Mohon tunggu...
Sinta Aprilia P
Sinta Aprilia P Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Halo, saya Sinta Aprilia P, seorang mahasiswi yang suka mencoba hal baru dan penuh semangat. Saat tidak sibuk dengan tugas kuliah, saya mengeksplorasi hobi saya di bidang literasi. Saat ini saya berusaha konsisten dalam membaca buku dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

PPN 12 Persen dalam Sorotan Syariah: Beban atau Solusi?

19 Januari 2025   17:04 Diperbarui: 19 Januari 2025   17:10 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PPN 12% dalam Sorotan Syariah: Beban atau Solusi?

 

            Kebijakan fiskal merupakan salah satu pilar utama dalam keberlanjutan ekonomi suatu negara. Di Indonesia, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu instrumen utama yang digunakan pemerintah untuk mengumpulkan pendapatan negara. Seiring berjalannya waktu, tarif PPN yang semula sebesar 11% kini dinaikkan menjadi 12%. Kebijakan ini didasarkan pada kebutuhan untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah tantangan ekonomi global. Namun, dari perspektif keuangan publik Islam, kebijakan ini menuai sejumlah kritik. Sistem ekonomi Islam mengutamakan keadilan, kesejahteraan umum (maslahah), dan penggunaan sumber pendanaan berbasis syariah seperti zakat dan wakaf. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi sejauh mana kebijakan PPN 12% sejalan dengan prinsip-prinsip ini.

            PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan secara merata pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti baik individu berpenghasilan rendah maupun tinggi akan dikenakan tarif yang sama. Secara konseptual, PPN bersifat regresif, karena masyarakat dengan pendapatan rendah harus mengeluarkan proporsi yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk membayar pajak ini dibandingkan dengan masyarakat kaya. Dalam perspektif Islam, hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan, yang menjadi landasan utama sistem ekonomi syariah.

Islam mendorong penerapan sistem pajak yang bersifat progresif, di mana masyarakat yang memiliki kemampuan finansial lebih besar diwajibkan untuk memberikan kontribusi lebih tinggi. Pajak dalam Islam bukan hanya alat pengumpulan pendapatan negara, tetapi juga instrumen untuk redistribusi kekayaan yang bertujuan mengurangi kesenjangan sosial. Peningkatan tarif PPN menjadi 12% tanpa mempertimbangkan dampaknya pada kelompok masyarakat rentan dapat memperburuk ketimpangan ekonomi.

            Sistem ekonomi Islam menawarkan berbagai alternatif pendanaan publik yang dapat menggantikan ketergantungan pada pajak konsumsi seperti PPN. Zakat, misalnya, adalah salah satu instrumen utama yang diperintahkan dalam Al-Qur'an dan memiliki fungsi ganda sebagai sumber pendanaan negara dan alat redistribusi kekayaan. Potensi zakat di Indonesia sangat besar. Data dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) menunjukkan bahwa potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun. Namun, realisasi pengumpulan zakat masih jauh dari angka tersebut.

            Selain zakat, wakaf juga dapat menjadi solusi jangka panjang untuk pembiayaan kebutuhan publik. Wakaf produktif, seperti pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur umum, dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah dapat berperan aktif dalam mendorong pemanfaatan instrumen-instrumen syariah tersebut sehingga tidak perlu membebankan masyarakat dengan pajak tambahan seperti PPN 12%.

            Maqashid syariah, atau tujuan-tujuan syariah, adalah prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam yang bertujuan untuk melindungi lima hal fundamental: agama (hifz ad-din), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), dan harta (hifz al-mal). Dalam konteks kebijakan PPN 12%, evaluasi harus dilakukan untuk memastikan kebijakan ini tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan tersebut.

            Salah satu aspek yang paling relevan adalah perlindungan harta (hifz al-mal). Peningkatan PPN menjadi 12% berpotensi mengurangi daya beli masyarakat, terutama bagi golongan menengah ke bawah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat meningkatkan beban hidup dan menghambat tercapainya kesejahteraan umum (maslahah). Kebijakan fiskal dalam Islam seharusnya berorientasi pada keberlanjutan ekonomi yang inklusif dan tidak memberatkan masyarakat lemah.

Selain itu, PPN yang tinggi dapat mendorong praktik ekonomi informal, di mana pelaku usaha kecil dan mikro berusaha menghindari pajak dengan tidak melaporkan pendapatan mereka secara resmi. Hal ini tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan ketidakadilan bagi pelaku usaha yang patuh terhadap peraturan.

            Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa peningkatan tarif PPN menjadi 12% diperlukan untuk mendukung pembangunan nasional, terutama di tengah tantangan ekonomi global seperti defisit anggaran dan penurunan pendapatan negara. PPN dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan yang stabil dan dapat diandalkan. Namun, dalam konteks Islam, keberlanjutan pembangunan harus sejalan dengan prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial.

            Pemerintah perlu memastikan bahwa pendapatan dari PPN digunakan secara transparan dan tepat sasaran untuk program-program yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas. Misalnya, alokasi anggaran untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun, jika peningkatan tarif PPN tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat menurun.

            Dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini, pemerintah dapat mengadopsi pendekatan yang lebih sejalan dengan prinsip syariah. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan. Pertama, Optimalisasi Pengelolaan Zakat dan Wakaf: Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan infrastruktur untuk pengelolaan zakat dan wakaf. Kolaborasi dengan lembaga-lembaga amil zakat dan organisasi masyarakat dapat meningkatkan partisipasi publik dalam mendukung pendanaan negara. Kedua, Penerapan Pajak yang Lebih Progresi: Daripada mengandalkan pajak konsumsi seperti PPN, pemerintah dapat mengeksplorasi pajak berbasis kekayaan yang lebih adil. Misalnya, pajak atas properti atau aset yang dimiliki oleh golongan kaya. Ketiga, Pendidikan dan Literasi Ekonomi Islam: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang konsep keuangan publik Islam dapat mendorong partisipasi aktif dalam mendukung sistem ekonomi syariah.

Kebijakan PPN 12% menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Dari perspektif keuangan publik Islam, kebijakan ini dianggap kurang sejalan dengan prinsip keadilan, kesejahteraan umum, dan maqashid syariah. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan sistem ekonomi yang lebih Islami dengan memanfaatkan instrumen seperti zakat dan wakaf. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif kebijakan yang tidak hanya mengedepankan peningkatan pendapatan negara, tetapi juga memastikan tercapainya kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.

            Di samping itu, penerapan PPN 12% juga perlu dikaji ulang dalam konteks dampaknya terhadap daya saing ekonomi. Tarif pajak yang terlalu tinggi dapat memengaruhi harga barang dan jasa, sehingga daya beli masyarakat menurun. Dalam skala internasional, kebijakan ini juga dapat membuat Indonesia kurang kompetitif dibandingkan negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah. Perspektif ini penting dipertimbangkan agar kebijakan fiskal tidak hanya berfokus pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga mendorong stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

            Sebagai langkah strategis, pemerintah perlu melibatkan para ulama, ekonom Islam, dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan yang lebih seimbang. Kolaborasi ini diharapkan dapat menghasilkan solusi fiskal yang adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip syariah. Dengan begitu, sistem keuangan publik tidak hanya berfungsi sebagai alat pendanaan negara, tetapi juga menjadi instrumen untuk memperkuat keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta memastikan keberlanjutan ekonomi yang merata dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang bagi seluruh rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun