Tatkala zaman itu, Tuhan murka kepada makhluk-Nya,
tengah malam datangnya, hujan dan angin taufan, semua
kayu dan batu gunung rubuh, longsoran batu membanjir,
melanda dari puncak bukit.
*
Gunung Rinjani longsor, dan gunung Samalas runtuh,
banjir batu gemuruh, jatuh di desa Pamatan, lalu hanyut
rumah lumpur rubuh, terapung-apung di lautan,
penduduknya banyak yang mati.
*
Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi,
terdampar di Leneng (Lenek), diseret oleh batu gunung
yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik
ke bukit.
Membaca bencana dalam naskah sebagai warisan budaya, pada hakikatnya adalah mengembalikan kearifan lokal sebagai bagian dari upaya penanggulangan bencana.
Hal ini penting mengingat budaya sadar bencana masyarakat yang notebene merupakan bagian dari keberasalan naskah-naskah tersebut akan lebih tumbuh bila upaya penanggulangan bencana tersebut menggunakan pendekatan kearifan lokal, khususnya berbasis teks naskah. Berkaitan dengan kearifan lokal ini tampaknya telah dibuktikan oleh tetap kokohnya rumah adat Lombok meskipun gempa menerpa wilayah tersebut pada hampir sepanjang 2018.
Pada berikutnya, naskah-naskah bencana alam ini yang turut diperankan dalam upaya penanggulangan bencana, juga perlu dilestarikan sebagai bagian dari upaya menjaga warisan budaya.
Budaya sadar bencana yang telah tumbuh perlu juga ditularkan dalam upaya pelestarian naskah-naskah tersebut, khususnya, agar tidak hancur, rusak, dan punah oleh bencana alam yang bisa sewaktu-waktu terjadi di negeri ini. Kita jaga alam, alam jaga kita.
Sumber:
Hermansyah. 2012. Naskah Ta'bir Gempa: Antara Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh (Kajian terhadap Naskah-Naskah Kuno).
Tim Penulis. 1999. Pengkajian Nilai Budaya Naskah Babad Lombok Jilid I.
Tim Penulis. 1991/1992. Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H