Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Belajar dari Keluarga Bloom

17 Februari 2019   09:03 Diperbarui: 17 Februari 2019   09:28 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya, ketika itu terjadi, setiap pasangan akan kembali mengingat ke belakang, apa yang dahulu membuat mereka menikahi pasangan mereka. Jika itu cinta, mereka akan terus menggali kembali, apa yang dahulu membuat mereka mencintai pasangan mereka. Lantas, mereka akan tersenyum-senyum sendiri mengingat kejadian-kejadian romantis penuh cinta pada masa itu. 

Dan, masalah pun akan lenyap seketika tergantikan oleh perasaan cinta seperti yang pernah mereka rasakan dahulu. Itu namanya pengalaman. Dan, di sanalah letak kekuatan suatu kehidupan pernikahan yang dilandasi dengan cinta. Mereka pernah mengalami hati yang begitu murni. *Kebanyakan nonton film, nih!

Berkaca dari film Wish I was Here, di sana ada adegan ketika Sarah sedang sibuk bekerja di kantornya. Seorang rekannya yang laki-laki berbicara tidak senonoh terhadapnya, seperti sedang menggoda. Ada satu titik ketika melihat adegan itu, saya berpikir Sarah akan tergoda dan selingkuh dengan rekan kerjanya, sementara saya sungguh-sungguh tak menginginkan itu terjadi meskipun hubungan (seksual dan rumah tangga) Sarah dengan Aidan sedang tak berkualitas. 

Saya khawatir sendiri menyaksikan adegan itu, tapi ternyata pada adegan berikutnya ketika Sarah kemudian marah pada rekan kerjanya, saya merasa sangat lega. Saya tahu, Sarah bukan tipe perempuan seperti itu, yang mudah tergoda. Ia tangguh, tidak rapuh, dan yang pasti mencintai suaminya.

Suatu hari, seorang sahabat yang tinggal di luar kota dan baru terhubung lagi setelah berpisah bertahun-tahun lamanya bercerita tentang keriangannya ketika berhubungan kembali dengan sang mantan pacar lewat dunia maya. Ia ibu tiga anak, bersuami tentu saja, dan bertanya kepada saya, "Mau gue bawa ke mana hubungan ini?" Saya geli sendiri, bikin saya bertanya, dari mana bisa-bisanya ia menghadirkan pertanyaan itu dalam benaknya? Baru tiga hari mereka kembali menjalin komunikasi, tapi, mungkin, sang laki-laki menggoda, sang perempuan tergoda, dan mereka terbawa suasana. Mantan pacarnya yang juga beranak tiga telah membuatnya lupa. Begitu urgenkah saya untuk harus mengingatkannya tentang anak-anak di rumah? Mungkin saya bukanlah sahabat yang baik, apalagi ditambah kemudian dengan sebuah pertanyaan balik, "Lo cinta enggak, sih, sama laki lo?" *Stupid.

Itu satu contoh saja, yang lainnya dan lebih kronis, tentu bertebaran di sekitar kita. Intinya, benar, pernikahan adalah awal sebuah tugas, gerbang menuju kehidupan yang penuh peran dan tanggung jawab. Tapi, apa iya kita harus mengesampingkan cinta demi menikahi pasangan kaya, misalnya, yang dianggap mampu membiayai hidup keluarga ke depan. 

Sekaya dan semiskin apa pun, jika kamu menemukan seseorang dan tidak sempat lagi berpikir tentang cinta, setidaknya bertanyalah pada hatimu sendiri dan jawablah dengan jujur, "Apakah aku benar-benar ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya sampai mati?"  

Sarah dan Aidan saya rasa adalah pasangan yang melandasi pernikahan mereka dengan rasa cinta. Setiap rumah tangga pasti ada kemelutnya. Tapi, mencintai tugasmu akan membuat masalah sepelik apa pun dalam kehidupan pernikahan dapat diatasi dengan ringan hati. Ini membuat masing-masing tetap sadar untuk berada dalam peran dan kode etiknya.

Pelajaran Kedua: Menjadi Dewasa dan Berkomitmenlah
Aidan digambarkan sebagai sosok laki-laki dewasa yang sadar akan perannya. Dengan itu, ia berkomitmen untuk dapat memainkan perannya dengan sebaik-baiknya: menjadi seorang manusia yang mempunyai impian, seorang suami, seorang ayah dengan dua anak, seorang anak sulung di keluarganya sendiri. Memang sebegitu kompleksnya, tapi bukankah kita semua seperti itu? Kadang kita mengeluh, komplain, seakan ini bukanlah pilihan dalam hidup kita. 

Tapi, memangnya masih ada yang bisa dipilih lagi selain jalan yang sedang kita tempuh ini? Memang begitulah hidup, ilusif, manusia dibikin seakan punya pilihan dalam hidupnya, padahal segala sesuatunya sesungguhnya sudah terjadi. Sikap yang pada akhirnya terbaik untuk ditempuh adalah menjadi dewasa dan berkomitmenlah. Ini peran kita, jalani.

Saya jadi ingat, beberapa tahun yang lalu, seorang teman pernah mengatakan sesuatu yang klise sekali soal mencapai mimpi. Ketika itu saya sedang galau, baru menikah, terjebak pada rutinitas pekerjaan, sementara ia sekonyong-konyong membuat generalisasi atas konsep kebahagiaan dalam hidup manusia dengan tolak ukur konsep kebahagiaannya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun