Mohon tunggu...
URATTA GINTING
URATTA GINTING Mohon Tunggu... Advokat -

HAK TAK MUNGKIN DIPEROLEH TANPA PERJUANGAN

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Korupsi dan Efek Jera (?)

29 Desember 2018   10:11 Diperbarui: 29 Desember 2018   10:25 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalannya menjadi pelik jika seluruh rakyat Indonesia belum komit  untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, maka korupsi dikhawatirkan akan selalu terjadi dan OTT bukan lagi berita mengejutkan. OTT dapat saja terjadi tiap hari. Faktanya seperti sering kita saksikan hampir semua pelaku korupsi tersebut saat digiring penegak hukum masih mampu senyum tanpa suatu beban dan rasa malu, seakan apa yang akan terjadi di depan pun mereka sudah paham betul. Begitu usai menjalani hukuman masih terbentang luas kesempatan, bahwa mantan napi koruptor tidak ada larangan mencalonkan diri kembali menjadi pejabat.

Apakah boleh atau tidak mantan napi mencalonkan kembali menjadi pejabat, terlepas dari semua itu, mayoritas warga masih menganggap korupsi sebagai perbuatan kumuh dan masih ada sisa-sisa keyakinan masyarakat akan lebih bahagia, tenteram dan lebih tenang hidup di negeri yang bersih tanpa korupsi.

Untuk mengubah pola pikir masyarakat tidak ada pilihan lain harus diciptakan sanksi hukum yang benar-benar membuat efek jera termasuk keluarga koruptor.  Di China (RRT) mengalami kemajuan pesat oleh karena di negeri itu benar-benar tertanam kuat sebagai anti korupsi. Jika kejahatan korupsi terbukti pelakunya dijatuhi hukuman mati dengan cara ditembak. Sedang pelor secukupnya wajib disediakan oleh keluarga (istri/suami dan anak-anak). Tentunya dengan cara-cara yang ekstrim seperti ini tidak tepat diterapkan terhadap semua kasus korupsi sepanjang masih dikenal apa yang sering diplesetkan "tebang pilih." 

Penegakan hukum jika disandingkan dengan HAM, maka di negeri yang religius ini selalu toleran dengan hukuman bagi koruptor dan tidak mungkin pula dijatuhi hukuman mati karena bagimana pun juga, seorang pejabat pernah mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara. Apalagi kesalahan seorang terdakwa hanya berdasarkan bukti dokumen/surat diteken tanpa memiliki niat jahat dan tidak pernah  menerima aliran dana yang dianggap sebagai kerugian keuangan negara.

Perlu kembali kita apresiasi, kiprah KPK melalui OTT tanpa pandang bulu menggaruk siapa saja, apakah kader pendukung pemerintah atau tidak sama saja. Menurut hemat penulis agar KPK lebih bersinergi dalam memberantas korupsi lebih maksimal lagi, hendaknya nilai (dana) penghargaan dalam PP No. 43 Tahun 2018 tersebut hendaknya perlu dialihkan seluruhnya kepada anti rasuah tersebut.

Masalah niat begitu juga aliran dana kadang tidak terlalu ambil pusing saat penerapan hukum terkait korupsi gaungnya kadang terlalu besar, sehingga terhadap suatu pasal ketentuan tampaknya sering  ditafsirkan secara kaku. Apakah melalui celah seperti ini muncul istilah "tebang pilih?" Karena menurut Pasal 2 dan 3 UU Tipikor siapa saja bisa terjerat korupsi. Pada hal keterlibatannya hanya terkait menandatangani dokumen  tanpa menerima aliran dana dari korupsi, tentunya tidak wajar pula dijatuhi hukuman mati.

Perilaku koruptif dalam pasal 2 UU Tipikor, intinya siapa saja dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Sedang bunyi pasal 3 UU Tipikor Intinya,  bahwa siapa saja dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Tegasnya, perilaku koruptif ini adalah perbuatan memperkaya atau menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi.                     

Pemberantasan korupsi melalui pendekatan hukuman ternyata tidak menunjukkan efek jera atau takut, apalagi malu. Cara lain perlu dikaji lebih dalam agar kurikulum sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi dapat digunakan sebagai alat strategis menanamkan budaya anti korupsi sejak dini. Karena bagaimana pun juga kita butuh langkah bersama memberantas korupsi meskipun pahit harus dilawan dan korupsi harus tetap berada diposisi yang kalah.

Penulis adalah Uratta Ginting, SH. Advokat, Direktur Oganisasi Bantuan Hukum Yesaya 56 Langkat, tinggal di Medan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun