Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meroketnya Harga Beras, Apakah Benar Fenomena Gunung Es?

19 September 2023   14:09 Diperbarui: 19 September 2023   15:27 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana mau bicara ketahanan pangan, jika petani yang berada di garda terdepan pemenuhan pangan nasional terus terpinggirkan? Bagaimana bicara menggenjot produksi, jika alih fungsi lahan pertanian terus terjadi dan tak terkendali? Juga, bagaimana tidak rawan pangan, jika petani dibiarkan bergulat sendiri menghadapi regulasi yang tidak berpihak padanya?

Status quo di atas cukup ironik jika melihat kenyataan bahwa dalam setiap kali pemilihan umum (pemilu) dihelat, baik berupa Pilkada, Pilpres dan Pileg, petani adalah konstituen yang paling banyak menerima taburan janji. Selain sebagai kelompok masyarakat terbesar, isu-isu di seputaran petani juga teramat seksi untuk mendulang suara. Disisi lain, petani adalah kelompok yang teramat “lemah” dalam daya tawar politik, sehingga dengan mudah mereka suatu saat dapat ditinggalkan tanpa kesanggupan untuk menagih janji yang telah diberikan.

Undang-Undang UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sejatinya merupakan legal basis yang idealnya dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi para petani di Indonesia. Namun sudah satu dasawarsa sejak pengundangannya, profesi petani masih selalu diasosiasikan sebagai kelompok yang lekat dan dekat dengan kemiskinan. Artinya, anomali tersebut menandakan bahwa ikhtiar yang telah dilakukan dalam mengurusi persoalan perlindungan dan pemberdayaan petani selama ini belumlah serius.

Merujuk pada krusialnya peranan petani di balik diskursus ketahanan pangan, momentum kenaikan harga beras ini harusnya dapat menjadi refleksi bagi pemerintah dan segenap stakeholder terkait untuk melakukan refocusing atas setiap kebijakan di sektor pertanian yang lebih berorientasi pada perlindungan dan pemberdayaan petani. Sebab, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ancaman terbesar bagi ketahanan pangan lahir dari rendahnya tingkat kesejahteraan petani. 

Sektor pertanian kini semakin tidak populer, semakin ditinggal oleh tenaga kerja muda dan talenta terbaik bangsa. Melindungi lahan sawah yang tersisa melalui peningkatan kesejahteraan petani tidak dapat lagi ditawar, dan harus ditegakkan dengan biaya berapapun. Tanpa penanganan yang menyeluruh dan kausatif, maka keberlanjutan pertanian indonesia sebagai negara agraris tidak akan dapat tercapai. Ketika keberlanjutan pertanian Indonesia tidak dapat diwujudkan, maka cita-cita ketahanan pangan hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun