bandung dan sekitarnya. Wabah ini dikenal dengan wabah Kolera. Krisis air bersih tersebutpun, pada akhirnya menginisiasi pemeritah Hindia-Belanda untuk mencari sumber-sumber mata air.
Sumber mata air Cibadak yang menjadi titik pembangunan Gedong Cai Tjibadak adalah sumber mata air terbersar kala itu di samping sumber mata air lainnya yang berhasil ditemukan. Dibangun di awal abad ke-19 M, debit air yang dihasilkan oleh sumber mata air Cibadak mencapai sekitar 50 liter perdetik sehingga mampu memenuhi surplus air sekitar 80%.Â
Ditemukan dan dibangunnya sumber mata air Cibadak mampu mengatasi wabah kolera dan memenuhi kebutuhan masyarakat atas pasokan air bersih. Pada tahun yang sama Gedong Cai Tjibadak akhirnya diresmikan, tepatnya di hari Rabu, 30 Desember 1921, yang dihadiri pula oleh Bupati Kota Bandung yaitu Raden Wiranata Kusuma V serta para pejabat lainya.
Memiliki peranan yang sangat penting hingga saat ini, Gedong Cai Tjibadak telah dideklarasikan sebagai salah satu warisan cagar budaya pada tahun 2018 di masa pemerintahan Wali Kota Bandung, Yana Mulayana.Â
Dalam hal ini, Nugi Herdian, salah satu pegiat di Komunitas CAI berharap bahwa Gedong Cai Tjibadak tak hanya menjadi sebuah tontonan saja, melaikan mampu menjadi tuntunan bagi masyarakat.Â
Walau bagaimanapun sumber mata air yang mengairi setiap kebutuhan akan air masyarakat bersumber dari sana. Lebih jauh, Nugi juga mengungkapkan adanya penurunan debit air di Cibadak yang mencapai sekitar 19 liter perdetik.Â
Hal ini dilatar belakangi oleh alih pungsi lahan dan menurunnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengaja stabilitas alam. Oleh karena itu, beliau menambahakan bahwa kini perilaku manusia harus benar-benar dikoreksi dalam hal mengaja lingkungan sekitar terutama dalam pemeliharaan Gedong Cai Tjibadak.
Gedong Cai Tjibadak sendiri memiliki potensi wisata yang menjanjikan, baik bagi pengembangan perekonomian, kualitas hidup, dan pengembangan pendidikan karakter. Sehingga pada akhirnya peran serta pemangku kebijakan dan masyarakat sangat dibutuhkan.Â
Masyarakat harus sadar dan peka dengan potensi yang ada, dalam rangka melestarikan budaya (tempat) dan menuntun wisatawan agar peduli terhadap lingkungan.Â
Menurut Nugi Herdian, pendidikan karakter seyogyanya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan.Â
Hal ini sejalan dengan konsep kearifan lokal yang dikembangkan oleh para leluhur kita. Baik dari sisi tatanan sosial, pemerintahan, dan perekonomian semua semestinya mengarah pada tertatanya kesetabilan lingkungan, ekonomi, serta segala penyokong kebutuhan pangan.Â
Seperti pitutur Sunda buhun yang mengatakan gawir awian, daratan sawahan, gunung kaian, merupakan salah satu konsep yang diterapkan oleh leluhur kita sehingga bagaimana konsep-konsep ini dampaknya dapat dinikmati oleh kita sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H