Pertunjukan teatrikal pada acara Dhandangan di Alun-alun Kudus, Jumat (26/5/2017) sore kini menjadi buah bibir jagat dunia maya. Gara-garanya tingkah Bupati Kudus Musthofa Wardoyo yang memaksa pertunjukan kesenian berhenti. Penyebabnya, sang bupati tidak paham maksud pertunjukan tersebut.
Pertunjukan berjudul “Rampak Bedhug Dhandhangan” itu dihentikan sendiri oleh Musthofa. Dengan pengeras suara, Musthofa mengintervensi permainan yang diperankan belasan orang itu.
“Bapak ibu sekalian iki maksude piye iki ora ono suarane ora ono opo iki? Kudus ora nggone wong bisu, maka kalau ingin di dengar berbicaralah. Ini siapa skenarionya coba dijelaskan,” kata bupati.
Mendengar suara bupati, sontak permainan berhenti. Musik yang mengiringi pertunjukan juga mendadak diam. Musthofa meminta sutradara pertunjukan menjelaskan konsep dan makna pertunjukannya saat itu juga.
“Ini Pak bupati yo lahir nang Kudus tapi nek mbok ceritani kayak gini iki bingung, apalagi tamu-tamu saya ini. Coba kepala dinas pariwisata, ceritane piye, koe ki maksudmu opo?"
"Ayo harus diceritakan, kamu dodol dawet, kamu jualan legen, kok reti-reti ono sing push up, reti-reti ono sing sandal japit pedot. trus oyok-oyok’an bidadari satu tadi yang baju putih tadi tarik kanan tarik kiri. Coba kamu ceritakan mas, paham tah ora iki?” lanjut bupati.
Seorang laki-laki kemudian maju. Dia adalah Gunadi Siswo Nugroho, sutradara pementasan. Ia menjelaskan bahwa adegan yang dimaksud bupati adalah cerita tentang seorang pembeli yang diperebutkan dua orang pedagang.
“Ceritanya seorang pedagang yang rebutan pembeli, memang modelnya kayak pantomim, sebagian mungkin tahu,” kata Gunadi.
Mendengar jawaban itu, bupati nampaknya kurang puas. Ia meminta pementasan seperti itu seharusnya didahului dengan prolog atau narasi pengantar. “Lain kali harus ada narasi, ada yang menjelaskan. Ini ceritanya kalau istilahnya wong Kudus maniak pedagang, ada prolognya, oo jaman dulu oyok-oyok'an narik pembeli nek sekarang apik-apikan pelayanan. Ngono lho mas, ya, gitu ya, wes tak komentari terus ki mic-e tak cekel terus, ati-ati yang lain nanti, langsung MC saya ambil alih, ati-ati yang lain yang akan tampil, angger ora paham tak takonke, mumpung isih dadi bupati durung dadi gubernur,” ujarnya.
Usai pementasan, Gunadi menjelaskan bahwa pementasan tersebut bercerita tentang Kudus zaman dahulu. Saat Sunan Kudus hendak menabuh bedug tanda awal Ramadan, banyak masyarakat Kudus yang hadir menyaksikan. Karena ada keramaian, kemudian mengundang pedagang untuk berjualan.
“Tadi diujung pementasan ada adegan melihat hilal, kemudian dilaporkan kepada ulama. Kami tidak berani memerankan Sunan Kudus, jadi kami simbolkan para ulama. Tadi juga ada pedagang mainan otok-otok, kodok-kodokan. Selain itu juga ada lentog, legen, dawet, mewakili makanan tradisional,” ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan, pementasan tersebut antara perpaduan sandratari dan teater. Pementasan tersebut melibatkan sejumlah kelompok teater yang ada di Kudus. Di antaranya, Teater Samar, Teater Tiga Koma, Teater Sekam, Teater Gatang, Teater Tali Jiwa, Teater Sembilan.
“Selain itu ada juga Komunitas Kansu dan Komunitas Pojok Kidul. Kami juga dibantu sanggar tari Ciptaning Asri dan Forum Komunikasi Terbang Papat (FKTP),” tambah warga Desa Besito, Kecamatan Gebog, Kudus itu.
Menurut Gunadi, narasi atau prolog yang dimaksud bupati sebenarnya sudah ada. Hanya saja narator memaparkan dalam bahasa Jawa yang mungkin tidak dipahami bupati.
“Tadi memang sempat dihentikan Pak Bupati. Mungkin ada sedikit miskomunikasi karena naratornya menggunakan Bahasa Jawa,” kata dia.
Peristiwa bupati menghentikan pementasan seni di tengah-tengah permainan menggemparkan publik seni Jawa Tengah. Video tentang peristiwa ini diunggah di facebook oleh Rais Musthafa Ibrahim, seorang pegiat seni asal Jepara. Baru beberapa jam menggunggah, videonya telah ditonton lebih dari 6000 views.
Sejumlah pelaku seni dari berbagai daerah di Jateng mengomentari bupati Kudus sebagai pejabat yang tidak paham kesenian.
Ady Maulana misalnya. Ia mengatakan “Memotong pementasan berlangsung iku gak beretika babar blas ngunu kug tekenne bupati”.
Febrina Dyah Ayu menimpali “Belajar kesenian sik kudune bupatine... Ben menghargai sebuah pertunjukan seni yang kaya makna kehidupan... Lak mempertunjukkan hal sing d mudengi tok yo mana bisa punya wawasan luas... Ngisin"i awak e dwe sbg bupati... Gitu kok maunya jadi gubernur.... Haha tak guyu pak... Piyeee???”
Ada juga akun bernama Ni’am yang berkomentar “Yang namanya pemimpin tuh jgn stengah2 jgn cuma tau masalah politik, hukum, dan agama. Budaya dan seni harus tau juga. Toh budaya dan seni bisa di jadikan pemasukan daerah, wisata, event2 bulanan. toh itu semua bisa jadi pemasukan daerah.”
Bisa dipahami “kemarahan” pegiat seni di Jateng terhadap tindakan Bupati Musthofa. Sebab bupati memperlakukan pertunjukan seni seperti teater dan pantomime layaknya orkes dangdut yang bisa dihentikan sewaktu-waktu, dikomentari, kemudian berlanjut lagi. Padahal, pertunjukan kesenian seperti ini sangat ketat dalam hal konsep, tempo, timing, dan artistik.
Selain tidak paham pada etika dan estetika berkesenian, Musthofa yang sedang getol mau nyalon Gubernur Jateng ini juga nampaknya tidak menempatkan diri sebagai penonton. Dalam menyaksikan pertunjukan, Musthofa tetap menempatkan diri sebagai bupati atau penguasa yang menurutnya bebas bertindak/memperlakukan seni dan seniman sebagai apapun dan bagaimanapun. Ia merasa bebas menghentikan, mengkritik, bahkan menertawakan karya seni seenak perutnya sendiri.
Tonton videonya di sini: https://www.facebook.com/rais.jelek.7/videos/1656395627721554/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H