Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Turki "Pahlawan" Palestina

26 Juli 2017   15:07 Diperbarui: 1 Agustus 2017   13:01 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejolak yang muncul di Yerusalem kembali mengundang perhatian Jagad maya media sosial di Indonesia, beragam komentar mengutuk Israel diunggah sebagai wujud solidaritas bagi Palestina.

Keputusan Israel untuk menempatkan alat metal detektor pada akses masuk komplek Masjid Al Aqsa memicu protes, kebijakan Israel tersebut direspon dengan aksi demontrasi dan bahkan berujung pada tindakan kekerasan yang merenggut korban jiwa di kedua belah pihak, baik warga Palestina dan Israel. Dunia Internasional juga tidak tinggal diam, Swedia, Perancis dan Mesir menginisiasi rapat darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas meningkatnya eskalasi yang terjadi di Kota Tua Yerusalem, sebuah kota bersejarah yang menjadi Ibu Kota de facto bagi Israel namun tidak diakui Internasional dan Ibu Kota masadepan negara Palestina.

Tak terkecuali Turki, sebuah negara yang sekuler namun diperintah oleh kelompok afiliasi Persaudaraan Muslim atau Ikhwanul Muslimin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan kecaman sekaligus kritikan bagi negara dengan penduduk mayoritas Muslim di seluruh Dunia, yang oleh Erdogan dianggap tidak melakukan tindakan yang berarti bagi Palestina.

Namun, hal unik terkait sikap Erdogan terjadi di Indonesia. Postingan status gambar dan link portal viral dan menghampiri hamper setiap beranda pengguna media sosial di Indonesia. Fenomena unik ini diviralkan dengan polos, lugu dan bahkan sentimen politik kepada Pemerintah Indonesia yang dianggap ingkar janji kampanye untuk merdekakan Palestina.

Sebelum mengetahui sisi unik tersebut, mari kita dalami sejarah hubungan Israel dan Turki. Frustasi oleh kekalahan dalam Perang Balkan, Perang Dunia I dan peberontakan Arab yang disokong oleh Inggris, membuat Kesultanan Turki Usmani semakin lemah. Puncaknya, Gerakan Nasional Turki pimpinan Mustafa Kemal Pasha mengambil alih pemerintahan dan pada 1 November Kesultanan yang berusia lebih dari enam abad dibubarkan, konsekuensi dari bubarnya kesultanan adalah lepasnya beberapa wilayah kekuasaan Eks. 

Kesultanan Turki Usmani di Balkan, Afrika Utara, dan Jazirah Arab termasuk Palestina. Bani Saud yang memimpin pemberontakan bersekutu dengan Inggris menjadi Negara Kerajaan Arab Saudi. Sebagai sekutu dalam pemberontakan  Arab, Inggris dan perancis menguasai Suriah, Irak, Kuwait, Yordania hingga Lebanon sesuai dengan skenario perjanjian Sykes Picot yang didesain untuk membagi wilayah pasca menjelang keruntuhan Kesultanan Turki Usmani.

Trauma atas relasi Islam dan negara dan pemberontakan negara Arab semasa Kesultanan Turki Usmani, Turki mulai jenuh menjalin relasi dengan negara-negara Arab. Sebagai negara mayoritas penduduk Muslim, Turki mengambil langkah berbeda dibandingan dengan negara lain yang mayoritas penduduk beragama Islam di seluruh Dunia. Ditengah kecamuk perang Arab-Israel yang terjadi pada 1948-1949, Turki menjalin hubungan diplomatik diikuti kerjasama militer, intelejen, pariwisata, ekonomi dengan Israel. 

Hubungan manis itu terjalin meski perang Arab-Israel berlanjut pada Perang Enam Hari 1967, Perang Yom Kippur 1973, hingga invasi Israel ke Lebanon pada 1982. Kuatnya dukungan Turki ke Israel, dapat dilihat pada sikap Turki ketika Rapat organisasi konferensi Islam (OKI) di Rabat, Maroko pada 1969, Turki tegas menolak untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, dan sebaliknya justru meningkatkan level hubungan diplomatiknya.

Kini, setelah 6 dekade berlalu, pada 2010 hubungan diplomatik Turki-Israel meregang imbas tindakan Israel yang menyerang kapal bantuan Mavi Marmara dibawah bendera Fredom Flotilla, sebuah gerakan filantropis bagi Gaza, Palestina. Meski sempat meregang beberapa saat, Turki tetap tidak kuasa untuk menormalkan hubungannya dengan Israel, pada awal 2016 dengan tegas Recep Tayyip Erdogan menyatakan "Turki Butuh Israel", meski menyakitkan hati para pemujanya, ungkapan itu bukanlah isapan jempol belaka, Turki memang sangat membutuhkan Israel, Turki merupakan tujuan wisata favorit bagi Israel, dan militer Turki, terutama angkatan udara tidak berdaya tanpa adanya dukungan logistik, teknologi dan teknis dari Israel. 

Hingga kini hanya dua negara Arab yang menjalin hubungan dengan Israel, yakni Yordania dan Mesir, hubungan tersebut terjalin sebagai wujud perjanjian perdamaian, dimana Israel akan mengembalikan wilayah yang diduduki pasca perang kepada Mesir dan Yordania. Meski terjalin huubungan, hubungan tersebut hanya normatif, Mesir dan Yordania menganggap bahwa Israel adalah ancaman bagi negaranya, dan menjadi alasan kedua negara mempertahankan anggaran belanja pertahanan yang tinggi.

Pahlawan Semu bagi Palestina

Melihat sejarah tersebut, unik melihat respon masyarakat Indonesia begitu memuja heroisme Turki bagi perjuangan Palestina. Turki tiba-tiba vokal dan kritis terhadap dunia Islam pada umumnya dan Arab pada khususnya, turki berkelakar bahwa negara-negara Islam diam, tidak berbuat banyak dan mendorong agar dunia Islam lebih tegas pada Israel sebagai wujud dukungan bagi Palestina.

Lalu apakah negara Arab dapat menerima kritik dari Turki, sungguh sebuah paradoks ketika Turki mengkritisi negara Arab, disatu sisi Turki menikmati bulan madu selama puluhan tahun dengan Israel. Dalam sejarah berdirinya negara Israel, bangsa Arab mengorbankan ribuan nyawa dalam rangkaian perang Arab-Israel meski harus menelan pil pahit kekalahan. Dan disaat yang sama, tidak ada satu tantara Turki yang gugur dan satu peluru Turki terlontar dalam perang Arab-Israel untuk membebaskan Palestina.

Dan kini, melihat Turki yang menikmati hubungannya dengan Israel, negara-negara Arab berpikiran sama, meski terjalin rahasia, bahwa menjalin hubungan dengan Israel adalah keuntungan ditengah panasnya stabilitas Timur Tengah. Tidak heran ditengah penindasan Israel terhadap Palestina, The Jerusalem Post memberitakan petinggi militer dan pangeran-pangeran Arab Saudi rutin mengadakan pertemuan dengan Israel. Dalam agenda tersebut tentunya tidak membahas Israel sebagai musuh bersama negara-negara Arab, namun membahas bahwa meluasnya pengaruh Republik Islam Iran adalah musuh Bersama bagi Arab Saudi dan Israel.

Turki "Sindir" Indonesia

dalam konteks ini, penulis meyakini bahwa kritik tersebut lebih spesifik ditujukan bagi negara timur Tengah, namun dalam nuansa romantisme Turki sebagai pahlawan Palestina, netizen terbuai dengan ketegasan Turki terhadap Israel, dan mengidentikan bahwa kritik tersebut ditujukan bagi Indonesia. Secara geopolitik Indonesia tidak memiliki kepentingan dan keuntungan dalam konflik Israel-Palestina. Namun sesuai dengan amanat undang-undang bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan pada posisi inilah Indonesia berkepentingan terhadap kemerdekaan Palestina.

Namun apakah Indonesia mampu menjadi pionir dalam kemerdekaan Palestina? Hal ini tentu saja sangat tidak mungkin, dimana disaat yang sama negara-negara Arab yang bersinggungan secara geopolitik tidak menjadikan Palestina sebagai agenda utama luar negerinya, bagaimana Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal. 

Pertanyaan berikutnya, apakah Indonesia dapat menjembatani perdamaian antara Israel-Palestina? hal kembali sangat sulit dijawab Indonesia, pertama bahwa Israel sendiri akan menolak Indonesia karena tidak ada hubungan diplomatik dan dianggap tidak netral, dan kedua, bahwa kekuatan besar Kwartet Timur tengah yang terdiri dai PBB, Amerika, Rusia dan Uni Eropa sampai saat ini masih mandul dalam mewujudkan perdamaian Israel-Palestina. 

Hingga akhirnya, Indonesia hanya memberikan dukungan politik, moral, bantuan infrastruktur dan sosial bagi Palestina. Lalu, dalam mengimplementasikan amanat undang-undang bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, Indonesia sudah menerapkan win win solution, bahwa Indonesia tidak akan mengakui dan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, sebelum Palestina Merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota negara Palestina masadepan. Dengan demikian sikap Indonesia lebih mulia dibandingkan Turki, karena Indonesia tidak mengakui eksistensi penjajah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun