Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kasmaran

27 Mei 2021   23:33 Diperbarui: 27 Mei 2021   23:43 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.popbela.com/

           Aku berkedip. Kembaranku balas mengedip. Kami berdua tersenyum kecil mengetahui Tuan kami menatap penuh pesona gadis yang sedang serius mengiris bawang merah. 

Mata gadis itu tak lepas dari pisau, talenan dan bawang yang diirisnya. Gerakannya gesit. Dalam waktu yang cukup singkat siung-siung bawang merah yang sudah dikupas pun berubah jadi irisan-irisan tipis.

"Baru kali ini ada ngiris bawang secepat itu." Aku mendengar Tuanku berkomentar.

Gadis yang sedang sibuk itupun menoleh.

Mau coba?" tanyanya. Tuanku menggeleng.

"Takut nangis," ujarnya.

 "Kok nangis?"

"Kan bawang merah bikin mata perih," tukas  Tuanku. Matanya tetap terpaku pada jari-jari yang mengiris bawang. Gadis itu tidak menjawab. Suasana menyepi. Tatapan sesekali berpindah dari jari-jari ke wajah gadis itu.

Sadar diperhatikan, gadis itu menoleh dan bertanya, "Ngapain sih, ngeliatin?"

"Memang tidak boleh?" Tuanku balas bertanya.

"Ya... boleh sih. Hanya gimana gituh. Lagian masih ada kerjaan yang lain. Tuh beras belum dicuci," ujar gadis itu.

 "Kamu keren," sahut Tuanku, "Hmm... keren ngiris bawang secepat itu," lanjutnya gelagapan ketika gadis itu memberikan pandangan bertanya.  

Tuanku beranjak tidak semata untuk mengambil beras tapi juga menyembunyikannya wajahnya yang memerah. Sesekali mencuri pandang Tuanku membantu menyiapkan konsumsi untuk acara weekend KMK.

Cinta itu memang tidak terduga. Misteri lebih tepatnya. Hanya dari memotong bawang Tuanku bisa jatuh cinta. Aku tidak habis pikir sesederhana itu  cara dia jatuh cinta, tidak seperti di cerita-cerita sinetron yang mesti mengeluarkan sekian banyak rupiah atau mempermak badannya atau pergi ke orang pintar untuk dapat mencintai dan dicintai. Karena cinta itu pula hidup Tuanku menjadi tidak biasa lagi. 

Di sela-sela waktu luang, lamunan dan impian jadi kegiatan tambahan. Dengan berbagai cara sinyal-sinyak asmara dipaparkan untuk memastikan Tuanku tidak bertepuk sebelah tangan.

Malam pekat minus penerangan di Jayagiri Lembang menyongsong kami menuruni angkot. Aku kuatir salah menjejak dalam situasi gelap seperti ini.

 "Aneh, hiking kok malam hari. Cari masalah saja," kembaranku bergumam masam. Aku tidak menjawab tetapi mengiyakan pendapatnya. Keputusan Tuanku untuk bergabung dengan KMK UPI mengadakan hiking malam hari menyesakkanku. Aku sudah membayangkan berjalan menyusuri hutan di tengah kegelapan malam demi tiba di puncak Tangkuban Perahu dini hari. Dan menyaksikan sunrise. Keren memang kedengarannya, tapi tidak 100 % keren bagi kami.

"Siap-siap saja kita berjibaku dengan binatang malam," ujarku pada kembaranku.

"Maksudmu kelelawar?" tanya kembaranku.

"Ya apapun. Yang terbang, yang merayap. Mesti lebih awas ya." Aku mengingatkan dan memilih berdiam diri karena perjalanan sudah dimulai. Aura gembira aku rasakan diantara kelompok anak muda ini. Celoteh dan obrolan mewarnai perjalanan malam ini. Berbekal senter dan cahaya bulan yang menyelinap dari balik pepohonan rombongan menyusuri jalan setapak. Semula mereka berjalan beriringan sampai entah siapa yang memulai beberapa akhirnya berjalan berdua-berdua termasuk Tuanku.

Ketika aku sempat bersinggungan dengan kembaranku aku mendengarnya berbisik, "Operasi dimulai."

"Operasi apa?" kataku tidak kalah pelan.

"PDKT," jawabnya. Semula aku tidak paham apa yang kembaranku maksud sampai akhirnya dua tangan yang berpegangan menyadarkanku. Aku tersenyum kecil. Aku ingat-ingat kapan Tuanku dan  gadis yang mengiris bawang itu mulai berpegangan tangan.

"Waktu naik tanjakan," kata kembaranku. Sepertinya ia tahu apa yang kupikirkan.

Ya..ya.. aku ingat sekarang. Saat itu tuanku membantu menarik gadis tersebut menaiki tanjakan. Dan sepertinya kesempatan itu tidak dilewatkan Tuanku untuk terus memegang tangan sang gadis.  

Si gadis yang tidak berusaha melepaskan pegangan membesarkan hati tuanku bahwa gayung bersambut. Herannya, tidak ada peserta lain yang melarang atau memberikan reaksi berlebihan kepada dua anak muda itu. 

Baru kutahu dari kembaran lain yang berjalan di depan dan belakang kami bahwa tanda-tanda kasmaran Tuanku kepada gadis itu sudah diketahui teman-teman di kelompoknya. Di beberapa kegiatan bersama Tuanku selalu berusaha mencari perhatian gadis itu.

 Aku tersenyum lebar karena turut bergembira. Dari sinyal-sinyal yang ditunjukkan, sepertinya gadis itupun memiliki perasaan yang tidak berbeda dengan Tuanku. Aku turut berdebar menunggu saat kapan Tuanku akan mengungkapkan perasaannya.

"Ah, Tuanku. Apakah engkau cukup bernyali?" Aku membatin.

"Seberapa lama engkau akan biarkan hatimu terombang-ambing? Berani Tuanku!" seruku keras sehingga mengejutkan kembaranku dan kembaran-kembaran lainnya. Tuanku pun hampir terjatuh karenanya karena ternyata aku tersandung akar pohon.

 Akhirnya aku memutuskan konsentrasi pada jalanan. Semakin menanjak maka semakin terdiam kelompok perjalanan ini. Sekalipun cuaca dingin membeku deru nafas dan peluh meluncur dari dahi beberapa anggota kelompok. Perjalanan melalui hutan hampir mendekati usai berganti dengan jalan raya utama yang menuju puncak gunung. 

Ketika aku, kembaranku dan kembaran-kembaran yang lain menjejak jalan beraspal, kamipun bernafas lega. Temaram hutan berganti dengan sinar bulan. 

Jalanan tanah lembek yang dirambati akar pohon yang terkadang licin berganti aspal yang keras. Untuk sementara rombongan menghentikan perrjalanan, melepas di lelah di jalan yang lengang.

Tangan Tuanku sudah terlepas dari tangan gadis itu. Di udara terbuka dengan cahaya bulan, sepertinya Tuanku cukup tahu diri untuk tidak terlalu menampakkan kasmarannya. Setelah cukup beristirahat perjalanan pun dilanjutkan. Rombongan tiba di puncak Tangkuban Perahu beberapa jam lebih awal dari waktu sang surya terbit. 

Terkantuk-kantuk beberapa tidur-tiduran di menara pengawas sekaligus berlindung dari tiupan kencang angin dini hari yang dingin menusuk. 

Bagaimana dengan cerita Tuanku dan gadis itu? Sampai aku dan kembaranku menuruni jalan raya menuju kaki gunung untuk mencegat angkot yang akan membawa kami ke Bandung, ungkapan perasaan asmara tidak meluncur dari bibir Tuanku. Yaaah.. Tuanku.*** (Cimahi, 27 Mei 2021)

*KMK UPI - Keluarga Mahasiswa Katolik Universitas Pendidikan Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun