Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sesuai dengan nafas TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 hingga sekarang masih berlaku sebagai rujukan utama dalam memecahkan setiap masalah hukum tanpa ada yang dikecualikan.
Harapan para pencari keadilan, kepastian hukum seharusnya menjadi tujuan utama manakala tidak ada pilihan lain, harus berurusan dengan hukum melalui sidang pengadilan.
Contoh sederhananya yang sudah umum terjadi menyangkut hutang-piutang. Apabila pilihan penyelesaiannya ditempuh secara musyawarah ternyata sudah buntu, tidak ada penyelesaian yang berarti, maka jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah melalui prosedur hukum guna mendapatkan putusan pengadilan untuk selanjutnya barang milik siberhutang dapat dieksekusi untuk dijual lelang dan hasilnya dikompensasi dengan jumlah hutang.
Namun, liku-liku proses eksekusi yang harus ditempuh oleh pencari keadilan tidak begitu mudah dilakukan karena kendalanya di lapangan cukup banyak, sehingga pelaksanaan eksekusi acapkali ditunda karena beragam alasan.
Menunggu Kepastian Hukum
Perjalanan kasus (terutama perkara perdata) mulai dari pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, banding di Pengadilan Tinggi dan kasasi di Mahkamah Agung memakan waktu yang cukup panjang dan melelahkan. Katakanlah pihak yang dinyatakan menang dari awal dipegang oleh penggugat. Namun, kebenaran itu masih berada di atas kertas dan Keadilan ternyata belum sempurna berada di pangkuan penggugat. Pasalnya masih menunggu kepastian hukum berikutnya.
Maksudnya, andaikata pihak yang tetap kalah tidak dapat menerima putusan, melalui upaya hukum yang ada masih ada kesempatan melalukan "Perlawanan" terhadap eksekusi yang tengah dimohonkan oleh Pemohon Eksekusi (Penggugat), dengan demikian eksekusi dapat dihadang sementara menunggu putusan perkara perlawanan hingga Mahkamah Agung. Bisa jadi, putusan akhir Perlawanan malah dikabulkan, sehingga kebenaran yang semula berpihak kepada Penggugat ternyata semua buyar.
Upaya hukum luar biasa melalui "Peninjauan Kembali" (PK) juga dapat ditempuh pencari keadilan berdasarkan adanya temuan bukti baru (novum). Pada tahap ini tidak menghalangi adanya eksekusi, sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985, menyebutkan, "Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan" (pasal 66 ayat 2).
Namun, dalam prakteknya? Harapan pencari keadilan semakin jauh karena pada tahap peninjauan kembali sudah umum terjadi eksekusi juga sangat berpengaruh molor, ditunda dengan alasan ada PK, dll.
Masyarakat yang tidak paham banyak soal seluk-beluk hukum kadang gampang panik tidak lebih dinggap hanya sebagai sandiwara, karena merasa tidak punya pegangan lagi dalam mencari keadilan di negara yang disebut negara hukum.
Eksekusi pengosongan/penyerahan tanah kepada pemiliknya yang sah, tertunda beberapa waktu lamanya karena pemohon eksekusi belum siap memenuhi syarat-syarat permohonan. Satu tahun berselang ternyata tanah objek perkara yang hendak dieksekusi dari tangan tergugat (lalu terdakwa dalam perkara tipikor) disita oleh kejaksaan (dirampas untuk negara) karena disenyalir uang pembelian tanah objek perkara berasal dari aliran dana korupsi.