Sejak 1 Januari 2020 iuran BPJS Kesehatan dipastikan akan naik sebagai solusi menstabilkan neraca keuangan. Kenaikan iuran memang langkah cepat agar defisit dapat teratasi. Namun, tidak menutup kemungkinan kenaikan iuran BPJS justru memicu peserta menunggak iuran.
Ketika iuran seharga kopi kekinian atau minuman boba saja masih banyak yang menunggak, bagaimana jika iuran dinaikkan? Dengan kata lain, kenaikan iuran BJPS Kesehatan bukan solusi satu-satunya untuk mengobati defisit. Dari sisi manajemen dan internal BPJS Kesehatan juga mesti berbenah.
Mengantisipasi peserta yang keberatan membayar iuran, pihak BPJS Kesehatan sendiri mempersilakan peserta untuk mengajukan turun kelas. Bagi peserta yang menunggak iuran rencananya bakal mendapatkan sanksi berupa tidak bisa mengurus SIM, paspor dan layanan administratif lain. Sanksi tersebut menuai pro kontra sehingga masih perlu dikaji kembali.
Alternatif Metode Pembayaran Iuran
Menyoroti kenaikan iuran BJPS Kesehatan tersebut, saya mencoba mengambil perspektif lain. Ada yang luput dari BPJS Kesehatan berkaitan dengan metode pembayaran. Memang secara teknis pembayaran bisa dilakukan melalui ATM, Alfamart, Indomaret, Ovo dan sebagainya. Namun bukan itu maksudnya.
Saya lebih ingin mengupayakan bagaimana peserta mampu membayar atau setidaknya meringankan iuran bulanan tanpa mengeluarkan uang. Di sini saya menawarkan tiga alternatif metode pembayaran selain menggunakan uang. Berikut uraiannya:
Pertama, bayar menggunakan sampah. Bukankah Indonesia menjadi salah satu penyumbang sampah terbesar di dunia? Jangan salah, ini potensi luar biasa karena bisa bernilai rupiah andai setiap orang mau memilah sampah. Daripada sampah dibuang sembarang yang justru bikin masalah (banjir, mencemari laut dan sebagainya) lebih baik disetorkan sebagai iuran BPJS Kesehatan.
Pembayaran menggunakan sampah ini dapat ditawarkan di daerah-daerah seperti perkampungan yang cenderung punya sampah melimpah. BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan bank sampah setempat untuk mendata tabungan sampah sebagai iuran bulanan.
Meskipun hasil tabungan sampah belum tentu menutupi iuran BPJS, namun opsi pembayaran menggunakan sampah ini setidaknya punya dua manfaat: meningkat kesadaran lingkungan dan meringankan tanggungan iuran.
 Kedua, bayar dengan menjadi pasukan ASIK (Anti Skip Iklan). Pada saat sebagian orang benci iklan, justru pasukan ASIK datang membawa keuntungan. Pasukan ASIK adalah orang yang berkomitmen menonton video tanpa skip (melewati) pada bagian iklan.
Dampak dari pasukan ini membuat penghasilan Youtuber naik berkali lipat. Sejalan dengan itu, konsep pasukan ASIK ini dapat diadopsi oleh peserta BPJS Kesehatan agar mereka mampu menghasilkan uang sendiri.
Konsepnya, BPJS Kesehatan menyediakan sebuah situs video (semacam Youtube) yang didalamnya telah diselipkan iklan dari perusahaan yang berminat memasang iklan. Penghasilan diperoleh dari perusahaan pemasang iklan sebagai imbalan karena iklannya bisa tayang dan ditonton orang.
Ketika peserta BPJS terdeteksi menonton tanpa melewatkan iklan, maka dihitung sebagai pendapatan dan menjadi saldo tabungan untuk membayar iuran. Nonton iklan malah dibayar, mudah sekali bukan?
Ketiga, bayar dengan menjadi influencer. Sebuah profesi yang sedang naik daun dan dibutuhkan banyak perusahaan adalah influencer. BPJS Kesehatan dapat berperan sebagai agensi yang mewadahi para peserta BPJS yang ingin mengajukan atau sudah menjadi influencer.
Pendapatan influencer dibawah naungan BPJS itu akan dialokasikan khusus untuk membayar iuran BPJS Kesehatan. Metode pembayaran ini cocok untuk generasi milenial hari ini.
