Mohon tunggu...
Sindi Auliyah
Sindi Auliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang

Hobi: kadang nulis kadang juga baca, tergantung mood siii

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Diskriminasi Terhadap Pasien BPJS

24 Juni 2024   13:45 Diperbarui: 24 Juni 2024   14:09 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Fungsi BPJS Kesehatan adalah meringankan beban mereka yang mendapatkan layanan tersebut, supaya tidak memberatkan dalam segi biaya, namun ternyata yang terjadi tidak seperti kelihatannya. 

Sebab yang terjadi saat ini terdapat perbedaan sangat signifisikan antara pelayanan yang diterima oleh pengguna BPJS dan umum. Banyak kasus yang ditemukan dilapangan bahwa pasien BPJS dianaktirikan daripada pasien umum. Sebenarnya masalah ini bukan terletak pada manajemen rumah sakitnya, namun terletak pada petugas medis yang bekerja pada RS tersebut. Dengan adanya tindakan diskriminasi tadi, banyak pengguna BPJS yang merasa dirugikan.

Beberapa minggu yang lalu, ada seorang bapak-bapak yang sedang sakit dan harus dirawat di RS Umum, beliau Pak Anto, seorang PNS mendapatkan fasilitas yang dulunya dikelola oleh PT. Askes Indonesia dan sekarang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Fasilitas ini sangat membantu, karena biaya RS menjadi lebih ringan yang sebagian biaya bisa tercover oleh BPJS Kesehatan. Namun berbeda lagi jika menggunakan fasilitas BPJS terutama dalam segi pelayanan RS. 

Pak Anto tidak cepat ditangani oleh pihak tenaga medis RS hanya untuk mendapat ruang rawat, akhirnya beliau menunggu di UGD hampir setengah hari. 

Setelah menunggu selama itu, Pak Anto yang seharusnya berada di kelas 2, akhirnya beliau mendapatkan ruang rawat inap yang bukan sesuai kelas fasilitas BPJS Kesehatan, melainkan dapat kelas 3. Kemudian, istrinya berdiskusi dengan pihak RS tentang apa yang terjadi. 

Lalu, pihak RS mengatakan jika kelas 2 penuh dengan pasien jadi beliau tidak kebagian kamar. Karena dari pihak keluarga tidak terima terutama istrinya, beliau menggunakan jalur umum non BPJS. Hanya menunggu beberapa menit saja beliau langsung dapat kelas 2 dan ditangani dengan cepat. (Fajar Qolby Laily, 2018)

Lain lagi dengan kasusnya Kayla dan Nayla, anak usia 14 tahun, pasien BPJS yang menunggu lama untuk mendapat tindakan operasi amandel yang harus segera dilakukan karena amandel sudah membesar. Pada 6 februari 2023 nama kedua anak tersebut masuk daftar untuk tindakan operasi. 

Pihak RS menjanjikan dalam dua hingga empat minggu akan memberitahu kapan operasi dilakukan. Namun, hingga tanggal 6 Maret 2023 tidak ada informasi lanjutan. Pak Cahyadi selaku orang tua anak kembar tadi tidak terima, akhirnya beliau komplain ke pihak RS, katanya masih ada enam urutan lagi sebelum si kembar, lalu beliau terheran kenapa tidak ada kabar selama satu bulan, nakes itu juga bilang kalau operasi si kembar tidak bisa barengan, padahal rekomendasi dokter sebelumnya harus bersama. 

Pak Cahyadi lebih memilih untuk menunggu sampai sepekan, akhirnya beliau menghubungi pihak RS lagi untuk menanyakan kepastian operasi si kembar, di situlah beliau tahu kalau anaknya berada di urutan ke-20, dan ternyata jatah si kembar diselak-selak mulu. Penundaan tersebut membuat kondisi si kembar semakin parah. (BBC News Indonesia, 2023)

Dari dua kasus tersebut dapat dikatakan, mengapa pelayanan BPJS Kesehatan dianaktirikan? Karena perbedaan nilai upah tenaga medis yang merasa rugi bila melayani pasien BPJS kesehatan yang mengadakan kontrak dengan rumah sakit, dibanding dengan nilai upah pasien umum lebih besar.

Potensi Maladministrasi

Bellinda merangkum sejumlah potensi maladministrasi dalam pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan, salah satunya dari laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman.

Maladministrasi pertama adalah tidak adanya standardisasi atau regulasi, dengan tidak adanya aturan mengenai pemberian kuota, diduga fasilitas kesehatan secara sepihak menentukan jumlah kuota kepada peserta BPJS Kesehatan.

Kedua, adanya dugaan diskriminasi. Maksudnya, adanya pemberlakuan kuota mengakibatkan terjadinya diskriminasi dalam pemberian layanan. Hal ini karena adanya keterbatasan kemampuan dan kurangnya dokter, kemampuan atau ketersediaan ruangan dan alat medis, serta adanya perbedaan pembiayaan bagi fasilitas kesehatan.

Ketiga, adanya dugaan pengabaian kewajiban hukum dan penyimpangan prosedur. Maksudnya, ada temuan kurang maksimalnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Kemenkes, Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), dan BPJS Kesehatan dalam memastikan praktik-praktik pembatasan layanan tidak terjadi di seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tindak Lanjut (FKRTL).

Keempat, adanya dugaan mengenai masalah keterbukaan informasi publik. Yakni, akses informasi yang tidak terdistribusi di seluruh FKTP dan FKRTL di Indonesia, sehingga adanya strandardisasi layanan yang berbeda-beda. (Arief Rahman Hakim, 2023)

Apa Solusinya?

All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood.”( Pasal 1 DUHAM)

Maka, tidak benar jika ada diskriminasi antara pasien pengguna BPJS dan umum, menjunjung tinggi yang ber-uang dan menganaktirikan yang dapat jaminan. Lantas apa yang harus dilakukan?

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menilai jika mengadu lewat media sosial kurang mempan. Ia mengusulkan agar pihak BPJS Kesehatan membuka nomor pengaduan khusus di tiap fasilitas kesehatan dan ditempel di ruang-ruang yang gampang dilihat orang. Sehingga kalau ada pasien yang mengalami diskriminasi atau dipersulit bisa langsung menghubungi. 

Fasilitas kesehatan entah itu puskesmas atau rumah sakit harus menindak tegas pegawainya yang mendiskriminasi pasien. Semisal sanksi administratif berupa teguran, sanksi denda, dan pencabutan izin berusaha. (MIW, 2023)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun