Beberapa naskah bencana alam yang berhasil dikumpulkan dari berbagai wilayah di Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan, antara lain naskah Ta'bir Gempa, Babad Lombok, Lontarak Pangissengeng, dan Warugan Lemah. Naskah-naskah ini ditulis dalam media kertas dan lontar dengan menggunakan aksara daerah masing-masing dan Arab.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah sumber naskah tersebut dan Melayu. Naskah-naskah tersebut tersebar dan menjadi koleksi, baik perpustakaan maupun perorangan di Indonesia dan luar negeri.
Salah satu naskah bencana alam dari Aceh secara khusus membicarakan gempa. Naskah yang dimaksud berisi takwil gempa atau yang biasa disebut dengan naskah Ta'bir Gempa.
Perihal gempa sendiri tidak secara khusus dibicarakan dalam satu naskah, tetapi bersamaan dengan teks lainnya yang terdiri dari kumpulan doa-doa, tata cara salat, nasihat-nasihat, obat-obatan, azimat, dan lain-lain. Gempa dalam naskah Ta'bir Gempa dimaknai berdasarkan waktu kemunculannya dalam perhitungan bulan hijriah dan dampak yang ditimbulkan atau kondisi pascagempa.
Pemaknaan ini diperoleh sebagai sebuah hasil pengalaman yang diwariskan untuk tujuan pengetahuan penanggulangan bencana, seperti penanganan dan mitigasi, bagi generasi mendatang.
Jadi, naskah ini sesungguhnya bukanlah sebuah ramalan atau prediksi masa depan, melainkan rekaman peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu yang kemudian diproses menjadi pengetahuan mengenai takwil gempa.
Sebagai contoh, dalam teks Ta'bir Gempa terdapat bagian yang berbunyi,
Bab pada menyatakan gempa pada bulan Ra'jab, jika waktu Dhuha
gempa alamat akan air laut keras padanya
Berdasarkan catatan sejarah, gempa yang berakibat tsunami pernah terjadi di wilayah barat Aceh dan Simeulu pada hari Senin, 25 November 1833 pukul 10.20 WIB atau waktu Duha. Jika dikonversikan, waktu tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1249 H. Air laut keras pada teks tersebut dimaknai sebagai tsunami yang menghantam wilayah darat. Artinya, teks tersebut merekam peristiwa bencana yang terjadi pada masa itu.
Pemaknaan yang kurang lebih sama juga ditemukan dalam naskah Lontarak Pangissengeng yang berasal dari Bugis (Sulawesi). Dalam naskah ini, bencana alam, khususnya gempa merupakan suratan takdir Ilahi. Naskah ini mengajak kita untuk lebih melihat hikmah dari terjadinya peristiwa gempa.
Hal ini tampaknya cukup rasional mengingat bencana alam yang terjadi di negeri kita, di sisi lain memberi dampak bagi kesuburan alam Indonesia. Sebagai contoh, debu akibat letusan gunung api dapat menyuburkan tanah. Selain itu, jalur Ring of fire memberikan potensi energi tenaga panas bumi yang dapat digunakan sebagai sumber tenaga alternatif.
Peristiwa bencana alam dalam naskah juga sering kali dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Beberapa bait dalam Babad Lombok menceritakan kisah meletusnya gunung api di Lombok, yaitu Gunung Rinjani dan Gunung Samalas. Bencana alam tersebut dituliskan terjadi selama tujuh hari akibat murka Tuhan kepada makhluk-Nya. Berikut kutipan teksnya,