Itulah tiga metode membayar BPJS Kesehatan yang dapat ditawarkan kepada peserta selain menggunakan uang. Memberikan alternatif metode pembayaran memberikan harapan baru bagi peserta yang tengah kesulitan membayar iuran. Setidaknya meningkatkan peluang masyarakat untuk membayar iuran alih-alih menunggak.
Prospek BPJS Kesehatan Syariah
Selain menawarkan alternatif metode pembayaran, konsep BPJS Kesehatan syariah patut dipertimbangkan. Rencana membentuk BPJS Kesehatan syariah sebenarnya sudah ada sejak lama.
Ijtima Ulama MUI 2015 menyebut jika BPJS Kesehatan tidak sesuai syariat Islam karena mengandung unsur riba, ghoror dan maisir. Solusinya, perlu membentuk BPJS Kesehatan syariah disamping BPJS Kesehatan konvensional (sekarang).
Usulan yang berhembus empat tahun lalu itu memang belum terlaksana. Namun, pada periode kepemimpinan presiden Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin, saya melihat secercah harapan terutama pada KH Ma'ruf Amin yang sebelumnya menjabat sebagai ketua MUI dan akan menjadi Wakil Presiden RI. Pasalnya, sosok KH Ma'ruf Amin adalah satu satu yang lantang menyuarakan BPJS Kesehatan syariah.
Di tengah BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit anggaran, BPJS Kesehatan syariah membawa peluang yang bisa dimaksimalkan. Persoalan defisit yang salah satunya disebabkan oleh iuran yang menunggak mungkin saja terjadi karena akar permasalahan ada pada ketidakjelasan akad.
Ada peserta BPJS Kesehatan yang menganggap iuran bulanan sebagai tabungan sehingga masih mempertimbangkan untung dan rugi. Baginya adalah rugi jika rajin membayar BPJS Kesehatan tapi tidak mendapat imbalan atau klaim. Maka tidak heran jika pada akhirnya menunggak iuran BPJS Kesehatan.
Jika berdasar prinsip syariat Islam, maka ada beberapa akad yang dipilih. Misalnya akad tabarru', memberikan sejumlah dana yang disepakati dengan tujuan tolong-menolong diantara para peserta dan tidak untuk memperoleh keuntungan (komersial).
Selain akad, aspek syariah juga terletak pada instrumen investasi yang mesti disesuaikan dengan prinsip syariah. Prinsip syariah harus dipenuhi dan menjadi ranah DSN-MUI agar tak menimbulkan polemik dikemudian hari.
Dalam melakukan sosialisasi BPJS Kesehatan syariah nantinya dapat melibatkan tokoh keagamaan sekaligus upaya meningkatkan kesadaran dalam membayar iuran. Tokoh-tokoh agama dapat menjadikan topik BPJS Kesehatan syariah sebagai topik ceramah. Sehingga topik-topik ceramah pun makin beragam.
Pada praktik BPJS Kesehatan syariah sangat mungkin untuk bermitra dengan masjid. Masjid merupakan tempat strategis karena menjadi titik kumpul umat Muslim.
Masjid melalui takmir masjid dapat melayani pembayaran dan sosialisasi untuk memperluas akses BPJS Kesehatan syariah. Ini juga bagian dari strategi untuk menyasar sebagian kelompok Islam yang selama ini mungkin alergi dengan BPJS Kesehatan.
Menyoal syariah (syariat Islam) ini sebenarnya bukan hanya untuk umat Islam tetapi bisa untuk seluruh warga Indonesia. Ini sudah terbukti dengan kehadiran bank syariah, misalnya, yang ternyata juga diminati kalangan non-Muslim. Artinya, prinsip syariah ini mengakomodir dan dapat diterima oleh semua kalangan. Tidak khusus umat Islam saja.
Kehadiran BPJS Kesehatan syariah juga bukan berarti menghapus BPJS Kesehatan konvensional yang sekarang telah ada. Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih. Bagi yang sekarang sudah mengikuti BPJS Kesehatan konvensional memungkinkan untuk berpindah ke BPJS Kesehatan syariah atau memilih tetap bertahan.
Baik memberikan alternatif metode pembayaran dan memunculkan praktik BPJS Kesehatan syariah adalah usaha untuk mengupayakan jaminan kesehatan yang berkeadilan. Pada dasarnya jaminan kesehatan itu adalah kebutuhan mendasar bagi setiap orang.
Masing-masing individu perlu sadar diri dengan menunaikan kewajiban (iuran). Di sisi lain, BPJS Kesehatan sebagai pengelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) perlu segera berbenah jika tak ingin senja kala itu tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H