Berbagai Bentuk Hukuman terhadap Petinggi Negara
Bentuk hukuman yang diberikan kepada mereka bermacam-macam, antara lain pemotongan badan atau waist chop, misalnya terhadap Li Si, PM Kerajaan Cina (208 SM), ditusuk sampai mati atau stab to death terhadap Zhao Gao, PM Kerajaan Cina (207 SM), penggal kepala terhadap Ziying dari Dinasti Qin, Huao dari Dinasti Jin, Min dari Dinasti Jin, Wen Tian Xiang, PM Kerajaan Cina (206 SM-1283), dipanah sampai mati terhadap Tianzuo of Liao, Kerajaan Dinasti Liao (1156), serta dibunuh musuhnya terhadap Qinzong dari Dinasti Song.
Terbanyak adalah ditembak mati, antara lain Chen Gongbo, Liang Hongzi (1946); Takashi Sakai, Gubernur Hongkong (1946); Masaharu Homma, Gubernur Militer Jepang di Filipina, (1946); Faisal II, Raja Irak (1958); Nuri al-Said, PM Irak (1958); Abdul al-Karim Qasi, PM Iraq (1963); Tajuddin Ahmaddan dan Muhammad Mansur Ali, PM Bangladesh (1975); Â dan Amir Abbas Hoveyda, PM Iran (1979).
Mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan umumnya dihukum gantung seperti Koki Hirota, PM Japan (1946) dan Tomoyuki Yamashita, Gubernur Militer Jepang (1946); Adnan Menderes, PM Turkey, (1960); Ali Bhutto Zulfikar, Presiden Pakistan, (1979); dan Hideki Tojo, PM Jepang, (1948). Selain itu, dalam situasi kemarahan sosial tertentu, hukuman dapat berupa siksaan sampai mati, misalnya terhadap Mohammad Najibullah, Presiden Afganistan, (1992).
Petinggi Negara yang Jahat Diusulkan Jadi Pahlawan
Dalam daftar tersebut, juga terdapat Sukarno dan Suharto yang mendapat hukuman sosial politik berupa penggulingan kekuasaannya, masing-masing pada tahun 1967 dan 1998. Walaupun Suharto juga diadili pada tahun 2000, tetapi pengadilan itu kemudian dihentikan karena yang bersangkutan berhalangan secara tetap. Tradisi menghukum kepala negara atau kepala pemerintahan yang melanggar etika, hukum, dan konstitusi dengan hukuman secara benar dan adil belum ada di Indonesia.
Bahkan, seorang presiden yang diduga telah melakukan banyak pelanggaran dan kejahatan etika, hukum, dan konstitusi justru dapat memperpanjang kekuasaan korupnya tanpa batas. Misalnya, Sukarno yang menjadi presiden seumur hidup, dan Suharto, yang dengan alasan "Bapak Pembangunan", baru berhenti berkuasa setelah 35 tahun. Sementara itu, Presiden Joko Widodo sendiri tidak secara tegas menolak wacana perpanjangan masa jabatannya (Bawono Kumoro, Kompas.com, 5/2/2022). Ia malah mendukung Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri menjadi Wakil Presiden sebagai proxy dalam memperpanjang kekuasaannya (Goenawan Mohamad, KOMPAS.TV, 6/11/2023).
DPR RI dan MPR RI diam atas adanya pelanggaran Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Hal ini membuktikan bahwa hukum dan peradilan telah berada di titik nadir. Padahal, ada fenomena Cawapres Gibran sebagai anak kandung presiden yang oleh adik ipar presiden, Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dimuluskan pencalonannya dengan mengubah kriteria untuk menjadi Capres/Cawapres (Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023).
Perlunya Pengadilan Rakyat
Peristiwa di atas adalah bentuk dari pelecehan konstitusi yang sudah melembaga yang menuntut segera digelarnya pengadilan rakyat (Zainal Arifin Mochtar, KOMPAS.TV, 14/3/2024). Gagasan Pengadilan Rakyat wajib diselenggarakan untuk memecahkan akar masalah substansial dan intrinsik, yakni lembaga peradilan tidak pernah menetapkan vonis yang seadil-adilnya atau mewujudkan hak rakyat atas peradilan yang adil. Apa yang terjadi di Indonesia sama dengan yang terjadi di Negara Bagian Amerika karena 90 persen hakim di Negara Bagian Amerika melamar sebagai "orang yang digaji oleh pemerintah" untuk menjadi hakim dan memperpanjang jabatannya.
Itulah mengapa kecurangan Pemilu bisa terjadi, yaitu karena secara fundamental, sistem hukum telah berpihak terhadap kepentingan penguasa atau pemerintah. Kalaupun kecurangan dalam menjalankan etika, konstitusi, dan ketentuan peraturan perundangan akan diadili, pasti hanya akan memenangkan kepentingan penguasa. Peradilan harus direformasi dan keluar dari konsep pemisahan kekuasaan Montesque yang semu untuk mewujudkan independensi peradilan.