Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Making A Deal

29 Mei 2021   00:13 Diperbarui: 13 Juni 2021   21:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://people-equation.com/

            "Seberapa lama lagi kita harus menunggu?" keluhan meluncur dari mulut kembaranku. Aku bisa memaklumi kekesalannya karena akupun merasakan demikian. Sudah tiga kali Tuanku mengitari kompleks perumahan elit di Ciumbuleuit ini. Keputusannya untuk datang lebih awal tidaklah salah. Tentunya agar tidak terlambat ketemuan dengan Mrs. M.

"Nekad juga, ya Tuan kita," kembaranku berucap.

"Kayak kamu tidak tahu Tuan kita saja," tukasku, "Ingat ketika kita dipaksa jalan dinihari dari terminal bis sampai rumah? Dua jam setengah kita dipacu? Aku sih keder saat itu melewati ladang tebu, bamboo, pekuburan. Cukup sekali itu saja! Atau jalan tengah malam dari kost-an sampai Jalan Merdeka? Hanya untuk ikut menghitung mundur pergantian tahun?"

Kembaranku tersenyum kecil. "Aku empot-empotan saat itu," ujarnya. "Tahu sendiri aku takut kegelapan."

 "Kalau sekarang sih sebenarnya tidak ada apa-apanya. Cuman keliling-keliling kompleks ini sampai tiga kali." Aku mengulang keluhan kembaranku.

 "Masalahnya dia tidak bawa bacaan. Jadi saja kita yang dikerjain. Nih betis kayaknya mau keram. Beberapa hari ini Tuan kita kurang gerak ya."

 Aku mengangguk mengiyakan. Di sela kesibukan kuliah dan menggeluti perannya di perpustakaan gereja, Tuanku tidak sering bepergian. Jadinya kami juga merasa kaku. Sekalinya sekarang diajak berjalan-jalan, otot-otot kami rasanya kurang kompromi.

"Oya, memang benarkah Tuanku janjiannya hari ini? Kok kayaknya rumah itu tidak berpenghuni. Tidak ada bel lagi di pagar." Apa yang dikatakan kembarannya sepertinya benar.

Rumah tusuk sate di Jalan Rancabentang itu besar dan berhalaman luas. Berpagar dan bergerbang bambu, rumah itu berbeda dengan rumah kebanyakan. Model rumah jaman dulu dengan salah satu dinding depan melengkung. Rumah satu lantai ini berjarak cukup jauh dari gerbang hingga siapapun yang bertamu akan kesulitan memastikan penghuni ada di rumah. Tuanku pun kesulitan karena tidak nampak ada kegiatan di balik pagar. Sementara tidak  ada tanda bel di pintu gerbang.

Hampir lima belas menit Tuanku berdiri di depan gerbang. Ia coba menggedor gerbang bambu tanpa hasil. Tidak ada tanda-tanda ada orang di rumah. Untuk sesaat ia merenung dan menggerakkan kami menjauh dari pagar. Semula aku kira  ia akan meninggalkan tempat itu. Perkiraanku salah. Ia hanya menyeberang jalan mencari tempat teduh dan berdiam diri.

"Kenapa tidak bawa buku?" keluhnya. Kembaranku menatapku seakan ingin menegaskan apa yang ia ucapkan sebelumnya tentang buku.

Pegal yang dirasakan kami berdua sepertinya dipahami oleh Tuanku. Ia berpindah tempat mencari tempat untuk duduk. Akhirnya kami tidak perlu menyangga tubuh Tuanku dan bisa leluasa beristirahat. Sesekali pandangan Tuanku mengarah pada pintu gerbang rumah.

"Hi, Misis. Do you still remember me? At the church two days ago. I want to ask about the part time job. Can I try?" Tuanku berkomat kamit mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Menghafal. Aku dan kembaranku berpandangan. Sebegitu kuatnya niat Tuanku untuk mencoba pekerjaan paruh waktu itu. Aku penasaran seperti apa pekerjaan itu nantinya. Seberapa besar aku dapat membantu Tuanku dengan pekerjaan itu.

Kalau kulihat pergerakan matahari, mestinya sudah sejam lebih kami duduk di bawah pohon. Tuanku sempat terkantuk-kantuk, namun telinganya cukup peka ketika mendengar suara mobil datang dan gerbang yang dibuka. Ketika ia menoleh, benar saja. Sebuah mobil carry memasuki halaman rumah. Tanpa membuang waktu Tuanku bangkit dan bergegas ke arah gerbang. Aku dan kembaranku yang setengah terlelap perlu mengumpulkan kesadaran kami untuk mengimbangi keinginan Tuan kami.

Tiga sosok keluar dari mobil tersebut. Satu bapak kuyakini sebagai sopir, Mrs. M yang Tuanku temui di gereja dan satu lagi sosok anak muda yang menggendong anak kecil yang sedang tidur. Tuanku tidak lantas mendekati mereka. Sepertinya ia ragu.

"Hello," sapanya memberanikan diri dari ambang gerbang.

Mrs. M menoleh dan ketika melihat Tuanku, segera ia menjawab, "Hi! Come here!"

Dengan langkah yang lebih mantap Tuanku mendekat ke arah mobil

 "I hope I don't disturb you," katanya

"No. I'm glad you come. Come, let's talk inside."

Tuanku mengangguk pada sang sopir dan mengekor Mrs. M. Menit-menit seterusnya Tuanku berbincang dengan Mrs. M di ruang tengah. Rupanya ia senang dengan kedatangan Tuanku. Seolah sudah mengenal cukup lama Mrs. M bercerita banyak hal tentang keluarganya. Tuanku pun diperkenalkan dengan pengasuh anak yang berinisial H. Usianya lebih muda dari Tuanku. Rumah yang luas dan lapang pun ditunjukkan oleh Mrs. M. 

Tuanku mesti menahan nafas melihat rumah besar yang baginya wow. Sekalipun berlantai ubin semen, rumah jadul ini terasa homy dengan ruangan lebar dan halaman luas yang ditumbuhi berbagai tanaman termasuk tanaman petai di belakang rumah. Di samping tanaman petai terdapat kandang ayam dan angsa. Di dekat pojokan halaman dibangun saung bambu kecil, khusus dibangun atas permintaan Mrs. M untuk tempat bermain anaknya.

 Aku merasakan sukacita Tuanku. Ia semakin yakin untuk mencoba pekerjaan ini. Mrs. M pun sepertinya tertarik dengan Tuanku. Ketika kembali ke ruang tengah dan duduk di sofa, keputusan pun diambil. Tuanku akan mulai bekerja di hari Minggu, enam hari ke depan. Ia akan belajar dan mengamati H, mengasuh anak yang berinisial M K. Baru di hari Minggu berikutnya H akan mendapatkan waktu luang untuk bebas digunakan untuk kegiatan apapun. Dan di hari itu pula Tuanku akan memulai pekerjaan paruh waktunya untuk mengasuh anak. Aku akui, aku sendiri berharap cemas. Belum bisa kubayangkan bagaimana pekerjaan itu. Seberapa sanggup nantinya Tuanku menjalani pekerjaan ini. Kalaupun sanggup, seberapa lama Tuaku akan bertahan dengan pekerjaan ini, sementara ia juga harus kuliah.

"Aah, sudahlah," aku membatin, "Aku tidak bisa menolak keputusan apapun yang Tuanku ambil. Sejauh yang kami bisa, aku dan kembaranku akan mendukung dan memastikan Tuanku mendapatkan manfaat dari pekerjaan ini.

Aku dan kembaranku menjejak pelataran halaman, berjalan menuju gerbang dan berhenti untuk memberi kesempatan Tuanku menutup gerbang. Satu hal besar sudah Tuanku putusan, yang kelak akan berpengaruh besar pada hidupnya.** (Cimahi, 28 Mei 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun