Dewasa kini, perkembangan ekonomi yang berkaitan  dengan aspek pengelolaan lingkungan menjadi isu yang sedang berkembang. Hal ini karena keberlangsungan ekonomi selalu ditunjang oleh sumber daya alam. Ditambah beban moral prinsip intergenerational equity di mana generasi sekarang memiliki kewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dan peluang yang ekuivalen untuk generasi mendatang agar memiliki tingkat kesejahteraan yang memadai. Apabila pengelolaan lingkungan hidup dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan, tentunya dapat menimbulkan masalah baik dalam segi kualitas maupun kuantitas. Pada titik inilah peran negara dibutuhkan sebagai regulator untuk menyeimbangkan aspek lingkungan dan ekonomi. Untuk itu, penegakan hukum lingkungan menjadi hal yang relevan.
Isu yang berkaitan antara kedua aspek tersebut adalah adanya penerapan pajak karbon sebagai amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penanggulangan lingkungan dengan carbon tax atau pajak karbon dinilai lebih baik dalam memastikan keseimbangan dan kestabilan harga dibandingkan dengan sistem perdagangan karbon. Untuk itu, Indonesia mengatur mengenai pajak karbon tersebut dalam Bab VI UU HPP. Pajak karbon dalam UU tersebut disebutkan akan dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.
Teori Dasar Pajak Karbon?
Dalam teori pendekatan-pendekatan penataan lingkungan, salah satu yang relevan dengan pajak karbon ini adalah pendekatan ekonomi. Pendekatan ekonomi berawal dari prinsip pencemar membayar (polluter pays principle), di mana ekonom meyakini bahwa pencemaran merupakan bentuk kegagalan pasar (market failures) yang memungkinkan adanya intervensi negara kedalam kegiatan-kegiatan ekonomi (pasar). Kegagalan pasar  dalam bentuk pencemaran merupakan akibat diabaikannya biaya-biaya lingkungan di dalam keputusan individu sehingga pencemaran dalam ilmu ekonomi ditandai dengan adanya perbedaan "private cost" dengan "social costs". Keputusan individu akan selalu berorientasi pada keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan ongkos yang ditanggung masyarakat dalam hal jasa, sumber daya lingkungan, dan pencemaran. Untuk itu, peran hukum lingkungan disini adalah untuk mengupayakan terciptanya internalisasi terhadap eksternalisasi biaya-biaya lingkungan yang jarang dipertimbangkan. Dengan membuat pencemar membayar (polluter pays principle), akan terjadi internalisasi eksternalitas dan dengan sendirinya akan mencegah kegagalan pasar  (market failures).
Mekanisme Pajak Karbon di Indonesia
Berbeda dari pengaturan pajak lainnya, pajak karbon akan diatur berdasarkan jumlah emisi yang dikeluarkan setiap sektor. Mekanismenya adalah pajak akan diterapkan pada emisi gas rumah kaca yang melebihi batas maksimal sektor (cap and tax) sehingga sisa emisi yang melebihi inilah yang akan dikenakan pajak karbon. Adapun tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00/CO2e. Â
Perlu dicatat bahwa pajak karbon termasuk ke dalam regulatory taxes yang sama sekali berbeda dengan fiscal taxes. Dalam regulatory taxes, tujuan yang hendak dicapai melalui pembayaran pajak adalah penertiban masyarakat guna meminimalisasi perilaku merusak lingkungan (penurunan emisi) sedangkan fiscal taxes bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Meskipun pada nyatanya pajak karbon di Indonesia masih menimbulkan perdebatan karena selain ditujukan pada penurunan emisi, tetapi juga untuk menambah pemasukan negara.
Celah Penerapan Pajak Karbon di Indonesia
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup  (PP 46/2017) dapat diketahui bahwa penentuan dasar atau basis yang mendasari pengenaan tarif pajak lingkungan di Indonesia harus memperhatikan ada atau tidaknya penyusutan sumber daya alam, pencemaran lingkungan hidup, atau kerusakan lingkungan hidup. Namun, tiga kriteria tersebut tidak dibahas lebih lanjut oleh PP 46/2017.
Setidaknya dalam Pasal 39 ayat (1) PP 46/2017 telah disebutkan dengan jelas kegiatan apa saja yang berpotensi untuk dikenakan pajak lingkungan, walaupun besaran pajak lingkungan tersebut tidak ditentukan secara rigid dan eksplisit. Hal tersebut dapat dijadikan sebuah catatan bagi para legislator untuk menentukan besaran yang sesuai dan diberitahukan secara luas agar tidak terjadi ketidakpastian begitupun nantinya dalam penerapan pajak karbon.
Dalam mekanisme pajak karbon sendiri terlihat bahwa penerapan pajak karbon berfokus pada besaran output dengan adanya penerapan batas maksimal (cap and tax). Umumnya, mekanisme ini cenderung sulit dilakukan karena emisi bukanlah sesuatu yang mudah diawasi dan bahkan seringkali merupakan gabungan dari berbagai polutan. Selain sulit tentunya mekanisme ini juga membutuhkan biaya pengawasan yang besar. Adapun, tingkat biaya juga perlu menjadi perhatian karena akan mempengaruhi efektivitas pengenaan pajak itu sendiri.
Kesimpulan
Penerapan Pajak Karbon menawarkan solusi dalam penurunan tingkat emisi di Indonesia yang kian memburuk akibat kandungan karbon dioksida dari bahan bakar dan gas rumah kaca yang terlalu tinggi. Implementasi rencana penerapan Pajak Karbon juga menjadi salah satu bahasan penting pemerintah. Landasan hukum Pajak Karbon setidaknya telah ditetapkan dalam UU HPP dan PP 46/2017. Adapun aturan turunan lain secara berkesinambungan diundangkan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya proses penyusunan PP dan PMK terkait peta jalan pasar karbon dan/atau Pajak Karbon agar penerimaan Pajak Karbon nantinya dapat berorientasi kepada transisi energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga sangat memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi. Dengan demikian, kiranya kita dapat senantiasa melakukan peninjauan atas perkembangan pelaksanaan pajak karbon di Indonesia. Demi Indonesia sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H