Mohon tunggu...
Sindi Auliyah
Sindi Auliyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang

Hobi: kadang nulis kadang juga baca, tergantung mood siii

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wanita, Tidak Boleh Berpendidikan Tinggi?

1 Mei 2024   13:30 Diperbarui: 1 Mei 2024   13:34 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by @creativemarket.com

WANITA, Tidak boleh berpendidikan tinggi??

"Buat apa sih sekolah tinggi-tinggi kalo akhirnya khidmah ke suami??"

Salah satu ungkapan yang sering masyarakat lontarkan ke wanita yang menuju tahap pendewasaan. Mereka beropini bahwa wanita yang berada di fase ini dianggap sudah matang dan layak untuk menikah. Lantas, apakah wanita tidak boleh pintar? Tidak berhak berpendidikan tinggi? Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 2 dijelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dalam kandungan ini tidak ada pengecualian untuk wanita. Wanita tidak hanya sekedar cantik dan feminim, tetapi harus cakap dan cerdas.

Selain itu, faktor budaya dan nilai-nilai yang dianut juga berpengaruh bagi masa depannya. Hal ini menyebabkan wanita enggan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di zaman modern ini, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, membuat setiap individu termasuk wanita yang cenderung disepelekan dan dipandang sebelah mata di tuntut untuk mengikuti perkembangannya. (Tenista Deril Aisyah, 2021)


Tidak boleh berpendidikan tinggi malah menikah dini?


Citizenship now represents a complex set of relationships; and can be highly differentiated. Cultural communities have become political entities; sometimes the public sphere is carved among them. (Ghai, 2008).


Seperti yang kita ketahui, di Indonesia marak stigma-stigma terhadap wanita berpendidikan tinggi, terutama bagi masyarakat desa. Kebiasaan mereka adalah menikahkan putrinya ketika lulus sekolah berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun, karena dirasa tindakan mereka tidak menyeleweng dengan konstitusi Indonesia, mereka melestarikan kebudayaan ini sampai melarang wanita sekolah lagi. Ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya perkawinan dalam usia anak pada anak wanita, karena dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefinisikan, bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak. (Poezan, 2021) Oleh karena itu, terjadi revisi Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 ke Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 yang berbunyi, "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun." (disdukcapil kobar) Perubahan usia ini diharapkan dapat menurunkan angka kelahiran dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak. Selain itu, kita juga dapat mendukung orang tua dan mewujudkan hak-hak anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya, termasuk memberikan anak akses terhadap pendidikan setinggi mungkin. Selain mendapat dukungan dari luar, seharusnya dari diri wanita tersebut juga harus muncul rasa mau dan mampu, jangan sampai pendidikan kita tertinggal jauh dengan pria, karena ruang publik wanita juga sudah setara, lebih bebas, terbuka lebar, bebas berkarya, dan bebas meraih pendidikan.


Pentingnya ilmu bagi wanita


            Setiap orang pasti meninginkan masa depan yang cerah, karir yang melejit, upah dari hasil jerih payah, terlebih wanita di zaman ini, tetapi bagaimana jika masyarakat desa berasumsi kalau sejatinya wanita berada di rumah? Seperti dawuh mbah Moen:

Setinggi apapun pendidikan perempuan, karir terbaiknya adalah berdiam di rumah, bayaran termahalnya adalah ridlo suami, prestasi terbesarnya adalah ketika mampu mencetak anak sholeh dan sholihah. (KH. Maimoen Zubair)

Lantas apa yang bisa kita lakukan jika ulama besar dawuh seperti itu?

Ya, sangat benar tentunya dawuh beliau, namun jika masyarakat salah arti dalam memahami karna kurangnya ilmu yang membekali, wanita bisa merasa sangat dirugikan. Berdiam di rumah bukan hanya sebatas rebahan dan scroll tiktok dan instagram, ridlo suami tidak hanya tentang dapur, kasur, dan sumur, mencetak anak sholeh dan sholihah bukan cuma hamil lalu melahirkan, namun harus asah, asih, dan asuh. Jika tidak dengan ilmu, kita bisa apa? Ingat! al-Umm madrasatul ula bagi anak-anaknya.

Bagaimana kita mau mengharapkan anak-anak kita akan terdidik dengan baik jika diasuh ibu yang tidak berpendidikan. Maka jadilah terdidik sebelum kalian mendidik. (Ning Sheila Hasina)
Pernyataan tersebut sejalan dengan gagasan RA Kartini yang menjadikan pendidikan itu sebagai alat untuk memajukan sebuah bangsa.
"Wanita berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi lelaki, tetapi untuk membangun generasi" (Muhammad Raffi, 2023)

Jadi, pendidikan bagi wanita merupakan kunci dari peningkatan kualitas diri. Makin tinggi pendidikannya, makin tinggi pula kualitas dirinya. Sehingga wanita juga bebas dan boleh untuk berpendidikan tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun