Selama sebulan terakhir ini, harga beras terpantau terus mengalami kenaikan secara signifikan. Panel harga pada Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 18 September 2023 mencatat rata-rata harga beras medium mengalami lonjakan 0,78 persen menjadi Rp13.000 per kg. Harga ini semakin menjauhi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Badan Pangan Nasional No. 7/2023 dengan kisaran harga sebesar Rp10.900 sampai dengan Rp11.800 per kg. Suatu kenyataan pahit yang harus diterima oleh suatu negara yang dijuluki sebagai negara agraris terbesar di dunia, bukan?
Menanggapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa fenomena kenaikan harga beras di dalam negeri ini tidak lain disebabkan oleh kenaikan harga beras yang terjadi secara global. Di sisi lain, hal tersebut juga dipicu oleh penutupan keran ekspor beras nonbasmati dari India sebagai produsen beras terbesar dunia. Sebagaimana diketahui, sejak Juli 2023 India telah melakukan restriksi ekspor beras nonbasmati dengan alasan untuk mengamankan stok kebutuhan dalam negerinya. Tak hanya itu, fenomena El Nino yang menyebabkan produksi padi menurun juga turut berkontribusi dalam fenomena kenaikan harga beras saat ini.
Namun, apabila dielaborasi lebih lanjut, kenaikan harga beras yang terus meroket tersebut hanyalah fenomena gunung es dalam tata kelola pertanian Indonesia yang dijalankan dengan setengah hati. Sebab, dua faktor utama yang saling berkelindan dalam mendukung ketahanan pangan termasuk beras yaitu ketersediaan lahan pertanian dan kesejahteraan petani kini tengah berada pada titik nadir.
Secara prima factie, ketersediaan lahan pertanian merupakan prasyarat mutlak guna mewujudkan peran pertanian dalam menopang ketahanan pangan nasional. Akan tetapi, secara faktual Guru Besar IPB Prof. Dr. Ir. Harianto, M.S., justru menuturkan bahwa setiap tahun lahan pertanian mengalami penyusutan yang signifikan.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi penyebab utama dari penyusutan tersebut. Angka ketersediaan lahan yang dapat ditanam perkapita hanya tersisa 0,096 hektar dari total keseluruhan seluas 26,3 juta hektar. Hal ini selaras dengan penurunan luas panen dan produksi beras pada 4 tahun terakhir yang menurun sebesar 966.000 hektar. Angka ini tentu jauh dari kata ideal untuk memenuhi kecukupan pangan bagi lebih dari 270 juta jiwa penduduk.
Apabila dirunut lebih jauh lagi, root cause dari semakin menipisnya ketersediaan lahan pertanian tersebut sejatinya adalah keengganan petani untuk mempertahankan kepemilikan lahan pertaniannya. Tesis ini diindikasikan dengan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) yang memprediksikan profesi petani akan hilang di tahun 2063. Di samping itu, data statistik juga menunjukkan bahwa sebesar 70% pemuda menganggap profesi petani sebagai pekerjaan yang tidak menarik. Padahal, sebesar 80% petani di Indonesia telah berusia di atas 50 tahun.
Contoh saja provinsi Banten. Sekitar 150.000 dari 600.000 petani baik di sektor perkebunan, persawahan atau perhutanan memilih meninggalkan profesinya di Banten. Fenomena krisis regenerasi tersebut disebabkan oleh stereotip profesi petani yang diidentikkan sebagai kelompok yang erat dengan kemiskinan. Hal ini diafirmasi oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 yang menunjukkan 49,41% rumah tangga miskin berasal dari sektor pertanian.
Permasalahan ini menjadi semakin pelik saat Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Banten menyebutkan bahwa pemerintah daerahnya belum menaruh perhatian serius pada sektor pertanian. Hal ini dibuktikan dengan alokasi APBD Banten bagi sektor pertanian yang masih di bawah 5%, yang menurutnya idealnya adalah sebesar 6-7%.
Belum lagi, mayoritas pemerintah kabupaten/kota Banten mengusulkan adanya pengurangan lahan pertanian secara signifikan dan masif. Fenomena tersebut diperparah dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mengungkapkan bahwa Pemerintah Banten belum memiliki rencana peningkatan ketersediaan pangan yang memadai terutama dalam perlindungan dan pengoptimalan lahan pertanian.
Pada dasarnya, pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa terobosan guna meningkatkan produktivitas pertanian dari aspek produksi, salah satunya dengan memberikan insentif baik kepada pemerintah daerah maupun petani. Insentif tersebut berupa subsidi pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), bantuan benih, percepatan sertifikasi lahan pertanian, dana anggaran khusus pertanian dan irigasi, dana insentif daerah, dan penghargaan kepada pemerintah daerah dan petani berprestasi.
Sayangnya, dari segelintir insentif tersebut, belum ada kebijakan yang mengarah pada upaya peningkatan kesejahteraan petani secara langsung. Akibatnya, petani seolah harus bekerja maksimal terlebih dahulu baru bisa sejahtera. Padahal, di beberapa negara seperti Thailand, pemerintahnya telah menyadari bahwa petani merupakan aktor sentral dalam menopang ketahanan pangan. Oleh karena itu, insentif yang digelontorkan diarahkan secara langsung untuk merangsang agar petani lebih produktif dan sejahtera. Sehingga, dengan sendirinya mereka akan memiliki sense of belonging atas lahan pertaniannya.
Bagaimana mau bicara ketahanan pangan, jika petani yang berada di garda terdepan pemenuhan pangan nasional terus terpinggirkan? Bagaimana bicara menggenjot produksi, jika alih fungsi lahan pertanian terus terjadi dan tak terkendali? Juga, bagaimana tidak rawan pangan, jika petani dibiarkan bergulat sendiri menghadapi regulasi yang tidak berpihak padanya?
Status quo di atas cukup ironik jika melihat kenyataan bahwa dalam setiap kali pemilihan umum (pemilu) dihelat, baik berupa Pilkada, Pilpres dan Pileg, petani adalah konstituen yang paling banyak menerima taburan janji. Selain sebagai kelompok masyarakat terbesar, isu-isu di seputaran petani juga teramat seksi untuk mendulang suara. Disisi lain, petani adalah kelompok yang teramat “lemah” dalam daya tawar politik, sehingga dengan mudah mereka suatu saat dapat ditinggalkan tanpa kesanggupan untuk menagih janji yang telah diberikan.
Undang-Undang UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sejatinya merupakan legal basis yang idealnya dapat memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi para petani di Indonesia. Namun sudah satu dasawarsa sejak pengundangannya, profesi petani masih selalu diasosiasikan sebagai kelompok yang lekat dan dekat dengan kemiskinan. Artinya, anomali tersebut menandakan bahwa ikhtiar yang telah dilakukan dalam mengurusi persoalan perlindungan dan pemberdayaan petani selama ini belumlah serius.
Merujuk pada krusialnya peranan petani di balik diskursus ketahanan pangan, momentum kenaikan harga beras ini harusnya dapat menjadi refleksi bagi pemerintah dan segenap stakeholder terkait untuk melakukan refocusing atas setiap kebijakan di sektor pertanian yang lebih berorientasi pada perlindungan dan pemberdayaan petani. Sebab, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ancaman terbesar bagi ketahanan pangan lahir dari rendahnya tingkat kesejahteraan petani.
Sektor pertanian kini semakin tidak populer, semakin ditinggal oleh tenaga kerja muda dan talenta terbaik bangsa. Melindungi lahan sawah yang tersisa melalui peningkatan kesejahteraan petani tidak dapat lagi ditawar, dan harus ditegakkan dengan biaya berapapun. Tanpa penanganan yang menyeluruh dan kausatif, maka keberlanjutan pertanian indonesia sebagai negara agraris tidak akan dapat tercapai. Ketika keberlanjutan pertanian Indonesia tidak dapat diwujudkan, maka cita-cita ketahanan pangan hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H