Mohon tunggu...
URATTA GINTING
URATTA GINTING Mohon Tunggu... Advokat -

HAK TAK MUNGKIN DIPEROLEH TANPA PERJUANGAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Harga Sebuah Kepastian Hukum

4 Agustus 2017   08:54 Diperbarui: 4 Agustus 2017   08:57 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sesuai dengan nafas TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 hingga sekarang masih berlaku sebagai rujukan utama dalam memecahkan setiap masalah hukum tanpa ada yang dikecualikan.

Harapan para pencari keadilan, kepastian hukum seharusnya menjadi tujuan utama manakala tidak ada pilihan lain, harus berurusan dengan hukum melalui sidang pengadilan.

Contoh sederhananya yang sudah umum terjadi menyangkut hutang-piutang. Apabila pilihan penyelesaiannya ditempuh secara musyawarah ternyata sudah buntu, tidak ada penyelesaian yang berarti, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah melalui prosedur hukum guna mendapatkan putusan pengadilan untuk selanjutnya barang milik siberhutang dapat dieksekusi untuk dijual lelang dan hasilnya dikompensasi dengan jumlah hutang.

Namun, liku-liku proses eksekusi yang harus ditempuh oleh pencari keadilan tidak begitu mudah dilakukan karena kendalanya di lapangan cukup banyak, sehingga pelaksanaan eksekusi acapkali ditunda karena beragam alasan.

Menunggu Kepastian Hukum

Perjalanan kasus (terutama perkara perdata) mulai dari pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, banding di Pengadilan Tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Katakanlah pihak yang dinyatakan menang dari awal dipegang oleh penggugat. Namun, kebenaran itu masih berada di atas kertas dan Keadilan ternyata belum sempurna berada di pangkuan penggugat. Pasalnya masih menunggu kepastian hukum berikutnya.

Maksudnya, andaikata pihak yang tetap kalah tidak dapat menerima putusan, melalui upaya hukum yang ada masih ada kesempatan melalukan "Perlawanan" terhadap eksekusi yang tengah dimohonkan oleh Pemohon Eksekusi (Penggugat), dengan demikian eksekusi dapat dihadang sementara menunggu putusan perkara perlawanan hingga Mahkamah Agung. Bisa jadi, putusan akhir Perlawanan malah dikabulkan, sehingga kebenaran yang semula berpihak kepada Penggugat ternyata semua buyar.

Upaya hukum luar biasa melalui "Peninjauan Kembali" (PK) juga dapat ditempuh pencari keadilan berdasarkan adanya temuan bukti baru (novum). Pada tahap ini tidak menghalangi adanya eksekusi, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985, menyebutkan, "Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan" (pasal 66 ayat 2).

Namun, dalam prakteknya? Harapan pencari keadilan semakin jauh karena pada tahap peninjauan kembali sudah umum terjadi eksekusi juga sangat berpengaruh molor, ditunda dengan alasan ada PK, dll.

Masyarakat yang tidak paham banyak soal seluk-beluk hukum kadang gampang panik tidak lebih dinggap hanya sebagai sandiwara, karena merasa tidak punya pegangan lagi dalam mencari keadilan di negara yang disebut negara hukum.

Eksekusi pengosongan/penyerahan tanah kepada pemiliknya yang sah, tertunda beberapa waktu lamanya karena pemohon eksekusi belum siap memenuhi syarat-syarat permohonan. Satu tahun berselang ternyata tanah objek perkara yang hendak dieksekusi dari tangan tergugat (lalu terdakwa dalam perkara tipikor) disita oleh kejaksaan (dirampas untuk negara) karena disenyalir uang pembelian tanah objek perkara berasal dari aliran dana korupsi.

Pertanyaannya, dimanakah letak kepastian hukum perkara semula yang sudah diputus telah berkekuatan inkracht dan penetapan eksekusi pengadilan telah pula diterbitkan ternyata dapat dikalahkan oleh putusan pidana korupsi. Tampaknya hak warga negara perorangan jelas tidak mendapat perlindungan yang layak. Jalan satu-satunya pemohon eksekusi terdahulu harus membuat perkara baru lagi. Sehingga jadilah berperkara seumur hidup, kadang harus diteruskan oleh ahliwarisnya karena perjuangan belum usai.

Sebagai awam hukum tentu sulit diterima akal. Perkara terdahulu pemiliknya yang sah menang dalam perkara dan telah diserahkan melalui eksekusi. Kemudian perkara baru muncul lagi diatas tanah objek perkara yang persis sama. Namun, dalam perkara yang muncul belakangan dimenangkan oleh penggugat dan setelah berkekuatan tetap, eksekusi pun dimohonkan. Sementara dalam putusan kedua sama sekali tidak ada dimintakan batal putusan terdahulu. Persoalannya, apakah putusan terdahulu tidak sah?

Bergantian

Di atas tanah objek perkara yang sama sering terjadi perkara secara berulang-ulang. Pihak yang memenangkan perkara juga bergantian antara penggugat dan tergugat. Terakhir pengadilan memutuskan sebagai pemilik yang sah atas tanah objek perkara adalah pihak pembeli (tergugat) yang beritikad baik.

Kemudian pada saat hendak dieksekusi ternyata dinyatakan eksekusi tidak dapat dilaksanakan hanya gara-gara dalam petitum tidak tercantum pengosongan/ penyerahan tanah.

Menurut hemat penulis posisi pembeli sebagai tergugat masih dalam tahap kewajaran: mengapa dalam petitum tidak tercantum pengosongan? Karena dari awal tanah sudah diusahai (dikuasai) sejak tanah itu dibeli. Namun, penjual (pemilik pertama) sebagai penggugat malah merebut kembali pada saat putusan tingkat pertama Pengadilan Negeri memenangkan perkara. Agar tetap dapat dieksekusi harus buat lagi perkara baru dengan putusan serta merta mengingat sudah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Kembali berbicara soal kepastian hukum yang sangat berkaitan erat dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ternyata apabila tidak ada standard dalam penegakan hukum, benar-benar akan memakan waktu, tenaga, pikiran dan menyita biaya yang cukup mahal.

Akhirnya, para pencari keadilan harus pula menyadari, ternyata kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan Maha Pencipta. Kita makhlukNya hanya diberikan kebenaran nisbi, yang setiap saat dapat berubah.

Penulis adalah Advokat, tinggal di Medan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun