Salah satu yang menarik dari kurikulum 2013 yang sekarang sedang diujipublikkan adalah dihapuskannya matpel TIK pada tingkat SMP. Kebijakan ini menimbulkan banyak pro dan kontra, utamanya dari guru-guru TIK yang terancam keberadaannya. Apalagi bila guru tersebut sudah tersertifikasi, mau diapakan mereka? Begitu suara yang santer terdengar.
Jujur, saya juga tidak tahu persis apakah memang sebaiknya TIK di SMP dipertahankan atau dihapuskan. Masing-masing ada dasar alasannya tersendiri. Bahwa mengenalkan TIK sejak dini itu baik, boleh jadi begitu. Namun, bagaimana di lapangan?
Sore tadi, anak saya mengeluh. Katanya, besok pagi ulangan TIK.
"Lah, kan, Mbak bisa mengoperasikan komputer. Apa yang ditakutkan?", saya mencoba mementahkan keluhannya.
"Iya, sih, Pak, cuma ini gurunya ngeselin!", katanya dengan muka bersungut.
"Ngeselin gimana?"
"Waktu itu kan ulangan juga. Nah, katanya kalau yang dapat jelek boleh protes. Ketika aku protes kenapa nilaiku jelek, apa coba kata Pak Guru?"
"Memangnya bilang apa?"
"Kamu sih, jawabnya semaumu. Jawabanmu tidak persis yang ada di buku ini! Begitu katanya sambil menunjukkan buku cetak!"
Saya tercenung.
"Beda dengan budi pekerti, misalnya, kalau budi pekerti Bu Guru bilang kita boleh menjawab dengan kalimat atau bahasa kita sendiri asal intinya sama!", anak saya meneruskan penjelasannya.