Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengadilan Rakyat dan Hukuman atas Kejahatan Petinggi Negara

26 Maret 2024   21:32 Diperbarui: 26 Maret 2024   21:32 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 24 Februari 1868, Senat menyetujui usulan pemakzulan dengan suara 126 berbanding 47. Panitia Khusus merumuskan dakwaan bahwa Presiden Johnson telah melanggar sebelas pasal Undang-undang Masa Jabatan. Persidangan dimulai 5 Maret 1868 dipimpin Ketua Hakim Salmon Chase, 25 orang jaksa sebagai saksi, dan 16 orang saksi pembela.

Proses pemakzulan di negara demokrasi dilaksanakan dengan jujur dan transparan. Sebelas pasal yang dituduhkan kepada Andrew Johnson akhirnya mengerucut pada tiga pasal penting terkait pemecatan Sekretaris Departemen Pertahanan yang masa jabatannya sudah diatur dalam undang-undang. Andrew Johnson pada umumnya dituduh tidak menghiraukan tugas berat dari jabatannya dan sumpah jabatannya, serta mengabaikan konstitusi dan undang-undang Amerika Serikat.

Walaupun perjalanan karier Andrew Johnson cukup cemerlang, ia memiliki karakter dan pola pikir yang cenderung risih dalam mematuhi prosedur, tata krama politik, tata pemerintahan, dan tata negara. Pola pikir tersebut sebenarnya kemampuan standar bagi seseorang yang telah menempuh strata pendidikan atau merit. Celakanya, masyarakat liberal pada praktiknya tidak ketat dalam memberlakukan syarat pendidikan karena siapa pun yang populer akan memiliki elektabilitas yang tinggi.

Tukang Jahit Jadi Presiden

Lahir dalam kemiskinan di North Carolina pada 1808, Johnson pernah magang pada seorang penjahit semasa kecilnya. Ia tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi berkemauan keras menjadi seorang otodidak. Setelah pindah ke Greeneville, Tennesse, ia menikah dengan Eliza McCardle, seorang anak tukang sepatu yang kelak menjadi gurunya dalam homeschooling. Johnson menjadi populer karena memiliki bakat bawaan dalam berdebat dan berpidato.

Orang-orang yang bernasib sama seperti Presiden Andrew Johnson di dunia ternyata banyak. Menjadi raja, kepala negara, atau pejabat tinggi di pemerintahan tetapi berakhir tragis, dihukum dan dimakzulka karena kesalahan-kesalahan yang diperbuat. Hal itu dimungkinkan karena negara tersebut memiliki tatanan yang bisa menghukum dan memakzulkan presiden begitu kesalahannya bisa dibuktikan.

Akan tetapi, di Indonesia, menghukum dan memakzulkan presiden dibuat sulit agar presiden tidak mudah dimakzulkan. Menurut Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, pemakzulan diusulkan oleh DPR ke MPR. Namun, sebelum disidangkan di MPR, Mahkamah Konstitusi (MK) menguji usulan DPR secara hukum untuk melihat apakah syarat-syarat pemakzulan presiden sudah dipenuhi.

Kejahatan Petinggi Negara Mendapat Hukuman Berat

Cina adalah negara yang paling berkomitmen untuk menghukum pejabat tinggi di pemerintahan yang teledor. Bahkan, hal itu terjadi sebelum Masehi, yaitu pada 208 Sebelum Masehi (SM) ketika Li Si dihukum dengan memenggal pinggangnya (waist chop) karena kasus pengkhianatan terhadap kerajaan. Satu tahun kemudian, kekuasaan Zhao Gao digulingkan dan menerima hukuman ditusuk sampai mati, yang disusul oleh Ziying dari Dinasti Qin yang dihukum penggal kepala.

Sejak 208 SM ketika Cina menghukum pejabat tinggi pemerintahannya sampai saat ini, hampir seratus kepala negara di Asia telah dihukum dan disanksi dengan hukuman berat. Sebanyak 11 persen dari mereka yang dihukum melakukan pengkhianatan (treason), 20 persen digulingkan (overthrown), 24 persen melakukan korupsi, 16 persen melakukan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), 9 persen penyuapan (bribery), sedangkan tindakan lain sebanyak 19 persen.

Tindakan lain yang menyebabkan kepala pemerintahan dihukum berat antara lain pembocoran rahasia negara (Ma Ying-jeou, Presiden Taiwan, dihukum 2018), menghina pengadilan (Yousaf Raza Gillani, PM Pakistan, dihukum 2012), melakukan percobaan pembunuhan (Abdumalik Abdullajanov, PM Tjikistan, 2013), penggelapan pajak (Akezhan Kazhegeldin, PM Kazakhstan, 1998), dan terkena pembersihan politik (Zhao Ziyang, Sekjen Partai Komunis Cina, 1989). Bahkan, pejuang legendaris dan Perdana Menteri Myanmar, Aung San Suu Kyi, dihukum pada tahun 2021 hanya karena terlibat impor ilegal walkie-talkie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun