Pertanyaannya, dimanakah letak kepastian hukum perkara semula yang sudah diputus telah berkekuatan inkracht dan penetapan eksekusi pengadilan telah pula diterbitkan ternyata dapat dikalahkan oleh putusan pidana korupsi. Tampaknya hak warga negara perorangan jelas tidak mendapat perlindungan yang layak. Jalan satu-satunya pemohon eksekusi terdahulu harus membuat perkara baru lagi. Sehingga jadilah berperkara seumur hidup, kadang harus diteruskan oleh ahliwarisnya karena perjuangan belum usai.
Sebagai awam hukum tentu sulit diterima akal. Perkara terdahulu pemiliknya yang sah menang dalam perkara dan telah diserahkan melalui eksekusi. Kemudian perkara baru muncul lagi diatas tanah objek perkara yang persis sama. Namun, dalam perkara yang muncul belakangan dimenangkan oleh penggugat dan setelah berkekuatan tetap, eksekusi pun dimohonkan. Sementara dalam putusan kedua sama sekali tidak ada dimintakan batal putusan terdahulu. Persoalannya, apakah putusan terdahulu tidak sah?
Bergantian
Di atas tanah objek perkara yang sama sering terjadi perkara secara berulang-ulang. Pihak yang memenangkan perkara juga bergantian antara penggugat dan tergugat. Terakhir pengadilan memutuskan sebagai pemilik yang sah atas tanah objek perkara adalah pihak pembeli (tergugat) yang beritikad baik.
Kemudian pada saat hendak dieksekusi ternyata dinyatakan eksekusi tidak dapat dilaksanakan hanya gara-gara dalam petitum tidak tercantum pengosongan/ penyerahan tanah.
Menurut hemat penulis posisi pembeli sebagai tergugat masih dalam tahap kewajaran: mengapa dalam petitum tidak tercantum pengosongan? Karena dari awal tanah sudah diusahai (dikuasai) sejak tanah itu dibeli. Namun, penjual (pemilik pertama) sebagai penggugat malah merebut kembali pada saat putusan tingkat pertama Pengadilan Negeri memenangkan perkara. Agar tetap dapat dieksekusi harus buat lagi perkara baru dengan putusan serta merta mengingat sudah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kembali berbicara soal kepastian hukum yang sangat berkaitan erat dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan ternyata apabila tidak ada standard dalam penegakan hukum, benar-benar akan memakan waktu, tenaga, pikiran dan menyita biaya yang cukup mahal.
Akhirnya, para pencari keadilan harus pula menyadari, ternyata kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan Maha Pencipta. Kita makhlukNya hanya diberikan kebenaran nisbi, yang setiap saat dapat berubah.
Penulis adalah Advokat, tinggal di Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H