"Putri ikut," rengek Putri.
"Besok, sepulang sekolah Bapak ajak jenguk ibu."
Dengan sedikit rayuan bapak, ibu dan Mak Jah, Putri bisa diluluhkan. Maka berangkatlah orangtua Putri ke rumah sakit dengan ojek Mas Bimo yang mangkal di ujung gang. Putri mengantar kepergian mereka dengan isak tangis.
"Putri kan sudah besar, seharusnya mendoakan ibu biar cepat sembuh, jangan nangis seperti itu," ucap Mak Jah setelah bayangan bapak ibu Putri menghilang.
Lalu, berkelebatlah wajah pucat ibu, wajah lelah bapak, sepeda baru, tas sekolah baru...
***
Siang itu Mak Jah datang ke sekolah dan mengajak Putri untuk pulang lebih awal. Ah, pasti Mak Jah akan mengajak Putri menjenguk ibu di rumah sakit, tapi kenapa bukan bapak, ya, batinnya. Di sepanjang perjalanan, Putri terus saja bercerita tentang sekolahnya hari ini.
"Jangan-jangan bu guru tau kalau hari ini Putri ultah sehingga memberi izin pulang awal, ya, Mak. Hmmm, Putri pingin sepeda baru." Mak jah hanya mengangguk. "Atau tas sekolah baru!" Mak Jah mengangguk lagi. Tanpa sadar mereka telah sampai di depan rumah Putri.
"Bukannya ke rumah sakit?" Tanya Putri keheranan. Banyak sekali tamu yang hadir di rumah itu. Ditatapnya wajah Mah Jah yang sendu. Lalu dia mengikuti langkah Mak Jah ke dalam rumah. Aura kesedihan menyeruak. Tiap wajah yang dia temui menatapnya dengan iba. Alunan surat Yaasiin menggema di rumah itu.
Di tengah kerumunan tetangga, nampak sebujur tubuh tertutup kain jarit yang hanya menyisakan bagian wajah saja yang terbuka. Wajah bapaknya, ya... Wajah bapak Putrilah yang terbujur di tengah ruangan.
Entahlah, dari mana sumbernya ketika airmata Putri mengalir tanpa henti. Dipeluknya sang bapak. Mulutnya menceracau.