Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Berguru

5 Juni 2021   20:49 Diperbarui: 6 Juni 2021   11:05 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Aku sendiri kagum dengan sosok yang sedang diperhatikan Tuanku. Anak muda berperawakan kecil itu telaten memandikan MK, anak balita yang diasuhnya. A strong-willed child. H, inisial anak muda ini pastinya memiliki motivasi besar untuk bekerja sebagai pengasuh anak, pekerjaan yang tidak biasa untuk seorang laki-laki.

           "Apa nggak salah tuh?" Kembaranku menanyakan pertanyaan yang sama dari semenjak sadar bahwa itulah pekerjaan Tuan kami kelak.

           "Kita lihat saja dulu," jawabku, "Lagian sepertinya Tuan kita nyaman-nyaman saja," lanjutku.

           "Iya, cuman alamaak... itu si MK itu kok aktif bangeet. Anak sekecil itu energinya mengalahkan orang dewasa. Kayaknya itu pula alasan, ya, dipilih pengasuh laki-laki," komentar kembaranku.

           Aku hanya mengernyitkan keningku.

           Deal dengan Mrs. M saat wawancara menghantarkan Tuanku untuk datang beberapa hari kemudian, di hari Minggu, untuk berguru. Aku menyaksikan bahwa anak berusia kisaran tiga tahunan ini belum lepas dari pamper.

           "Lha, Tuanku mau gituh melakukannya?" Aku membatin. Namun, dua puluh tahun lebih aku menjadi bagian dari Tuanku, hal yang orang anggap kotor sepertinya tidak menjadi persoalan baginya. Dibesarkan di keluarga petani dan pedagang sayur aku ingat tuanku membiasakan aku dan kembaranku menginjak kotoran kambing dan sapi di kandang, jalan berbecek di pasar juga tempat-tempat becek berlumpur lainnya. Belum lagi di masa kecil Tuanku, belum ada yang namanya jamban keluarga. Alhasil kali, sungai, kolam ikan jadi tempat untuk membersihkan berbagai hal. Mestinya untuk urusan terkait pampers bukan masalah besar baginya.

           Karena Tuanku berguru di hari Minggu, kami berjumpa dengan Mr. W, suami dari Mrs. M dan calon ayah dari MK. MK belum resmi diadopsi secara hukum negara.  Berkewarganegaan Jerman dan bekerja sebagai Insinyur Bangunan, Mr. W berperawakan tinggi besar dan rambut lurus beruban. Berbeda dengan suaminya, Mr. W seorang yang sangat tertib, perhitungan, dan perhatian pada kebersihan. Tipikal orang Jerman. Kisahnya ia sedang bekerja di Amerika ketika bertemu dengan calon istri. Keduanya sama-sama menjadi volunteer di rumah singgah The Catholic Workers. Mereka memutuskan untuk menikah. Dari yang kutahu pernikahan Mr. W seolah antithesis dari sejarah negaranya. Ia menikahi calon istrinya yang berlatar belakang yahudi.  Sempat bekerja di Rusia dan Saudi Arabia, pasangan ini hampir memiliki anak namun keguguran. Karena usia Mrs. M tidak memungkinkan memiliki anak, maka adopsi adalah pilihan mereka. Mr. W seorang yang soft-hearted dan mencintai anak-anak. Berbeda dari tipikal orang-orang bule yang aku dengar liberal dan mendewakan freedom, pasangan ini justru 180 derajat berbeda: konservatif, taat terhadap ajaran gereja dan pacifist. Di sela-sela obrolan di meja makan, aku menyimak pandangan mereka tentang dunia dan perkembangnnya. Tidak ada hari minggu yang tidak dilewatkan tanpa pergi ke gereja. Dari sharing Mrs. M, buku dan video-videonya aku lebih mempelajari agamaku. Dalam Bahasa Inggris tentunya. Sekali mendayung, dua pulau terlampaui.

          "Kalau untuk mengasuh anak saja memperkerjakan orang, terus kerjaan Mrs. M, apa ya?" tanya kembaranku. Saat itu Tuanku sedang menata mainan dan buku-buku MK. Ia terkesima dengan deretan buku-buku cerita anak berbahasa Inggris di rak yang menarik minatnya untuk membaca. MK sedang tidur siang sementara H berada di ruangannya.

         "Kamu lihat sendiri, dia masak, sekarang tidur siang, nanti masak lagi buat makan malam," jawabku

         "Juru masaknya kemana? Waktu kita ke sini sebelumnya, ada yang bertugas masak."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun